Ghina memelas, "Aku tidak tahu harus beri penjelasan apa lagi, aku capek!" mohonnya.
Keputusan akhir setelah perdebatan panjang dan cacian yang diterima oleh Ghina ialah Lira ingin dia terus bekerja di bawah naungannya.
Karena berada di dalam kondisi yang dilema, Ghina terpaksa mengulur waktu.
"Beri aku waktu berpikir!" pintanya.
"Baik. Besok pagi, saya tunggu kamu di kantor." Sang mami menatap tajam Ghina sebelum berlalu.
Ghina bernapas lega setelah Lira pergi dari sana.
Kemudian dia berlari kecil mengambil ponselnya yang sedari tadi berbunyi. Untung Lira tidak terlalu mengurusi urusan pribadi Ghina, seperti ponsel.
"Mas Zalman? Ada apa malam-malam menghubungiku?!" tanya wanita itu dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Ada begitu banyak panggilan yang berasal darinya."
Ghina ambruk di atas kasurnya sembari menatap layar ponselnya.
"Apa aku telpon balik, ya?"
Niatnya dia urungkan karena tidak mau mengganggu jam istirahat orang. Terlebih pria itu sudah berkeluarga. Memiliki istri dan anak. Ghina tidak mau karena dia merespon telpon itu maka rumah tangga orang akan hancur.
***
Esok paginya,
Ghina sudah bersiap sejak pagi, pekerjaan rumahnya selalu selesai di awal waktu.
Meskipun pada akhirnya seluruh kerja keras terasa sia-sia di dalam kehidupan yang semu ini, wanita itu tidak pernah sedikitpun berpikir untuk memprotes lebih banyak perihal takdir.
Tersenyum, mencoba meneguhkan keyakinan.
"Karena masih diberikan kesempatan untuk bernafas, maka aku akan tetap hidup. Sesuai dengan apa yang semesta inginkan," ucapnya sendiri menyemangati diri sendiri, miris.
Baru hendak berpikir positif, Ghina mendadak kembali menghentikan gerakan tangannya, menatap lama wajahnya.
"Bertahanlah, Ghina. Kamu pasti bisa lalui semua ini, tolong pahami keadaanmu, ya," monolog Ghina.
Mengusap wajahnya dengan foundation, wanita berparas cantik itu telah janji untuk tidak bersedih hari ini.
"Okay, mari berangkat, Ghina!" Langkah kakinya mantap melangkah keluar rumah.
Sesuai janjinya, pagi ini dia akan menemui Lira dikantornya tepatnya rumah bordil.
Sekali lagi, bukan untuk melakukan pekerjaan tercela, melainkan memutuskan hubungan dengan mucikari itu.
***
Pagi hari di rumah keluarga Maheer selalu ramai dengan cerita anak-anak di ruang makan saat mereka menikmati sarapan. Waktu yang sangat tepat untuk Zalman berinteraksi bersama anak dan keponakannya. Pasalnya, pria itu selalu melewatkan makan malam bersama karena selalu sibuk dengan pekerjaannya. Zalman baru bisa makan malam bersama mereka saat akhir pekan atau hari libur.
"Bagaimana sekolah kalian apa ada masalah sejauh ini?" Pertanyaan yang selalu pria itu tanyakan saat sarapan.
Gana dan Gani bergantian bercerita, semua mereka ceritakan aktifitas apa saja yang kemarin mereka lakukan serta kejahilan-kejahilan mereka.
"Jangan sampai melewati batas ya, kalian berdua," nasehat Zalman kemudian.
"Gak, Om." Dengan dua jari telunjuk dan tangan terangkat Gana merespon ucapan papanya.
"Kila?"
"Heum? Gak ada cerita," jawabnya asal.
Zalman tersenyum tipis, putrinya sudah beranjak remaja, dia mulai kesulitan memahami gadis seusianya.
'Andai Katrin masih hidup.' Bathin Zalman.
Ya, jika ada Katrin mungkin dia dapat lebih memahami keinginan sang putri. Biasanya gadis seusianya akan lebih leluasa berbicara dari hati ke hati dengan sesamanya.
"Papa hanya berpesan pada kalian, jangan tinggalkan sholat dan jaga diri kalian baik-baik." Zalman kembali menasehati Kila dan dua keponakannya yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri, sampai akhirnya bus sekolah datang untuk menjemput mereka.
"Kami berangkat, assalamualaikum," pamit Gana dan Gani bersamaan kemudian mencium punggung tangan Zalman sebelum benar-benar keluar rumah, begitu juga dengan Kila.
Setelah menyelesaikan sarapannya Zalman berangkat ke kantor bersama Akbar seperti biasa. Setiap hari monoton bagi Zalman.
Akan tetapi, di tengah jalan dia kepikiran sesuatu dan meminta supirnya mampir ke suatu tempat.
***
"Ghina!" panggil seseorang.
Seseorang yang berhasil membuatnya mematung di tempat. Pria yang tersenyum lebar ke arah yang tanpa beban, melambaikan tangan.
Wanita itu masih mencoba untuk mencerna siapa yang datang, menemuinya pagi-pagi sekali. Sesaat visual tersebut mulai terlihat jelas.
Ghina berbisik pelan, "Mas Zalman?"
Zalman mendekat ke arah wanita itu, aura cerah yang datang bersamanya seolah memberi semangat.
"Assalamualaikum, selamat pagi," salam pria itu.
"A-apa yang-" Ghina tercekat, melanjutkan setelah beberapa saat.
"Waalaikumsalam. Apa yang sedang Mas Zalman lakukan di sini?" tanya Ghina melanjutkan ucapannya dengan sedikit salah tingkah.
Pria itu sangat tidak pandai mencari jawaban, atau paling tidak berbohong kepada seseorang. Karena ekspresi gugupnya akan tercetak dengan jelas di sudut wajahnya yang tampan.
Alasan yang diberi Zalman hanya Ghina iyakan, meski ragu untuk percaya.
Di bawah pohon, tak jauh dari tempat mereka berdiri ada bangku taman yang terbuat dari kayu tua yang sudah mati.
Keduanya memutuskan untuk duduk di sana dan mengobrol sebentar sebelum melanjutkan kegiatan satu sama lain.
Sebenarnya, Zalman tidak datang dengan tangan kosong melainkan membawa sesuatu. Hal itu diam-diam membuat Ghina bertanya-tanya.
Semoga saja pria itu tidak sengaja menemuinya, atau pasti dirinya akan merasa tidak enak karena sudah merepotkan.
"Untukmu," Zalman memberi sebuah bingkisan. Terasa hangat, saat menyentuh permukaan kulit Ghina.
"Ini apa, Mas?" Dengan kening berkerut wanita itu bertanya lagi, pada akhirnya.
"K-kenapa Mas memberikan aku ini?"
"Oh, begini-" Zalman mengusap tengkuknya, hari ini pria itu berusaha keras untuk mendekatkan diri pada Ghina tetapi tidak sampai menimbulkan ketidaknyamanan.
Rupanya, sulit juga.
"Saya menghadiri pembukaan toko baru seorang kenalan. Tokonya menyediakan beragam jenis sarapan ala barat, saya mengingat kamu jadi sekalian saya bawa," ujarnya, terlihat jujur.
Zalman menceritakan hal tersebut seolah itu kenangan menariknya dihari yang baik ini.
"Croffel ini saya pesan katanya merupakan menu utama yang sedang viral. Saat tau itu, dan mengingat bahwa kamu juga menyukainya," harap duda beranak dua itu.
Tatapan Ghina membuat pria itu kesulitan menyelesaikan kalimatnya.
"Karena kamu juga menyukainya, jadi saya memutuskan untuk mampir sebentar dan memberikannya padamu," akunya jujur.
Zalman membuka bungkus makanan itu, menampilkan gemuknya roti yang dipanggang dengan keju.
"Mari, kita cicipi bersama dan ketahui bagaimana rasanya," ajaknya tak sabaran, terlihat lapar.
Kelezatan yang ditampilkan itu membuat Ghina meneguk liurnya tanpa sengaja.
Apalagi, sejak semalam ia juga tidak makan apapun. Bukan karena diet-nya tapi karena di tambah tidak berselera karena kedatangan Rere.
Ghina ingin menolaknya, namun sepertinya tubuhnya sudah terlalu lemas untuk memberikan kata tidak bagi rezeki tak terduga, itu.
"Ayo, cicipi. Jangan sungkan, Ghina." Zalman memberikan Croffel yang telah ia alaskan tisu, pria itu menjaga wanitanya dengan baik.
Tangan kecilnya terulur, mengambil satu dari yang diberi Zalman. Di dalam hati, Ghina meyakinkan akan memberi Zalman balasan di kemudian hari. Setelah ia cukup mampu hidup lebih baik.
"Enak?" tanya Zalman, tersenyum simpul.
Ghina mengangguk gemas dengan mulutnya yang penuh.
"Heum, banget," jawab Ghina malu-malu mengaku bahwa ia sangat menyukainya.
"Aku tidak tahu kapan terakhir kali menikmati sarapan selezat ini," ungkit Ghina apa adanya.
Karena menyadari kalimatnya sudah terlalu berlebihan, mengaku pada sosok yang notabene adalah orang asing baginya, Ghina refleks merapatkan bibir.
Croassant yang dibakar dengan cetakan Waffel dan di oles mentega yang memberi rasa khas, memang memberikan kelezatan tiada tanding di lidahnya. Sejak dulu, sarapan yang seperti ini ia bayangkan bisa terjadi.
Zalman mengabulkan keinginan terbesarnya, lagi.
Selama mengunyah, wanita itu terlihat bahagia. Karena tidak butuh hal hebat untuk membuat seseorang bersyukur, sederhana, menikmati makanan yang terasa berharga sudah lebih dari cukup.
"Mas," panggil Ghina.
"Iya?" Zalman yang juga sibuk mengunyah menghentikan acara makannya saat Ghina memberi kode untuk bicara.
Raut wanita itu nampak serius, "Aku sangat berterima kasih untuk sarapan hari ini," ucapnya.
"Tetapi bila-"
"Saya tidak melakukannya secara gratis, Ghina," potong Zalman lebih dulu saat mengetahui apa yang akan didengarnya dari wanita itu.
Pria itu mengeluarkan ipad berharga fantastis, Ghina tidak tahu tepat berapa mahalnya. Mulai menggeser layar dan memperlihatkan sebuah diagram.
"Ini adalah daftar rencana yang perusahaan saya miliki. Kamu bisa melihatnya." Zalman memperlihatkan alat itu, dia membagi isi rahasia tersebut seolah tak keberatan sedikitpun.
Karena itu Ghina mendekat, secara refleks.
Membuat pria itu bergeming sebentar, meneguk saliva karena gugup berada di jarak sedekat ini dengan wanita itu.
Melanjutkan meski sedikit tercekat.
"Sesuai dengan rencana tahunan, perusahaan saya akan mengadakan kegiatan amal, saya kali ini tengah mencari seseorang yang pas untuk acara di sana," ungkap Zalman serius membahas proyeknya.
"Karena itu, apa yang kamu lakukan ini sebenarnya justru bentuk bantuan besar bagi saya, Ghina. Dengan begitu saya telah menyelesaikan salah satu daftar tugas ini," lanjut Zalman.
Entah pria itu memang pandai dalam membuat orang lain merasa mudah menerimanya, atau memang hal tersebut adalah kebenaran, yang jelas Ghina merasa jauh lebih lega setelah mendengarnya.
"Saya akan banyak membutuhkan bantuanmu. Apa kamu mau membantu saya?" tanya Zalman.
Ghina jelas tak akan menolak.
Selain karena ia bisa makan dengan nyaman, dirinya jadi juga dapat ikut berkontribusi di dalam kegiatan yang diam-diam menarik perhatiannya.
Mata Ghina tertarik pada judul proyek tersebut. "Menjadi Pribadi Yang Selalu Bersyukur."
Zalman melirik kalimat yang tertera di layar, yang Ghina baca. "Kami menamai kegiatannya dengan baik, bukan?" tanya Zalman meminta pendapat wanita itu.
Jelas saja Ghina mengangguk.
Zalman. Pria yang tidak pernah terbayangkan bisa dikenalnya di dalam kehidupan ini, rupanya memiliki begitu banyak hal menarik. Ghina merasa jantungnya berdebar.
"Saya merasa kamu pintar menarik orang untuk mau mendonasikan uangnya pada acara itu," puji Zalman, terbukti saat Ghina menemani Mr. Jasen tempo hari itu.
"Karena itu, saya menelponmu tadi malam, untuk membicarakan keterlibatan kamu pada proyek ini." Zalman menenggak air mineralnya dari botol langsung.
"Namun sepertinya kamu sangat sibuk," timpalnya dengan serak.
"Jadi saya memutuskan untuk datang. Syukurlah, kamu terlihat tidak keberatan," ujar Zalman.
'Oh, ternyata semalam itu untuk ini.' Bathin Ghina karena semalam dia urungkan niatnya menghubungi Zalman takut menganggu istirahat malamnya bersama istri di rumah pikir Ghina.
Ghina menghela napasnya panjang, memikirkan tawaran Zalman. Apakah dia harus menerimanya atau menolaknya.
***