(2) Jangan Ada Dusta Antara Kita

2016 Words
“Sayang, ayam gepreknya mau berapa porsi?” tanya Langit saat mereka sudah berada di tempat makan yang menyediakan menu ayam geprek kesukaan Bintang. “Aku satu porsi aja, tapi nambah sambal bajak sama sambal korek ya, Om?” jawab Bintang. “Minumnya apa? Mau es teh, juice, atau apa?” tanya Langit lagi, karena belum tahu apa yang Bintang suka. Hei, mereka barulah menjadi pasangan kekasih dan tentunya Langit pun belum sepenuhnya tahu mengenai gadisnya. “Air putih aja.” Ya, hanya air mineral satu-satunya minuman yang paling aman untuk Bintang. “Yakin, cuman air putih? Gak mau yang segar-segar gitu?” Bintang menggigit bibir bawahnya mendengar Langit bertanya seperti itu. Andai Langit tahu, jika Bintang pun menginginkan air berasa seperti minuman orang-orang di luar sana. Namun, ia terpaksa menghindari minuman-minuman nikmat dengan rasa manis yang mendominasi itu agar tak terjadi sesuatu hal tak terduga. “Iya, air putih aja, nggak mau yang lain.” Bukannya Bintang menolak tawaran sang kekasih, hanya saja, ia tidak bisa meminum selain air putih. Terlalu beresiko untuk Bintang, kalau ia sampai nekad, akan sangat berbahaya. Langit menggidikkan bahunya. “Ya udah, terserah kamu aja. Nanti kalau aku pesan lemon tea, kamu jangan minta, ya? awas aja!” Bintang nyengir. “Nggak minta, cuman nyicip dikit.” “Leh, dasar! Ditawarin nggak mau, punya orang diminta.” Bintang memanyunkan bibirnya. “Nggak boleh banyak protes! Buruan pesan, Om. Aku sudah lapar.” “Baik, Tuan Putri. Ditunggu, ya? Pangeran ganteng akan segera membawa pesanan Tuan Putri.” Langit berjalan ke kasir, lalu memesan sesuai request dari Bintang dan untuk dirinya. Setelah memberi tahu semua yang dipesan, Langit kembali menghampiri Bintang. Ia menyeret kursi yang ada di hadapan gadis itu, lalu duduk di sana. Bintang bertopang dagu. Ia menatap Langit dengan wajah cemberutnya. “Om, kenapa Om mau sama aku? Padahal, aku nggak cantik. Aku yakin, di luar sana banyak yang menginginkan Om menjadi kekasih mereka. Secara, Om itu seorang CEO, penulis ternama lagi. Siapa coba yang nggak tergila-gila?” Langit terkekeh. Lucu sekali pertanyaan gadis ini. Siapa yang tidak tergila-gila? Padahal, Langit membutuhkan waku cukup lama dan usaha keras untuk memulai pendekatan dengan dirinya. “Kamu lucu, ya, Bintang? Kamu tanya siapa yang nggak tergila-gila sama aku? Jawabannya, ya, kamu. Kamu itu berbeda dari perempuan-perempuan di luar sana yang berusaha mendekatiku. Kamu aku tawarin kekayaan, nggak bergeming sedikit pun. Kamu aku tawarin kebahagiaan, sama sekali nggak tertarik. Saat aku memberimu kesederhanaan dan kasih sayang, dengan hati yang tulus, kamu menerimanya. Aku begitu kagum dengan gadis bau kencur ini. Kamu satu-satunya perempuan yang bisa membuatku jatuh cinta sedalam ini. Jangan pernah tinggalin aku, ya, Bintang? Aku nggak akan bisa menemukan dirimu pada sosok wanita manapun.” Mata Bintang terlihat berkaca-kaca. Mungkin, setelah ia mengatakan kejujuran ini, dan Langit pasti akan menatapnya jijik. “Andai kamu tahu, Om. Aku punya banyak kekurangan. Mungkin kamu bakal ilfeel saat mengetahui semua kekuranganku.” Bintang menundukkan kepala. Ia tidak berani menatap Langit yang menatapnya penuh keheranan. Langit menarik tangan Bintang. “Lihat aku!” perintah Langit. Bintang pun memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Ditatapnya manik mata Langit lekat. Hanya ketulusan yang Bintang lihat dari tatapan mata tegas milik Langit. “Katakan saja semua kekuranganmu, tapi ingat baik-baik, jangan pernah berpikir kalau aku akan pergi meninggalkanmu! Katakan padaku! Apa yang membuatmu merasa kurang? Agar aku tahu, apa yang harus kulakukan untuk menyempurnakan kekuranganmu. Akan kujadikan kekuranganmu sebagai kelebihanku. Dengan begitu, kita bisa sama-sama saling menyempurnakan.” Langit sudah memantapkan pilihannya pada Bintang. Mau sebanyak apa pun kekurangan Bintang, ia tidak akan memperdulikan hal itu. Dengan keyakinan penuh, Bintang memberanikan diri untuk mengatakan kejujuran ini. Soal kekurangan yang menjadikan Bintang tidak pernah percaya diri untuk menerima sebuah cinta dari seorang lelaki. Ia terlalu fokus untuk merutuki kekurangannya daripada mensyukuri berbagai kelebihan yang ia miliki. Bintang menarik napas panjang. Sambil menunduk ia berkata, “Aku gadis penyakitan.” Kalimat itu lolos dari bibir Bintang. Tak terasa, setetes cairan bening jatuh membasahi pipinya. Sesak yang ia dapatkan, saat harus menceritakan kenyataan pahit ini. Langit menggenggam tangan Bintang erat. “Kamu sakit apa, Bintang? Kenapa kamu nggak cerita ini dari awal?” tanya Langit begitu khawatir. “Aku takut, Om. Aku takut semua orang akan menjauh setelah mereka tahu kalau aku gadis penyakitan. Setelah tahu ini, Om pasti langsung ilfeel, ‘kan, sama aku? Nggak papa kok, kalau Om mau pergi ninggalin aku. Aku sadar diri dengan kekuranganku ini. Aku nggak akan maksa Om buat tetap ada di samping aku. Aku memang tidak pantas buat siapapun.” Lagi-lagi Bintang menangis. Entah ke berapa kali air matanya tumpah. “Jawab pertanyaan aku dulu, Bintang! Kamu sakit apa?” desak Langit agar Bintang menceritakan semuanya. “Aku kena diabetes sejak umur 12 tahun. Almarhumah Ibu, sudah terkena diabetes saat hamil aku. Ibu nggak tahu kalau ia terkena diabetes. Makan pun tetap normal tanpa ada konsultasi ke dokter, dan akhirnya resikonya, aku yang nanggung. Aku kena diabetes usia dini. Tiap hari harus suntik insulin, karena pankreasku udah nggak bisa sepenuhnya produksi hormon insulin. Aku bukan perempuan lincah, Om. Aku penyakitan. Aku cuman bisa ngerepotin. Jadi, kalau kamu mau pergi, aku persilakan,” ujar Bintang di sela isak tangisnya. Langit berdiri menghampiri Bintang. Ia menunduk dan memeluk Bintang dari belakang yang masih duduk di kursinya. Langit menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu. “Jangan katakan itu lagi, Bintang! Aku nggak akan pergi ke mana pun. Karena kamu adalah rumahku. Aku nggak akan mungkin pergi dari rumah yang menjadi tempatku pulang. Jangan pikirin soal penyakit kamu lagi, ya? Kalau dipikirin, nanti kamu jadi tambah sakit. Dibuat happy aja, oke?” Bintang menoleh pada Langit sekilas. Setelahnya ia pun mengangguk. “Terima kasih, Om. Karena Om tidak pergi meski tahu kekuranganku.” Langit terkekeh. “Bintang, Bintang." Bintang memanyunkan bibirnya mendengar tawa milik sang lelaki. “Kok, Om malah ketawa sih? Nggak lucu loh.” Kekehan kembali Langit lontarkan. "Ya, lagian, kamu ada-ada saja. Mana mungkin, aku ninggalin orang yang sangat aku sayang, cuman karena hal kecil kayak gitu? Dengerin, ya? Cuman laki-laki bodoh yang mau melepas seseorang yang begitu sempurna seperti kamu. Kamu itu seperti kupu-kupu, Sayang.” Bintang mengernyitkan dahi. “Kok kupu-kupu? Apa hubungannya? Masa aku disamain sama kupu-kupu?” Langit mengangguk, “Iya, kamu itu sama seperti kupu-kupu. Mau tau alasannya?” Bintang mengangguk sebagai jawaban. "Mau." “Karena kupu-kupu tidak bisa melihat keindahan sayapnya yang warna-warni, tapi orang lain bisa melihat keindahannya. Sama halnya dengan kamu. Kamu tidak bisa melihat kelebihan yang ada pada dirimu, tapi orang lain bisa menilai itu. Mungkin di matamu, kamu banyak kekurangan, tapi di mata orang lain? Kamu terlihat istimewa. Jangan hanya terfokus dengan kekurangan, ya? Karena tidak ada satu pun manusia yang sempurna. Kesempurnaan bisa didapat ketika kita saling melengkapi. Jangan mencari yang sempurna, tapi berusahalah saling menyempurnakan. Karena kesempurnaan itu hanyalah omong kosong untuk seseorang yang tidak pernah bersyukur. Tetap bangga dengan kelebihan kamu, dan aku pun juga bangga bisa menjadi pemilikmu.” Langit melepas pelukannya. Ia kembali duduk di tempat semula saat melihat waitress mengantar makanan yang sudah dipesan tadi berjalan menuju mejanya. “Udah, hapus air matanya. Jangan cengeng dong! Gak malu dilihat mbaknya nanti?” bisik Langit pelan. Dengan cepat, Bintang menghapus air matanya. Ia langsung menyambar tisu yang ada di hadapannya untuk mengelap ingus yang keluar. “Permisi, Kak. Makanannya sudah siap,” ucap waitress saat berada di hadapan Langit dan Bintang. Bintang tersenyum tulus. “Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Kak. Silakan menikmati hidangan yang disajikan di restoran kami.” Setelahnya, waitress berlalu meninggalkan Langit dan Bintang berdua. Tanpa berlama-lama, Bintang langsung mencelupkan tangannya pada mangkuk kecil berisi air untuk mencuci tangan. Setelahnya, ia langsung mencomot ayam dan sambal untuk disuapkan ke dalam mulutnya. Seolah kejadian yang membuatnya menangis tadi tak pernah terjadi. “Kok nggak pakai sendok?” tanya Langit saat Bintang mulai melahap nasi dengan suapan tangan. Bintang melirik Langit sekilas. “Makan sambal kok pakai sendok, mana nikmat?” Setelahnya, ia kembali menyantap ayam gepreknya. Terdengar tawa kecil dari sudut bibir langit. “Jarang banget loh, aku nemu perempuan yang apa adanya seperti kamu. Kamu bisa menjadi diri kamu yang asli tanpa harus menjaga pencitraan. Aku semakin kagum sama kamu, Bintang,” puji Langit, tetapi tidak membuat Bintang tersipu sedikit pun. Ia lebih fokus menikmati ayam geprek yang ia dambakan sedari dulu. Bukannya Bintang tidak sanggup untuk beli, tapi alasan sebenarnya karena Bintang tidak bisa makan terlalu pedas. Lambungnya sedikit bermasalah. Meski begitu, Bintang tetap nekad untuk makan yang pedas-pedas. Walaupun dirinya tahu akan resiko yang didapat setelah makan pedas. “Udah, buruan makan. Jangan ngelihatin aku terus! Entar naksir,” celetuk Bintang di tengah suapannya ke dalam mulut. “Emang udah naksir. Bahkan, sayang banget. Jadi, nggak sabar, buat cepet-cepet halalin.” Selanjutnya, Bintang tersedak. Ucapan Langit mengatakan suatu hal yang tak terduga, membuatnya terkejut. Dengan cepat, Langit meraih air mineral yang ada di hadapan Bintang. Ia membuka tutup botol itu dan langsung menyodorkan pada gadis di depannya. “Eh, cepat minum. Kalau makan itu pelan-pelan, biar