9. Ekspedisi Sekarat

1430 Words
Ini hari yang baik bagi Neta. Sangat baik sampai-sampai tatapannya tak bernyawa. Pikiran Neta kosong, mungkin karena terlalu penuh dan Neta malas memikirkannya. Hati Neta terasa hampa. Dan itu baik karena Neta tidak merasakan sakitnya sebuah fakta. Tapi, hanya sesaat sebelum kemudian papa datang menyerahkan sertifikat rumah dengan syarat: “Tinggal sama Papa, ya? Buka hati kamu dan ayo bahagia sama-sama. Lupain yang udah berlalu, Papa memang nggak mencintai mamanya Neta, tapi Papa cinta Neta. Anak Papa. Neta mau, ya? Hm? Mama Sita sama Vira udah bersedia, tinggal Neta aja. Mau ya, Sayang?” Neta diam. Yang Dio remas pelan genggaman tangannya. “Neta ” Sangat mengharap. “Mau, ya? Tinggal sama Papa. Nanti sertifikatnya Papa kasih ke Neta.” Tapi Neta bukan anak papa. Cinderella yang merupakan anak kandung ayahnya saja bisa sampai dijahati oleh ibu tirinya. Apa kabar dengan Neta? Dio yang merupakan papanya saja, meski sama-sama bukan kandung, memperlakukan Neta dan Vira berbeda. Lantas, bagaimana nanti perlakuan Tante Sita kepada Neta? Perlakuan Vira kepada Neta? Apa kabar? Mereka adalah orang-orang yang Neta inginkan kematiannya. Mungkin kalau tinggal dengan mereka, Neta bisa mati duluan sebab mereka akan memberikan racun di makanannya. Nggak mau. Karena Neta bukan anak papa. Jadi sebaiknya Neta biarkan itu mengalir sebagaimana darah dalam tubuhnya. Neta bisa. Namun, kenapa papa datang dan meminta hal yang mustahil dia penuhi? Tapi belum sempat Neta katakan, papanya kembali memohon dengan tatapan yang begitu putus asa. “Neta mau ya, Sayang? Papa janji, habis ini Papa nggak akan minta sesuatu yang nggak kamu sukai lagi.” Janji. “Papa mau aku tinggal sama mereka?” “Iya, sama Papa juga. Neta tinggal sama Papa.” “Nggak bisa kalo Papa aja yang tinggal di sini sama aku? “ “Mama Sita lagi hamil anak Papa, Sayang. Adik kamu. Papa mungkin bisa giliran tinggal sama kalian, tapi apa nggak sebaiknya kita tinggal sama-sama aja? Biar nggak ada lagi istilah ‘papanya Neta’ atau ‘papanya Vira’, di sini ini Papa kalian.” Dan Neta sanggupi setelah lama terdiam. “Oke.” Neta putuskan setelah dia pikirkan. “Neta mau.” Jawaban Neta membuat sudut bibir sang Papa tersungging. Yang Dio peluk putrinya sedetik setelah Neta iyakan. Mereka akan tinggal di bawah atap yang sama, juga berbagi oksigen di rumah yang serupa. Dio bahagia. Tapi, apa pernah kebahagiaan Neta melintas di benak papanya? Sedikit saja. Neta juga bahagia, walau sandiwara. Kenapa papa tidak merasakan kepura-kepuraannya dalam bermain peran? Apa sebagus itu sandiwaranya? Papa nggak sadar kalau Neta merintih sakit dalam hatinya. Tapi, biarkan. Karena di sini Neta masih butuh papa. Dia butuh lelaki itu. Butuh. Tunggu sampai nanti Neta tidak membutuhkannya. Dan ternyata, pelukan kemarin itu bukan pelukan terakhir dari Neta untuk papa. *** Sebaik-baiknya kamu membuangku. Lukamu merengkuhku. Sejauh-jauhnya kamu tinggalkan aku. Dukamu menghampiriku. Aku dendam. Sesuatu yang tidak mudah kamu lepaskan. Aku dendam. Sesuatu yang sangat ingin kamu realisasikan. Jadi, bertahan. Aku di sini denganmu, setia untuk