(1) Pertemuan Pertama

1865 Words
"Hitamku bisa menjadi putih, agar kau menyukaiku. Cuekku bisa menjadi hangat, agar sepimu hilang. Angkuhku bisa menjadi langit, untuk menaungimu dari dinginnya hujan, tapi saat Tuhanmu yang tak menginginkanku, aku bisa apa, Bintang?" ujar Langit dalam hatinya, setelah jumpa pertamanya dengan gadis polos itu. Ia merasa sedikit ragu mengenai hubungannya dan Bintang. "Mas." Suara lembut Bintang membuyarkan lamunan Langit. Lelaki itu terkesiap. “Bintang, kamu yakin mau sama saya? Bukannya saya ragu sama kamu, tapi mengingat umur kamu yang masih sembilan belas tahun, saya jadi minder, Bintang. Saya ini mencari sosok pendamping hidup, bukan pacar lagi. Saya juga sudah berumur, dan kamu tahu itu. Usia saya sudah dua puluh sembilan tahun, Bintang. Memang, sepuluh tahun itu perbedaan usia yang masih bisa dimaklumi, tapi bagi saya, perbedaan usia kita begitu jauh, Bintang. Kamu juga tahu, kalau saya seorang duda, meski tanpa anak. Saya merasa banyak kekurangan, jika bersanding denganmu. Saya sadar diri, Bintang.” ujar Langit pada pertemuan pertamanya dengan gadis manis bernama Bintang Raina Putri. Langit Aldebaran Putra adalah seorang penulis ternama, begitu juga dengan Bintang. Mereka dipertemukan dalam suatu group kepenulisan. Berawal dari chat online, kini perasaan mereka berubah menjadi nyata. Bintang tersenyum tulus. Ia tidak menyangka jika Langit menepati janjinya untuk menemui dirinya suatu saat nanti. Bintang pikir, Langit hanya main-main dengannya. Mengingat, jarak tempat tinggal pria itu dengannya lumayan jauh. Akhirnya, hubungan virtual yang mereka jalin selama ini, bisa menjadi hubungan yang nyata. Bintang mengarahkan pandangannya pada Langit. Ia tatap pria di depannya begitu lekat. “Om, usia itu tidak menjadi penentu kedewasaan seseorang. Karena yang bisa menjadi penentu dewasa atau tidaknya seseorang, hanyalah pola pikir. Usia hanya formalitas sebagai tanda pertambahan usia dan laju menua, bukan semakin dewasa. Banyak kok, orang yang usianya udah matang, tapi pemikirannya masih seperti bocah, dan tidak sedikit pula remaja yang masih terlihat belia, tapi pikiran mereka amat dewasa. Aku tidak ingin mengatakan jika pemikiranku sudah dewasa, karena bisa jadi, kamu tidak akan mempercayai itu. Tapi, kamu bisa menilai sendiri bagaimana diriku. Kamu mau coba mengenalku lebih dalam lagi?” Bintang memberi kesempatan pada Langit untuk bisa mengenalnya. Ia pun tidak akan memaksakan diri untuk menjadi yang terbaik. Bintang tidak akan mengubah dirinya, hanya untuk memenangkan hati seseorang. Akan tetap menampakkan jati diri yang sesungguhnya. Karena dengan begitu, ia akan menemukan seseorang yang bisa menerima dirinya apa adanya. Bintang percaya, sebuah hubungan yang dibangun dengan topeng, kebohongan, pencitraan, penampilan luar, ataupun dusta, tidak akan bisa bertahan lama. Karena kejujuran adalah sebuah pondasi langgengnya sebuah hubungan. Jika hubungan yang baru dimulai saja sudah diawali dengan kecurangan, lalu apa jadinya ketika sudah memasuki fase pernikahan? “Boleh saya mengenal kamu lebih dalam lagi? Kamu gak malu sama teman-teman kamu, karena punya kekasih sudah tua seperti saya?” tanya Langit meyakinkan Bintang. Bintang mengangguk yakin. “Boleh. Kenapa aku harus malu? Kalau memang kamu yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk menjadi jodohku, aku bisa apa? Mau sekeras apa pun aku menghindar juga, pada akhirnya aku akan tetap menjadi milikmu.” Bibir langit membentuk sebuah lengkungan indah. Senyumnya teramat manis, hampir memabukkan siapa saja yang melihatnya. “Kalau begitu, saya dan kamu sekarang sudah menjadi pasangan kekasih? Apa saya boleh memanggilmu dengan sebutan Sayang?” Kalimat Langit dibalas oleh tawa kecil si gadis, tetapi tak lama kemudian, Bintang mengangguk cepat. “Boleh. Asal bayarnya pakai ayam geprek segerobak, ya? Oh, iya, ngomong-ngomong manggilnya jangan formal gitu dong, Om. Masa iya, panggilan buat kekasih sendiri pakai kata saya? Kan, nggak lucu!” “Hehe ... ya, sudah, iya, Sayang? Mau beli ayam gepreknya sekarang? Jangankan satu gerobak, sama abangnya juga, aku pasti akan beliin buat kamu,” tawar Langit. Ia berusaha membiarkan rasa gugupnya berlalu. Apalagi saat pertama kalinya memanggil Bintang dengan panggilan spesial. Bintang terkekeh. Seperti ada banyak kupu-kupu yang berterbangan di perut gadis itu. Perasaannya berdesir hebat. “Cie ... yang manggil sayang,” ledeknya. Tak elak, ia pun memiliki perasaan yang sama gugupnya dengan pria di depannya. Bintang pun berusaha semaksimal mungkin menetralkan degup jantungnya yang sudah ingin keluar dari tempatnya. “Cie ... yang baper!” balas Langit tak mau kalah. Pada akhirnya mereka saling melempar sebuah ledekan. Tak ada lagi kecanggungan di antaranya. Tiada jua ada perasaan malu untuk saling mengutarakan sayang masing-masing. Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan di awal pertemuan dua insan berbeda. Usai pertemuan yang dihias oleh banyak kebahagiaan, sepasang kekasih kemudian melanjutkan perjalanan. Selama laju kendaraan yang keduanya tumpangi aktif, Bintang tak henti-hentinya menatap Langit di kursi kemudi, tengah fokus menyetir. Pemuda di sampingnya memang telah berumur, tetapi ketampanannya tak jua luntur. Pasti orang lain akan mengira usia Langit tak jauh darinya, berkebalikan dengan apa yang pria itu katakan. “Ngapain sih ngelihatin terus kayak gitu? Kalau nge-fans, biasa aja!” celetuk Langit membuat Bintang sontak mencebikkan bibirnya. Tanpa menjawab, gadis itu justru mengalihkan pandangan ke arah jendela mobil dengan bibir yang masih manyun. Enggan membuat Langit berasumsi, jika ia mengamati pria itu dan membuat rasa percaya diri pada Langit menggebu-gebu. “Itu bibirnya ngapain dimanyun-manyunin? Minta dicium?” tanya Langit menggoda. Bintang langsung menoleh dan menghadiahi Langit tatapan tajam. “Enak aja! Bibirku masih virgin, ya. belum pernah disentuh. Jangan macam-macam, Om! Kalau mau incip, halalin dulu!” Langit terkekeh melihat gadisnya marah seperti itu. Saat kesal, Bintang justru terlihat semakin menggemaskan. “Sok-sokan minta dihalalin. Emang udah siap, diunboxing?" Seketika Bintang meringis. Ia bergidik ngeri saat membayangkan hal itu terjadi. “Hehehe ... takut.” Mendadak, wajah Bintang menjadi lesu. Hanya membayangkan saja, Bintang sudah ketakutan. “Takut kenapa? Orang gak serem kok takut.” Lagi-lagi langit terkekeh. Gadis kecilnya ini memang sangat polos. “Katanya sakit, ya? Ada yang bilang, kalau pertama tuh, rasanya sakit banget.” Jawaban Bintang membuat Langit menggeleng tak percaya. Masih ada ternyata gadis sepolos Bintang di zaman yang super modern seperti ini. Sudah bisa dipastikan kalau Bintang gadis baik-baik. Langit sangat beruntung, tetapi kini, perasaan minder hadir amat cepat, sebab merasa tidak sebanding dengan Bintang. Dirinya begitu kotor, jika bersanding dengan gadis itu. Mungkin, ini saatnya ia harus mengatakan sebuah kejujuran. “Sayang, dengerin aku, ya? Kalau baru pertama kali melakukan itu, memang sedikit sakit. Tapi, kamu tenang aja, kalau kita nanti udah nikah, aku akan melakukan itu dengan lembut. Aku akan membukanya dengan pelan, biar kamu gak kesakitan.” Langit tidak ingin Bintang menjadi takut menikah hanya karena hal itu. “Aku belum pernah begituan, berarti sakit dong, ya?” Tidak tahu lagi, Langit harus memberi jawaban seperti apa agar wanitanya tak lagi resah. Ia pun lebih memilih mengganti topik pembicaraan. “Nanti, kamu juga bakal rasain kok. Kamu bisa menilai sendiri sakit enggaknya. Oh, iya, kamu gak mau tahu gitu, kenapa aku bisa bercerai sama mantan istri aku?” “Emang boleh? Kalau Om gak mau cerita sama aku, gak papa kok. Itu, kan, privacy Om sama mantan istri. Jadi, aku nggak berhak untuk tahu. Aku akan belajar menerima masa lalu Om. Aku mau nerima Om dengan segala kelebihan dan kekurangan yang Om miliki,” tutur Bintang lembut. Langit mengusap puncak kepala Bintang. Masih fokus menyetir. Akan tetapi, ia harus mengatakan kejujuran ini pada wanita yang saat ini menjadi kekasihnya. Agar tak membuat gadisnya berpikir macam-macam mengenai ia dan mantan istrinya. Meski Langit harus menguak kenangan menyakitkan yang selama ini ia pendam dalam otak mati-matian. “Aku mau jujur, tapi kamu jangan marah dulu ya?” “Jujur soal apa?” tanya Bintang penuh minat. “Soal semua tentang diriku. Janji, ya, jangan marah dulu?” Dengan harap-harap cemas, Langit menunggu jawaban Bintang. Bintang mengembangkan senyumnya semringah, tak ingin membuat lelakinya dilanda gusar. Meski Langit tak mengatakan hal itu, tetapi Bintang merasakan apa yang pria itu rasakan saat ini. Pasti dilanda gamang yang teramat dalam. Pada akhirnya, Bintang mengangguk disertai senyum semangat. "Iya, janji." Puas dengan jawaban Bintang, Langit menarik napas dalam-dalam. Lantas kemudian, mengembuskan lembut. “Sebenarnya, aku cerai sama mantan istriku karena dia gak mau ikut aku kerja, Bintang. Kamu tahu kan, kalau aku juga kerja di kantor. Apalagi, aku pewaris tunggal dari perusahaan Papa. Aku harus bolak-balik terbang ke luar negeri buat urus bisnisku. Sementara, aku juga butuh seorang istri buat salurin hasratku. Aku pulang pun paling cuman seminggu dalam beberapa bulan. Waktuku lebih banyak kuhabiskan di negeri orang. Belum lagi, kalau pas pulang, istri lagi datang bulan, terus aku dapat apa, Bintang? Jujur, hasrat aku itu tinggi. Kamu nanti mau, ‘kan, kalau aku ajak kerja?” Langit melirihkan kalimat terakhir. Sedikit ragu mengenai apa yang akan ia terima sebagai jawaban nantinya. Bintang terdiam. Ia masih bisa memaklumi, pun tiada masalah jika harus menemani suaminya kemana pun dia bekerja. “Aku akan selalu ada di sampingmu. Aku akan terus temenin kamu ke mana pun kamu pergi.” Langit tersenyum. Setidaknya, dari jawaban Bintang, perempuan itu akan tetap mendukungnya. “Ada satu hal lagi yang harus kamu tahu tentang aku, Bintang. Sebenarnya, aku ini bukan laki-laki baik. Aku suka jajan di luar sana. Aku yakin, kamu paham makna jajan buat laki-laki itu seperti apa. Bukan jajan makanan, tapi jajan kepuasan. Aku juga suka minum-minuman haram, Bintang. Aku sering mabuk buat hilangin penat. Aku kotor, Bintang. Apa kamu masih mau terima aku? Aku emang kotor, tapi aku selalu main bersih. Aku selalu pakai pelindung, dan aku juga nggak sembarang pilih perempuan, Bintang.” Bak disambar petir di siang bolong akibat keterkejutannya, Bintang langsung menutup mulutnya tak percaya. “Itu beneran? Sampai sekarang kamu masih?” tanyanya menahan sesak. “Masih,” jawab Langit jujur. “Terus, apa kamu masih mau lakuin itu saat udah nikah sama aku, Om?” Disertai dengan gelengan tegas, Langit menilik wajah gadisnya yang terbaca oleh pikirannya takut. Lantas kemudian, ia pasang muka memohon dan merangkai kalimat untuk meyakinkan Bintang. “Demi kamu, aku akan jauhin itu semua. Asal kamu selalu di sampingku, Bintang. Kamu selalu dukung aku dan berbagi keluh kesah denganku. Aku sadar, kalau aku terlalu buruk di matamu. Aku bukan laki-laki baik seperti yang kamu idamkan. Tapi, hitamku bisa menjadi putih, agar kamu menyukaiku. Cuekku bisa jadi hangat, agar sepimu hilang. Angkuhku bisa menjadi langit untuk melindungimu. Beri aku kesempatan, ya, Bintang? Aku terlanjur sayang banget sama kamu.” “Aku tidak butuh omong kosong, Om. Yang kubutuhkan cukup bukti. Buktikan jika ucapanmu itu sesuai dengan realitanya. Berhenti dari lingkaran hitam itu. Aku nggak mau kamu terus-terusan terjerumus dengan hobi sesatmu.” Mendengar jawaban itu keluar dari mulut Bintang, Langit pun langsung menggamit tangan gadis itu, dan mengecupnya bertubi-tubi. “Terima kasih banyak, Bintang, terima kasih. Aku nggak akan menyiakan kesempatan ini." Setelahnya, Bintang tersenyum getir, takut jika Langit tidak bisa memegang ucapannya. "Ada satu hal yang harus kamu ingat! Aku benci pengkhianat!" Langit menelan ludah dalam-dalam. Mendengar kata pengkhianat, darahnya berdesir hebat. "Jangan bahas pengkhianatan di depanku," ucapnya dingin. Bintang mengernyit bingung. "Memangnya kenapa?" "Diam!" bentak Langit membuat Bintang terkesiap. "Maaf," ucap Bintang lirih. "Sayang, maaf, aku udah bentak kamu." Bintang mengalihkan pandangan menuju arah lain, masih bungkam dan enggan menggubris. Membuat Langit merasa bersalah. "Sayang," panggil Langit. Tidak ada respon dari Bintang. "Maaf, aku trauma." Mendengar itu, Bintang langsung menatap Langit. Bintang menyorot mata Langit dengan tatapan lembutnya. Bintang bisa merasakan luka dalam di balik tatapan sendu milik Langit. Akan tetapi, gadis itu tak ingin mencari tahu lebih jauh. Biar waktu yang menjelaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD