"Dipercepat?" tanya Sarah pada Leo saat ia menerima panggilan tersebut beberapa detik lalu, "dua minggu itu sudah cepat, Leo! Ini bahkan sudah berkurang, kalian menikah dua belas hari lagi!" tekan Sarah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari Leo.
"Iya, Leo tahu, Ma. Tapi kan sama saja nikah sabtu depan sama sabtu depannya lagi. Apa bedanya?" tanya Leo bersikukuh. Bella dan Nella yang sedang asyik nonton drama Korea itu lantas menoleh ke arah ponsel mamanya yang digletakkan di atas meja samping Laptop yang menyala.
"Gak sabar unboxing, kah, kak?" sahut Bella yang disambut tawa oleh Nella.
"Mama! Di loudspeaker?" tanya Leo.
"Mama lagi cek laporan keuangan dari Gerry, jadi mama taruh ponsel di meja," kata Sarah.
"Nella punya teman yang jual jamu kuat, kak. Mau?" tawar Nella.
"Akhhh, akkhhh, iyaa terusss disitu," Bella mencoba menggoda Leo dengan mendesah-desah, membuat Sarah mendelik padanya yang hanya tertawa.
"Tut tut tut," ponsel Sarah mati karena Leo tak sanggup dibully kedua adiknya.
"Bella! Nella! Kalian ..."
"We are virgin, mom! Don't worry!" kata Nella pada mama. Sarah masih menatap keduanya dengan intens, mencari kebohongan di kedua mata anak gadisnya itu, tapi yang ada hanya kejujuran dan Sarah tahu itu, "kami korban film romantis yang dibumbui adegan sedikit panas, ma," kata Nella lagi.
"Sekali lagi mama dengar kalian mendesah seperti itu, mama akan nikahkan kalian!" seru sang Mama yang membuat Bella dan Nella saling memandang dengan kaget lalu tersenyum kemudian.
"Siap, ma!" seru keduanya yang semakin membuat Sarah geram kepada mereka berdua.
Sementara itu di panti Leo gelisah, sejak tadi ia menggoda Tania dengan merayunya, gadis itu tak keluar dari kamarnya lagi. Mengunci dirinya di dalam kamar tanpa keluar sama sekali. Sudah hampir dua jam Leo memerhatikan pintu kamar Tania dan berharap terbuka. Tapi keajaiban itu belum juga datang.
"Eh, mas Leo, sendirian aja nieh," sapa Riska yang umurnya tak jauh beda dari Tania. Leo hanya mengangguk kecil.
"Sudah pulang dari kerja bakti?" tanya Leo dan gadis itu mengangguk kecil.
"Aku mandi dulu, mas," kata Riska.
"Riska! Tunggu!" Leo memanggik dan gadis itu menoleh. Suara kaki Leo yang mendekat ke arah Riska itu terdengar sampai ke telinga Tania yang menguping di balik pintu kamar. Tania cemas, ia ingin tahu kenapa Leo mendatangi Riska, adiknya. Tak ada suara-suara lagi yang bisa dijangkau oleh Tania. Ia bahkan telah meraba-raba pintu, mencari titik mana yang pas untuk ia bisa mendengar dari dalam. Tapi tetap saja ia tak bisa mendengar apapun saat ini.
"Kak Tania, kenapa pose kamu seperti cicak di dinding?" suara itu membuat gerakan Tania di pintu mendadak berhenti. Ia lantas menoleh ke belakang dan mendapati Riska dan Leo sedang berdiri di luar jendela kamarnya yang besar, saking besarnya jendela kamar Tania, jika dibuka lebar-lebar seperti ini, jendela itu bisa dilompati dua anak remaja sekaligus. Model jendela kamar Tania adalah jendela kuno yang besar.
Tania bisa melihat wajah Leo yang menahan tawa. Tania juga bisa merasakan kalau kini wajahnya bersemu merah karena malu ketangkap basah sedang berusaha menguping dari dalam kamar.
Konyol sekali kamu, Tania!
Tania merutuki dirinya sendiri. Ia kemudian membenarkan posisinya dan berdehem.
"Kamu ngapain di situ, Riska? Ibu sudah melarang lewat di situ loh, takut kena pot bunganya dan rusak," kata Tania.
"Kak Leo mau mangga, aku bantu tangkap dari bawah dan kak Leo yang manjat. Kakak mau ikut?" tawar Riska dan Tania menggeleng cepat.
Riska dan Leo lantas kembal berjalan menuju ke taman samping yang letaknya tepat di sebelah kamar Tania. Ada pohon mangga besar dan buahnya cukup lebat. Sebenarnya Leo hanya ingin memastikan keadaan Tania saja dengan mengajak Riska memetik buah mangga. Ia cemas tapi kini ia tak lagi cemas karena ia bisa melihat Tania baik-baik saja.
"Aku lempar, kamu yang tangkap, ya, Ris!" seru Leo dan Riska mengangguk setuju, "jangan sampai jatuh ke tanah, nanti buahnya rusak," kata Leo lagi. Tania hanya melihat dari balik jendela kamarnya ke arah Leo. Sesekali pandangan mereka bertemu dan dadanya berdebar-debar. Sebelum makin tak karuan, Tania memalingkan wajahnya.
"Kudengar kamu jadi bridesmaid, pasti cantik nanti," kata Leo.
"Hap!" Riska menangkap buah mangga yang dilempar Leo dan menaruhnya di keranjang.
"Tentu. Tapi dimana-mana pengantin paling cantik," jawab Riska seraya menoleh ke arah Tania yang berada di balik jendela kamarnya. Leo tak menyahut dan Tania jadi gelisah dibuatnya yang tak berkomentar apapun itu.
Kenapa mendadak jadi canggung gini sih?
Leo mengalihkan pandangannya ke arah daun yang memiliki buah cukup lebat. Ia hendak mengambilnya karena jaraknya cukup dekat dengannya, tapi tanpa sengaja matanya beralih ke arah pohon yang merambat di pot-pot gantung dekat jendela Tania. Keempat pot dengan daun yang tumbuh menggantung itu di letakkan pada balkon hiasan yang ada di atas jendela Tania. Panas matahari diharapkan tidak terlalu menyengat ketika masuk ke kamar Tania. Dan daun-daun itu sudah tumbuh ke bawah sampa sepertiga tinggi kamar Tania. Leo memerhatikan empat tanaman yang tumbuh ke bawah itu dengan seksama. Ada yang aneh dari tanaman gantung itu, daunnya sedikit bergerak-gerak.
Ketika Leo memerhatikan dengan seksama, ia menyadari ada ular yang warna tubuhnya sama dengan daun itu sedang merambat turun ke bawah dan jaraknya sangat dekat dengan posisi Tania.
Ular itu terus bergerak turun dengan melewati tanaman hias itu. Leo yang panik lantas melompat dari pohon ke tanah begitu saja, membuat Riska dan Tania kaget dengan aksi Leo itu. Pasalnya, Leo melompat cukup tinggi dari pohon. Kira-kira empat meteran.
Kaki Leo yang syok karena lompatan tiba-tiba itu terasa sedikit nyeri. Tapi Leo tak peduli, ia bangkit dan berlari ke arah kamar Tania. Seperti sedang berlomba-lomba mendatangi Tania yang berdiri di tengah-tengah jendela, ular hijau itupun bergerak lebih cepat ke arah Tania sembari sesekali menjulurkan lidah berbisanya.
"Tania, mundur!" seru Leo ketika ia melihat ular itu bergerak sangat lincah merambat di ranting pohon itu menuju Tania.
"Dap!" Leo melompat ke arah Tania dan menabrakkan tubuhnya ke tubuh Tania. Tubuh Tania yang menangkap Leo tersebut menabrak sisi tempat tidurnya sedangkan Leo menjerit kecil ketika ia merasakan sengatan kecil menyentuh punggungnya.
"Arggg! Ular!" seru Riska berteriak. Riska kaget kala melihat ular tersebut terbang ke arah punggung Leo yang melengkung saat melompat jendela untuk melindungi Tania.
Tania memekik kecil saat ia melihat ular tersebut terjatuh ke lantai kamarnya. Ia tak memedulikan pinggangnya yang sedikit sakit karena terbentur sisi tempat tidurnya, yang ia lihat adalah mata Leo yang menahan sakit.
"Pergi!" kata Leo pada Tania seraya mendorong tubuh Tania untuk keluar lewat jendela kamarnya, setelahnya ia menyusul dan menutup jendela kamar Tania itu kemudian.
"Kak! Kamu digigit ular itu!" seru Riska. Tania yang masih bingung itu langsung membalikkan tubuh Leo dan mengangkat kaosnya. Bekas gigitan itu cukup jelas dan ia takut beracun.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" kata Tania seraya menarik tangan Leo untuk berlari ke mobil Leo yang terparkir. Ia mengambil alih kemudi dan menancap gas ke rumah sakit.
Tania merasa bersalah dan terharu sekaligus.
"Kenapa bapak bisa melakukan itu?" tanya Tania kesal. Ia mencemaskan kondisi Leo.
"Bagaimana mungkin aku membiarkanmu digigit ular, aku saja belum pernah menggigitmu," sahut Leo dengan tawanya. Ia mencoba melucu.
"Jangan bercanda, pak! Ini bukan waktunya bercanda!" seru Tania dengan mata berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk. Ia benar-benar takut Leo terluka.
"Tania, tenanglah. Aku tidak apa-apa," kata Leo. Tapi Tania tak tenang, salah satu adik pantinya dulu juga ada yang dipatuk ular hijau bangkai laut dan berakhir meninggal dunia.
Tania sangat berharap Leo baik-baik saja.