hidupmu. Karena tanpaku, kamu mati. Namun juga karenaku, hidupmu tak berarti. *** Neta masih realistis. Dia juga mau pergi, tapi ke mana? Nggak yakin bisa hidup dengan baik nantinya. Dia belum punya apa-apa, belum mempersiapkan bekalnya, bukan bekal untuk sesaat. Tapi, untuk selamanya sampai dia bisa pergi denggan bangga. Bukan pergi dan membuat yang ditinggalkan tertawa, lalu lupa kalau di hidup mereka pernah ada ‘Netalia’. Ya, alasan mengapa Neta masih butuh papa. Hingga kini dia berdiri membawa koper di atas marmer yang sama dengan Vira Alisandina. Saat di mana papa bicara, “Mulai sekarang, Neta tinggal di sini.” Di rumah Tante Sita dan pacarnya Arka, Vira. “Hai ” Menyapa. Neta harap kewarasannya bersahabat. *** Satu mingguan Arka tidak bertatapan dengan Neta, dan selama itu Neta tidak mengganggunya, tidak pernah hadir secara sengaja seperti biasa di hadapan Arka sekadar untuk menikmati bekal di jam istirahat bersama. Lalu Arka jadi pemerhati, Arka sempat melihat bibir Neta yang luka sehari selepas berciuman dengannya. Dengan konyol Arka bertanya-tanya: Apakah dia seganas itu? Padahal perasaan Arka mengatakan kalau pagutan yang Arka beri kepada Neta sama sekali tidak kasar. Harusnya kalau ada bagian tubuh Neta yang terluka, itu lehernya. Bukan bibir. Arka mencekik Neta, bukan menggigit bibirnya. Setelah hari itu, Arka gemas sendiri dengan dirinya yang sadar betul suka menunggu pesan dari Neta. Biasanya Neta suka bilang: Arka jangan lupa sikat gigi. Mengkhawatirkan gigi Arka seolah Arka ini bocah TK. Yang mana sejak hari itu, Neta tak lagi mengiriminya pesan. Neta seolah hilang. Ah, nggak. Neta ada. Perempuan itu selalu ada. Arka selalu melihatnya di sekolah. Tapi, Neta tak lagi sama. Yang hilang bukan orangnya, melainkan pandangan Neta terhadap Arka yang nampaknya di mata Neta Arka tidak bermakna. Well, secepat itu? Setelah semua yang terjadi? Setelah Neta mencuri ciuman pertama seorang Arkana Nuraz Sadewa. Apa Neta tidak kepikiran? Soalnya, begini yang di sini Arka selalu memikirkannya. Hingga tiba saat di mana kini mata Neta memandangnya, kembali bertemu tatap setelah satu minggu lamanya, telaga bening Arka dan Neta bersinggungan. Mereka duduk berhadapan. Namun, kenapa kenapa harus di sebuah acara makan malam yang Vira undangkan? “Jadi, ini Neta .” Arka menelan ludahnya kelat. Melihat Neta yang santai menyantap hidangan. Sedangkan Arka merasakan sebuah ketidaknyamanan. Papa Vira lanjut bicara. Arka kian tak bisa berkata-kata saat Om Dio berucap, “Bisa dibilang Neta ini kakaknya Vira.” Arka tahu. “Cuma Neta bandel dulunya, nggak mau sekolah. Beda sama Vira, dia bahkan jadi anak bawang pas SD. Makanya kan, umur tua tapi Neta malah jadi adik tingkat adiknya.” Dan Neta diam saja, melahap nasi di piringnya dengan tenang. Yang tadi itu ucapan dari Tante Sita. Arka tersenyum kikuk. Dia tidak nyaman dengan situasi ini. “Ah, benar. Neta tinggal di sini mulai sekarang.” Arka datang ke sana karena diundang oleh pacar, Arka kira dia mau dikenalkan kepada orang tua Vira. Eh, ternyata Arka diajak makan malam dengan tema syukuran dan pengenalan anggota keluarga baru yang bernama Netalia Aurahma. Apa ini tidak terlalu kejam? Arka juga tahu kalau Vira dan Neta selalu bersitegang. Selain itu, Vira pernah bilang kalau Neta ini pelaku dari bocornya kepala sang Papa. Jadi, keluarga macam apa mereka? Dan kenapa Arka merasa dia terseret di dalamnya. “Oh, ya, kalian satu sekolah, kan?” Arka terkesiap. “Neta adik kelas Arka, Om.” Dio tersenyum. “Kalo gitu udah saling kenal dong, ya?” Arka melihat Neta henti mengunyah. Lalu Arka melirik Vira yang menunduk. Arka mengangguk. “Neta terkenal. Nggak ada yang nggak kenal sama Neta,” jawabnya. “Oh, ya? Papa nggak tau. Anak Papa setenar itu ternyata.” Yang Dio cubit pipi Neta. Saat itu Arka melihat Neta tersenyum sampai sipit matanya. Juga mendengar Neta menjawab, “Papa mana tau tentang aku, hidup Papa isinya penuh sama ular berbisa. Mana ada waktu buat ngurusin apalagi memantau hidupnya itik buruk rupa. Iya, kan?” Kalau bisa, Arka mau pulang saja. *** Makan malam itu berlangsung dengan canggung selepas Neta bicara. Lalu Arka mengobrol dengan Vira yang mendadak manja maksimal di depan Neta. Tidak tahu kenapa, Arka merasa ini tidak benar. Sampai-sampai Neta pamit ke kamar, dan Arka refleks menahannya dengan alibi mau bicara, belum puas kenalan. Arka ini kenapa? Vira menatap marah padanya, tetapi Arka kesampingkan. Dia ingin bicara dengan Neta, berdua, hingga kini Neta duduk di sampingnya. Di bangku taman rumah Vira. “Mau ngomong apa?” tanya Neta. Yang Arka tatap sosoknya. “Lo oke?” Neta mengernyit. “Maksud?” Mereka berpandangan. “Lo keliatan nggak oke.” Dan Neta terkekeh. “Terakhir kali kamu bilang kayak gini, kamu ngajak aku ke dokter. Sekarang masih sama juga? Mending langsung aja ke motifnya. Nggak usah bertele-tele sampe sok peduli segala.” Tatapan Arka memicing tak suka. “Serius peduli.” Dan Neta jauh lebih tidak suka. Menatap Arka dengan satu alis terangkat. “Kalo gitu, silakan ke RSJ. Karena Arka yang peduli sama aku, itu kedengaran gila di telinga.” “Net—” “Excuse me?” Neta memangkasnya. “Sekalipun kamu peduli, memangnya kamu siapa?” Arka terhenyak. Ya, memang Arka siapa? Pacar Neta? Nggak, kan? Arka yang selalu bilang ‘tidak’ untuk statusnya dengan Neta. Status yang terjadi akibat taruhan, lalu Arka meminta udahan. Neta bangkit dan memilih hengkang, namun tak Arka izinkan. Yang dia tahan lengan Neta juga ucapan, “Gue cuma mau bilang, gue serius peduli bukan sama lo. Jadi jangan geer dulu. Dengan lo yang tinggal di sini, dengan lo yang nggak oke, lo bisa mencelakai Vira.” Tidak. Bukan itu. Arka menelan gumpalan ludahnya kelat, terlanjur dia rampungkan, “Karena peduli sama orang kayak lo, nggak guna. Kalo gue lakuin itu, bener kata lo, itu pasti karena gue udah gila, bisa-bisanya peduli sama sampah masyarakat.” Yang Neta sentakkan cekalan tangannya. Dia menatap Arka sejenak, merekam ekspresi wajah Arka selepas mengatainya ‘sampah masyarakat’. Akan Neta ingat ini seumur hidupnya. Begitu merasa cukup, Neta berbalik tanpa kata. Dia tinggalkan Arka di sana, membiarkan Arka menatap punggungnya hingga lenyap tertelan daun pintu. Di halaman … Arka mengetatkan rahangnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD