POV Pram
Dari tadi menunggu, Nay tak juga terlihat. Apa jangan-jangan tak ke kampus? Atau ia melihatku di sini jadi memilih bersembunyi? Masa dia sekekanak-kanakan itu?
Tak bisa kubayangkan kalau uang itu sampai dipakainya. Kukumpulkan uang itu sedikit demi sedikit dari bekerja apa saja agar bisa segera membuat rumah, tak dipandang rendah lagi oleh orang-orang karena belum juga memiliki hunian.
Jenuh menunggu, akhirnya aku memilih menunggu di warung dekat kontrakan Nay dulu, memesan es teh. Aneka gorengan yang tampak menggoda di nampan tak kuhiraukan, tidak boleh boros agar bisa membuat rumah. Walaupun harganya cuma 2000 dapat tiga, tetap saja yang digunakan untuk membeli adalah uang. Dua ribu dikali sepuluh misalnya, sudah banyak.
Sekitar sepuluh menit, terlihat Nay lewat bersama teman-temanya, sekilas menatap ke mari. Bukan ke arahku, tapi tatapannya tertuju pada Mita dan Arifin yang terus asyik mengobrol.
Pasti, yang diperhatikannya Arifin. Mungkin Nay masih ada rasa pada cowok berkemeja kotak-kotak itu. Kurasakan dadaku memanas. Jangan cemburu tanpa sebab, Pram. Kuingatkan diri sendiri. Tapi kesal juga rasanya mengingat Nay dulu begitu dekat dengan Arifin. Mungkin sampai sekarang, istriku itu masih mencintainya.
Kling! Notif SMS.
Paijo, istrimu, tuuuh. Pesan WA dari Mita. Kebiasaan, tak pernah menyebit namaku dengan benar.
Balas, Biarkan.
Kutunggu Nay sampai masuk ke kontrakannya dulu.
Kualihkan pandang saat secara tak sengaja bersitatap dengan Arifin. Kami tak saling kenal. Aku sedikit banyak tahu tentangnya dari Mita. Arifin juga mungkin tahu tentangku dari si bawel yang terus mengajaknya mengobrol.
Kling! Pesan dari nomer yang kunamai Si Lenjeh kembali masuk.
Jaga istrimu
Seperti ayam saja dijaga. Balasku sambil memperhatikan ke arah kontrakan Nayma. Pintunya terbuka lebar. Tampak Dila tengah merapikan penampilan di depan cermin besar. Benar-benar tak punya malu sepertinya itu anak. Pintu dibiarkan menganga lebar sementara ia tengah merapikan penampilan sambil sesekali menggoyangkan tubuh. Yah, tentu saja aku tahu profesinya. Beberapa kali memergoki gadis mungil itu tengah bermesraan dengan lelaki di kafe, tapi tak seharusnya kentara juga siapa dirinya yang sebenarnya. Mau jadi apa Nayma kalau terus bergaul dengannya.
Aku menghela napas teringat Nay masih benar-benar gadis saat aku melakukannya dulu. Ia menjerit-jerit histeris saat tersadar, menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Itu terjadi bukan tanpa sengaja.
Seseorang menyuruhku melakukannya karena ia begitu mencintai Arifin.
Aku yang pada dasarnya sudah tertarik pada Nay karena sering melihatnya di kafe bersama Dila dan Rindai, tanpa pikir panjang mengiyakan. Diiming-imingi 30 juta uang pula.
Siapa yang akan menyangka, Nay hamil. Karena aku sudah lama tertarik padanya, maka tanpa pikir panjang menikahinya.
Aku sungguh-sungguh menjalani pernikahan ini tak peduli awalnya pernikahan kami terjadi karena kesalahan. Tapi bagi Nay, pernikahan kami ada, hanya untuk menutupi aib.
Aku menegakkan tubuh saat melihat Rindai menghampiri lalu duduk di sampingku, mengerlingkan sebelah mata menggoda. Diseruputnya es tehku lalu tersenyum sok kecentilan. Menjijikkan.
"Ada yang gak beres sepertinya dengan istrimu, dia aneh," katanya, lalu mengerling pada Arifin dan Mita yang terus menatapnya.
Aku mengerutkan kening, menatapnya penuh rasa ingin tahu. Memang Nah agak aneh. Apalagi memang yang diperbuatnya? Aku menghela napas lega karena ia tak sedang bersama Fatih. Tentu tak akan membahayakan Fatih.
"Aneh pokoknyaaa. Ke sono aja deeh, mendingan. Oke aku pergi dulu, pelangganku sudah menunggu." Ia berdiri, melayangkan ciuman jarak jauh dengan tangannya lalu melangkah menjauh. Dasar perempuan gampangan.
Kubayar es teh lalu melangkah menuju kontrakan Nay. Aku langsung membalikkan badan saat melihat Evi keluar.
"Mas Pram."
Aku menoleh. Tersenyum kecil. Berbeda dengan Dila dan Rindai yang sering mengenakan pakaian kurang bahan, si Evi ini begitu alim. Membuatku sedikit lega karena Nay tak hanya tinggal dengan Dila dan Rindai.
"Nay ada di dalam." Lalu ia melangkah cepat meninggalkanku. Aku baru akan membalikkan badan menuju kontrakan Nay saat Si Lenjeh berseru memanggilku.
"Kontak woiii! Kontak!" Mita melambai-lambaikan tangannya menggenggam kontak. Aku melangkah cepat menuju warung.
"Istrimu, tuuuh." Tunjuk Mita ke arah kontrakan Nay. Aku membelalak tak percaya melihat istriku itu tengah meraih sandal lalu menggendongnya seolah sedang menimang bayi. Berkata pada benda itu seperti orang gila.
Ada apa denganmu, Nayma?
Tak hanya aku, Mita dan Arifin juga menatap dengan pandangan tak percaya. Tanpa membuang waktu, aku melangkah menuju kontrakan. Nay masuk. Pintu didorong menutup.
"Nay!"
Tak ada sahutan.
"Nay!"
Tok tok tok.
Kutempelkan telinga ke pintu. Samar terdengar suara Nayma yang seolah tengah bicara dengan Dedek.
Nay ada apa denganmu sebenarnya?
"Nay, buka pintu Nay! Buka Nay!"
Tetap tak ada sahutan. Aku berancang-ancang lalu mendorong pintu sekuat tenaga berulang-ulang hingga akhirnya menjeplak membuka.
Terdengar suara Nay dari arah kamar mandi.
"Naymaa!" Aku langsung berlari ke arahnya yang duduk bersandar di dinding mnyedekap sandal, perlahan memejamkan matanya. Lantai kamar mandi basah oleh air yang bercampur darah yang mengalir pelan dari tangan Nay yang terkulai di sisi tubuhnya. Bau amis darah menguar pekat di udara.
"Nay! Nay! Bangun, Nay!" Kuseru namanya sambil mengangkat tubuhnya menuju kamar, membebat lengannya dengan kain lalu mengganti bajunya yang basah. Kuhela napas panjang lalu meraih tas tak asing di atas lemari. Kugendong Nay keluar kontrakan lalu berseru memanggil Mita. Cewek lenjeh itu terlihat terkejut, pun begitu dengan Arifin. Mita segera berlari mendekat lalu duduk di belakang Nayma dan aku segera mengemudikan motor dengan kecepatan penuh.
Kasihan Fatih kalau sampai ibunya kenapa-napa.
Fani juga sangat menyayangi Nay seperti menyayangi Nindi.
Tuhaan, jangan biarkan Nayma pergi. Di sepanjang jalan, Mita terus berusaha mengajak Nay mengobrol, tapi istriku sama sekali tak menjawab.
Jangan biarkan Nayma pergi, Tuhan.