nggak kesedak.” Tanpa menghiraukan ocehan Langit, Bintang langsung menyambar air mineral itu dan menenggaknya hingga tersisa setengah. Ia bernapas lega, meski hidungnya terasa sedikit perih. “Gara-gara kamu nih, Om. Aku jadi tersedak!” Bintang menyalahkan Langit atas insiden tidak mengenakkan yang menimpanya. "Lah, kok malah nyalahin aku? Orang kamu yang nggak hati-hati. Ceroboh sih!" protes Langit saat dirinya disalahkan. “Ya, abisnya kamu kalau ngomong bikin orang jantungan.” Langit terkekeh. “Lebay, kamu! Udah, lanjutin dulu makannya.” "Iya ... aduh, duh,” rintih Bintang saat perutnya terasa perih. Efek sambal yang begitu pedas, langsung menyerang asam lambung Bintang. “Kamu kenapa?” Langit terlihat panik saat Bintang terus menerus merintih kesakitan sambil memegangi perutnya. “Aku kebelakang sebentar,” ujar Bintang pelan. “Mau aku antar?” tawar Langit memberi bantuan. “Nggak usah. Kamu tunggu di sini aja. Aku cuman sebentar kok,” tolak Bintang halus. Tanpa menunggu jawaban dari Langit, Bintang langsung berjalan menuju toilet. Ia merutuki kebodohannya yang nekad memakan sambal pedas. Kalau sudah seperti ini, barulah ia sedikit menyesal. Setelah setengah jam berada di toilet, akhirnya Bintang keluar dengan perasaan lega. Meski rasa perihnya masih ada, tapi tidak seperih tadi. Bintang berjalan menghampiri Langit yang masih setia menunggunya dengan wajah yang cemas. ia lalu duduk di kursinya semula. "Udah nggak sakit, perutnya?” tanya Langit perhatian. “Masih perih, cuman udah mendingan. Nggak seperih tadi,” jawab Bintang sekenannya. “Kok bisa perih, perutnya? Tadi belom makan?” tanya Langit lagi. “Emmm ... sebenarnya, aku nggak bisa makan pedas. Aku ada asam lambung. Kalau makan pedas, langsung gini,” jawab Bintang jujur. Seketika, ekspresi Langit menjadi datar. Ia terlihat marah. “Terus, ngapain kamu minta sambal banyak tadi?! Sambalnya itu pedas banget loh. Sengaja mau sakit perut? Sengaja bikin kesehatan terganggu? Sekalian aja, makan cabe sekilo!” ketus Langit. Bintang terkekeh. “Iya, maaf.” Langit menghujam Bintang dengan tatapan begitu horror. “Dah, aku nggak mau tahu. Kalau sampai aku tahu kamu sakit gara-gara makan pedas lagi, awas aja, ya! Cukup, ini yang terakhir kali kamu makan pedas. Aku gak mau dengar lagi, kamu ngeluh perutnya sakit karena sambal.” “Iya, Om. Iya ... dah, jangan marah. Ayo makan lagi!” Bintang bersiap menyantap makanannya yang masih tersisa banyak. Namun, tangannya langsung dicekal oleh Langit. “Siapa yang suruh kamu makan itu lagi?” tanyanya geram. “Aku masih lapar, loh,” eyel Bintang. “Ganti menu lain yang nggak pedas. Perut udah sakit kayak gitu, masih mau lanjut makan sambal. Mau cari mati?” Tatapan Langit begitu sinis. “Tapi, masih banyak loh, sayang, ‘kan? Pamali buang-buang makanan.” "Kamu sayang sama makanan, tapi nggak sayang sama lambung kamu? Aku yang bayar makanannya. Jadi, pesan makanan lain yang nggak pedas,” perintah Langit tak terbantahkan. “Iya, deh. Iya, aku manut,” putus Bintang pada akhirnya. "Pintar!" puji Langit. "Tapi -- " "Nggak ada tapi-tapian!" pungkas Langit cepat. Bintang melirik sambal yang ada di hadapannya, sambil menahan air liur. "Incip sambalnya dikit aja." Langit menyorot mata Bintang yang bergerak gelisah. "Jangan buat aku marah!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD