Kata Ibu, aku gila. Masa aku gila? Masa orang gila bisa berpikir dan membedakan sesuatu. Ini ... kolam. Ini ... ikan. Kalau dedek kulepas, itu artinya dedek berenang di dalam kolam.
***
"Ada apa, Bu, ribut-ribut." Mas Pram melangkah masuk menenteng plastik merah transparan berisi sayuran dan ikan. Ibu yang duduk di kursi tengah mengobati lukanya langsung menatap ke arahku yang sejak tadi berdiri mematung dengan pandangan sinis.
"Istrimu mau bunuh ibu. Lihat tangan, ibu." Ibu mengulurkan tangannya. Mas Pram mendekat kearah ibunya, lalu menggelengkan kepala.
"Kamu mau bunuh ibumu sendiri, Nay?" Mas Pram menatapku tak suka.
"Tadi, Fani lihat bunda lempar pisau ke arah nenek," kata Fani, menatapku takut-takut. Biasanya, anak itu suka menggelendot manja di lenganku.
Mas Pram meletakkan plastik yang di tentengnya ke lantai, lalu menarikku masuk kamar. Duduk dengan hati-hati di ranjang karena Fatih sedang terlelap. Mas Pram menoleh, menatapku tajam.
"Ibuku ibumu juga, Nay!"
Aku menggigit bibir. Aku juga tahu. Sama sekali tak ada niat mau menyakiti ibu. Tiba-tiba saja, tadi aku menjadi sangat kesal. Seperti ada dorongan agar melempar pisau ke arah Ibu.
Mas Pram terus menatap tajam.
Kuhela napas panjang, mengalihkan pandang darinya saat berkata, "Aku minta maaf, Mas. Aku gak ada niat mau nyakitin ibu. Aku tiba-tiba ... entahlah. Aku gak sadar saat melakukannya, Mas," ucapku lirih. Aku pun bingung kenapa bisa begini. Mas Pram meraih daguku, memaksaku menatapnya.
"Gila, maksudmu?" Mas Pram mengernyit. Mata tajamnya seolah menembus jantungku.
Aku menatapnya tak percaya. Lalu menggeleng. "Aku gak gila, Mas."
"Kamu sendiri yang bilang gak sadar saat melakukannya. Berarti gila, dong!" Ia mendecakkan lidah.
"Yang benar saja. Harus berapa banyak uang yang kukeluarkan kalau sampai kamu gila, Nay. Apa sih yang kamu pikirkan?" Tatapnya lekat penuh ingin tahu.
"Aku ...."
Mas Pram terus memandangku.
"Mungkin karena aku jenuh, Mas. Aku ingin kuliah lagi, Mas. Mungkin aku stres karena jenuh di rumah."
"Apa?!" Ia menatapku dengan pandangan tak percaya. "Apa kamu bodoh, Nay? Kamu baru saja menghabiskan banyak uang untuk melahirkan. Juga untuk menyembuhkan luka karena kebodohanmu sendiri, jatuh seperti anak kecil. Memangnya kuliah tak pakai biaya, apa?!" Ia mendecakkan lidah.
"Iya!" Timpal Ibu sambil berjalan mendekat.
"Kamu maklumi saja lah dia, Pram! Istrimu itu memang masih bocah!" Ibu duduk di bibir ranjang, memberikan teh pada Mas Pram lalu menatapku sinis. "Istrimu tak tau apa-apa bagaimana susahnya mencari uang. Bisanya cuma minta."
"Nanti saja kamu lanjutin kuliahnya, Nay. Kalau Fatih sudah besar. Kalau kita sudah buat rumah."
"Assalamualaikum."
Suara yang begitu tak asing. Ibu dan bapak berjalan menghampiri. Aku langsung menyalami tangan ibu dan ayah bergantian. Ibu dan Mas Pram juga ikut menyalami. Kami bersamaan melangkah ke ruang tamu sementara ibu mertua menuju dapur.
"Pintu tak dikunci. Jadi kami langsung masuk," ucap Ibu dengan wajah segan.
Ibu mertua mengangguk. Diletakkannya s**u ke hadapan ayah yang terus menatap Fatih yang terlelap.
"Tidak apa-apa. Di rumah besan sendiri jangan sungkan," katanya sambil duduk di dekat Mas Pram. Lalu tangannya bergerak mempersilakan.
"Tadi, ibu sekilas dengar ucapanmu, Nay. Kalau mau lanjutin kuliah, biar ibu yang biayai. Biar suamimu cepat buat rumah."
"Bukannya aku tak ingin membiayai kuliah Nay, Bu," kata Mas Pram lirih. "Tapi kan Fatih masih kecil juga. Tahun depan, mungkin sudah buat rumah," imbuh Mas Pram dengan wajah tak nyaman.
Ayah dan Ibu langsung mengangguk bersamaan. "Ibu ngerti maksudmu, Pram. Tak masalah ibu yang biayai. Nay kan anak ibu. Nay, ibu transfer ke rekeningmu, yaa?"
Aku mengangguk, langsung mengalihkan pandang saat bersitatap dengan ibu mertua yang menatapku tak suka.
Seharian, orang tuaku terus bergantian menggendong Fatih. Mereka tak bisa lama di sini karena sedang sibuk.
"Ibu pulang, Nay. Sudah ibu transfer ke rekeningmu." Ibu mendekatkan HP-nya yang menyala terang ke arahku yang menjelaskan bahw si pemilik rekening baru saja transfer senilai 10 juta.
"Makasih, Bu."
"Jangan lupa isi pulsa Nay. Ibu tak bisa menghubungimu," kata Ibu sambil mengusap lembut kepalaku, memelukku erat, lalu bersama bapak melangkah menuju mobilnya di halaman rumah.
"Kebangetan, kamu, Nay. Mempermalukan suamimu saja!" ketus Ibu saat aku melangkah ke dalam. Mas Pram duduk di kursi tengah mengajak Fatih mengobrol.
"Sudah dibilang taun depan, tidak sabaran amat! Jika sudah punya rumah, aku akan turuti yang kamu mau, Nay!" Mas Pram berkata setengah membentak.
Lihat tatapannya begitu tajam. Dan apa katanya barusan? Tahun depan? Aneh. Mas Pram tak mengatakan padaku agar aku sabar menunggu hingga tahun depan baru kuliah lagi. Ia mengatakannya saat ada ibu. Tahu-tahu, aku sudah tertawa mencemooh. Lucu sekali. Tahun depan katanya. Padahal tak mengatakan itu tadi.
"Gila kamu, Nay! Orang bicara serius malah ditertawakan!" ucap Mas Pram sengit. Fatih dalam gendongannya langsung menangis kencang. Bocah itu seperti salah tangkap, mungkin dikira Mas Pram sedang memarahinya.
"Yuuk, sayang, sama bunda." Aku mendekat, meraih Fatih dalam gendongan Mas Pram lalu membawanya menuju kamar.
"Ibu curiga istrimu mulai gila, Pram."
"Berapa biaya yang harus dikeluarkan jika istrimu sampai masuk rumah sakit jiwa Pram?"
Karena tak tahan mendengar ucapan ibu mertua yang terdengar jelas di kamar, aku akhirnya keluar, memperhatikan ikan-ikan hias sumber pencaharian Ibu di samping rumah. Ada 8 kolam dengan jenis ikan berbeda. Ada ikan koki, layang-layang, cupan, gepi, dan entah apalagi aku tak tahu namanya.
Kutatap dedek dalam gendongan yang balas tersenyum. Begitu lucu. Dedek sedang senyum. Masa kalau aku gila, aku bisa tahu dedek tengah tersenyum? Ibu dan Mas Pram benar-benar aneh. Kuperhatikan ikan-ikan yang terus berenang ke sana-kemari. Aku melangkah mendekat lalu masuk ke dalam kolam dengan dedek dalam gendongan.
Kata Ibu, aku gila. Masa aku gila? Masa orang gila bisa berpikir dan membedakan sesuatu. Ini ... kolam. Ini ... ikan. Kalau dedek kulepas, itu artinya dedek berenang di dalam kolam.
Perlahan, kesentuhkan tubuh dedek ke dalam kolam. Dedek menangis keras. Mungkin kedinginan. Coba kulepas, mungkin dedek akan berenang.
Maka, kulepas pelan-pelan. Ayo dedek berenang! Semangat!
Aku menatap tubuh dedek yang perlahan karam.
"Bunda! Bunda apa yang bunda lakukan! Nenek! Neneeeek!" Teriak Fani sambil berlari ke arahku. Tak lama, ibu mendekat sambil menjerit-jerit. Mas Pram masuk ke dalam kolam lalu meraih dedek. Wajah dedek pucat.
Tanpa mengatakan apa-apa Ibu dan Mas Pram berlari ke dalam rumah. Tak lama, terdengar derum motor yang perlahan menjauh.
Aku tersentak kaget. Ya Tuhaan, apa yang telah kulakukaan?
Aku terisak. Ada apa denganku?
Saat pulang nanti, Mas Pram pasti akan marah-marah. Begitu pun Ibu.
Aku keluar dari kolam, dengan pakaian basah kuyup menuju kamar. Lebih baik aku pergi. Aku sudah tak tahan lagi. Maka kumasukkan baju-baju ke dalam tas. Saat tatapanku tertuju ke arah lemari tempat Mas Pram meletakkan uangnya, aku jadi penasaran. Akhirnya kuraih sapu lalu memukulkan ke arah kaca yang memantulkan tubuhku keras-keras.
Praaang!
Serpihan kaca berserakan. Ada tas ukuran sedang di dalam lemari. Aku meraihnya, membukanya penuh rasa penasaran.
Uang. Ada banyak sekali uang ratusan dan lima puluhan. Segera kututup, lalu memasukkan sebagian ke dalam koper. Setelah itu, menyeret koper keluar rumah dan menyetop angkot menuju kampus.
?Bayinya bakal selamat gak, yaaa.