Renisha berkacak pinggang sambil memicingkan mata galak. "Wahai Raden Mas yang terhormat, lo sebenernya ada masalah apa sama gue?"
Aksa tampak kaget hingga bahunya terlonjak ke atas, nyaris terjengkang. Mata sipitnya kembali melebar horor, seperti sedang melihat kuntilanak. Buru-buru Aksa membuka pintu mobil dan menyuruh keponakan cantiknya untuk masuk.
"Ada apa sih De?" gadis kecil itu mengerucut kesal. "Aku kan masih pengin main di dalam sama Woody dan Buzz." Tapi tetap menuruti Aksa, masuk mobil, sambil menggenggam cone es kirimnya erat-erat.
Sementara Renisha semakin gondok melihat kelakuan Aksa. Sebelum sempat cowok itu masuk ke bangku kemudi, Renisha sudah lebih dulu menarik ujung kerah belakang Aksa meski harus berjinjit. "Lo belum jawab pertanyaan gue, Ramas."
Ramas itu panggilan yang Renisha ciptakan khusus untuk Aksa, singkatan dari Raden Mas. Dulu bahkan Reni sempat memanggilnya Pangeran Ramas Jepang. Anak-anak mengikuti panggilan Reni, terkadang malah diplesetkan menjadi nasi rames. Dan sekarang, terdengar lucu jika diingat-ingat.
"Go away from me, please," balas Aksa, memajukan tubuh agar cekalan tangan Renisha terlepas.
Renisha masih kekeh dengan pendiriannya. "Nggak akan gue lepas sebelum lo kasih tahu alasan kenapa lo sensi banget kalau liat gue."
Cekalan Reni di kerah Aksa terlepas saat cowok itu membalikkan tubuh. Kali ini Aksa menatap Renisha. Bukan lagi dengan sorot horor, tapi lebih ke arah ketakutan bercampur jijik dan benci. "Jangan pernah nunjukkin muka kamu di depan saya."
Setelah mengatakan itu, Aksa buru-buru masuk ke dalam mobil, meninggalkan Renisha yang menatap kepergiannya dengan mata tak berkedip, mulutnya setengah terbuka tak percaya. Agaknya, ia sakit hati dengan perlakuan Aksa. Lebih sakit dari pertemuan mereka satu tahun lalu. Sampai saat ini, Reni masih belum tahu letak kesalahannya ada di mana.
Atau jangan-jangan, Aksa masih menyimpan dendam karena waktu SD Renisha sering menjahili cowok itu? Tapi kan, itu sudah belasan tahun berlalu?
Ah, sudahlah.
Sambil menghentakkan kaki kesal, Renisha kembali ke dalam kedai. Sialan memang si Ramas. Kalau bertemu lagi, Renisha bersumpah tidak akan melepaskan Aksa barang sedetik pun. Kalau perlu, Renisha akan menjadi bayang-bayang yang menghantui Aksa seumur hidup.
****
Aksa menyeka keringat di dahinya dengan tisu. Setelah lepas dari jerat makhluk bernama Renisha itu, Aksa bisa berangsur tenang. Dilirknya Chika, keponakan cantiknya yang masih memasang wajah cemberut. Es krim miliknya sudah habis, meninggalkan bekas cokelat di pipi chubby yang lebih mirip bakpau.
Aksa tidak tahan dan mengusap pipi Chika dengan tisu basah yang selalu tersedia di dashboard mobil. "Jangan cemberut terus dong. Nanti cantiknya ilang loh. Lain kali Pakde beliin es krim lagi ya? Chika mau yang rasa apa?"
Tapi Chika masih ngambek dan mengalihkan wajah ke jalan raya. Kedua tangan mungilnya bersedekap. Aksa seperti bisa melihat potret Sashi--adiknya yang paling cerewet itu--waktu masih berusia empat tahun dulu. Selisih usia mereka hanya terpaut dua tahun. Tapi Aksa masih bisa mengingat jelas penampakan Sashi waktu kecil.
"Nanti Chika boleh minta porsi yang paling besar deh. Chika suka coklat kan? Nanti ditambah chocochips juga kalau mau," bujuk Aksa lagi. Chika itu tipe anak yang agak susah dirayu, persis seperti mamanya.
Tapi ternyata kali ini Aksa berhasil. Chika menoleh dengan mata bulatnya yang berbinar-binar. "Beneran De?" kata Chika yang sedikit kesusahan bilang huruf r.
Aksa mengangguk dan tersenyum manis. Tangannya terulur untuk mengusap rambut Chika lembut. "Iya dong."
Chika dari kecil sudah diajari orangtuanya supaya tidak makan banyak cokelat. Padahal ayah Chika punya pabrik cokelat yang cukup ternama di Indonesia. Chika bisa saja minta ribuan batang cokelat kalau mau. Tapi tentu saja tidak akan diperbolehkan orangtuanya. Hanya dengan Aksa, Chika bisa makan cokelat diam-diam, sepuasnya pula, tanpa takut dimarahi.
"Oke deh," senyum Chika langsung melebar ketika memandang Aksa. "Oh iya De, Tante cantik tadi siapa?"
Ekspresi Aksa langsung berubah begitu Chika mengingatkan Aksa lagi soal Renisha. Aksa benar-benar berharap tidak bertemu lagi dengan cewek itu. Segala hal tentang Renisha selalu membuat Aksa mual. Dan itu berhubungan dengan kisah masa lalu yang bahkan tidak bisa Aksa lupakan meski ingin.
Aksa menepikan mobilnya saat hendak memasuki gerbang. Ia mengalihkan percakapan. "Mama tadi bikin puding mangga loh. Chika nggak mau coba?"
"Puding mangga?" Mata Chika semakin berbinar begitu mendengar camilan kesukaannya disebut. "Uwaah. Aku nggak sabar mau masuk. Horee!"
"Eh, hati-hati!" Aksa memperingatkan saat Chika keluar mobil dengan tergesa-gesa. Kemudian geleng-geleng kepala begitu melihat Chika berlari riang memasuki rumah.
****
Keluarga Aksa adalah keluarga paling aneh di dunia. Panggilan Pakde yang diberikan Chika untuknya bukan karena mereka punya darah Jawa, melainkan karena obsesi Ibunda Ratu--ibu kandung Aksa yang sangat terobaesi dengan budaya jawa.
Setelah sukses menikahkan putri bungsunya--Sashi--dengan seorang pangeran berdarah biru asal Kesultanan Surakarta, kini giliran Aksa yang dikejar-kejar Ibunda agar segera menikah--dan yang pasti calonnya haruslah keturunan para raja di tanah Jawa. Ibunda bahkan pernah membuang Aksa selama empat tahun di Jogja untuk menempuh kuliah, berharap selama masa itu, Aksa juga bisa mencari calon pendamping. Hah, yang benar saja. Aksa sudah terlalu dibuat pusing dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk seperti cucian kotor.
Jika boleh jujur, Aksa mulai capek dengan semua obsesi sang ibu. Entah sudah berapa banyak calon yang Ibu Ratu kenalkan pada Aksa. Mulai dari putri keraton Solo saudara Narendra--suami Sashi, hingga perempuan yang berasal dari antah berantah yang mengaku sebagai cucu Hamengkubuwono dari Kesultanan Jogjakarta. Mungkin karena terlalu lelah, Aksa jadi tidak berminat mencari pendamping hidup, apalagi sampai menikah. Membayangkannya saja Aksa tidak sudi.
"Mas Aksa beneran nggak mau ketemuan sama Sri? Aku udah susah-susah bujuk dia buat datang ke Bandung loh." Sashi berujar ketika hanya tersia mereka berdua di meja makan. Chika sudah ke kamarnya setelah menghabiskan semangkuk puding.
Aksara mendesah. Ia bertopang dagu sambil memandangi Sashi yang sedang membersihkan meja dengan perut besarnya. "Nggak deh. Aku nggak mau nanti mendadak jadi umbrella boy yang mayungin tuan putri masuk mobil mewah."
Sashi tertawa renyah. Aksa memang pernah cerita pengalamanya ketika kencan buta dengan salah satu wanita pilihan Sashi yang 'katanya' putri keraton Solo. Tentang Aksa yang harus selalu sedia payung ketika mengantar sang putri jalan-jalan. Takut kulit putih yang sering luluran pakai s**u dan madu murni itu jadi hitam, katanya. Hah. Memangnya Aksa peduli? Mau luluran pakai emas 24 karat juga terserah.
Aksa yang sudah terlanjur jengkel pun meninggalkan wanita itu setelah bertahan menyiksa diri selama dua jam. Ketika pulang, Aksa baru tahu bahwa Sashi memang sengaja menjahili Aksa dengan mengenalkannya pada wanita yang attitude-nya bikin sakit kepala.
"Nggak kok Mas. Kali ini beneran enggak kw kw," kata Sashi masih dengan sisa-sisa tawa. "Mbak Sri ini anaknya kalem banget sumpah. Pegangan tangan sama cowok paling belum pernah. Asli polos dan cantik. Cocok sama Mas Aksa yang kalem dan nggak neko-neko."
Aksa menggeleng. "Aku udah capek berurusan sama cewek. Mau rehat bentar, nenangin diri. Aku bisa depresi kalau kamu sodorin cewek setiap hari."
Aksa hanya ingin hidup normal seperti orang lain. Dari kecil, ia sudah menjadi korban bully akibat nama dan bentuk wajahnya. Tak seperti Sashi yang bisa bersikap cuek dan masa bodoh, lain halnya dengan Aksa. Aksa hanya bisa menyimpan kepahitan masa kecil itu dengan dirinya sendiri, yang berakibat pada karakter Aksa yang dingin dan suka menyendiri, yang seringkali menyembunyikan wajah aslinya dibalik topeng senyuman. Dari luar memang Aksa tampak sempurna. Tapi tidak ada ada yang tahu bahwa Aksa menyimpan bom yang sewaktu-waktu bisa meledak, menghancurkan diri Aksa hingga tak bersisa.
****