"Kamu jahat, Barra!" Mira terus mengulang kalimat yang sama seiring perlawanan yang semakin menguat. Dia menolak dekapanku, bahkan berusaha mendorongku agar menjauhinya.
Aku kira pertemuan kita malam ini, bisa menemukan kata damai setelah perang dingin yang selalu Mira luncurkan. Tapi ternyata, Mira selalu memasang topeng setiap kali berjumpa denganku.
Aku tahu ini berat untuknya. Tapi aku juga bisa apa? Apa bisa aku menyalahkan takdir?
"Kamu jahat!" Ucapannya kali ini terdengar pelan, seiring serangan-serangannya kepadaku yang ikut melemah.
"Iya, Mir." Kelengahannya membuatku semakin eratkan jemari pada depan perutnya, dan menumpukan dagu pada pundak kirinya. "Sebut sesukamu jika itu membuatmu lega."
Kedua tangannya sudah luruh di samping tubuhnya, seolah memberi akses kepadaku untuk tidak lepaskan dekapan. Namun keheningan di antara kita kali ini terasa sangat menyakitkan. Aku bahkan bisa rasakan tarikan sesak Mira setiap kali dia menghirup udara.
Disaat yang sama, langit menurunkan derasnya hujan yang turut menemani kesenduan kami. Ingin menyeret Mira untuk mencari tempat berteduh, namun ia ternyata malah mengeraskan suara, seolah memanfaatkan deras hujan agar menyamarkan teriakannya.
Ini seperti mengiris hatiku. Melihatnya tersiksa seperti ini, jauh lebih menyakitkan daripada melihatnya berdua dengan Evan. Yang aku lakukan sekarang hanya mendekapnya, membantunya melampiaskan amarah melalui teriakan kencang yang ia lontarkan. Aku harus berada di dekatnya, karena besar kemungkinan ia akan melukai diri kembali.
"Aku akan tebus semua kesalahanku, Mir." Aku membalikkan tubuhnya dengan perlahan ketika teriakannya mulai berhenti. Berusaha menghapus jejak basah di pipinya, meski tersamarakan rintikan hujan.
"Enggak semudah itu, Barra." Dia berhasil melebarkan jarak dan mundur selangkah menjauhiku. "Enggak semudah itu buat Evan untuk lepasin aku."
Ah, si kunyuk sialan itu memang sumber masalah buatku. Aku jadi sangat menyesal bisa berteman dengan pria sebrengsek Evan. Namun apa yang dikatakan Mira memang benar. Evan memang tergila-gila dengan Mira, lebih tepatnya dengan tubuhnya sejak dulu, dan tidak mungkin dengan mudah akan merelakan Mira setelah bisa mendapatkannya.
"Aku akan hapus video itu gimanapun caranya." Tatapan tanpa berkedipku padanya, seharusnya bisa menunjukkan betapa bersungguh-sungguhnya aku. Namun melihatnya tak tunjukkan reaksi apapun, sepertinya usahaku sia-sia.
"Mir...." Aku maju selangkah dan menggenggam kedua tangannya. Isak tangisnya memang sudah merendah, namun sorot matanya masih menggambarkan kebencian. "Percaya sama aku, Mir."
Dia menghempaskan tanganku, lagi. Dia bahkan memutar tubuh hingga benar-benar membelakangiku. Argh... kenapa sulit sekali, sih buat yakinin Mira? Aku sampai mengacak sisi rambutku karena frustasi.
"Aku udah bilang ini enggak mudah, Bar!" Dia berbalik lagi padaku. Namun kali ini tatapannya berbeda. Semacam kekhawatiran yang mendominasi. "Evan mengancamku."
Pernyataannya langsung membuat aliran darah dalam tubuhnya mendidih. Aku sampai tidak menyadari jika kedua tanganku sudah mengepal di sisi tubuhku.
Benar dugaanku. Evan pasti menggunakan kesempatan ini untuk melakukan apa yang ia mau kepada Mira.
"Si Kunyuk itu ngancam kamu apa?" Aku reflek mendekati Mira dan mengguncang bahunya karena Mira tidak menjawabku meski berkali-kali aku lontarkan pertanyaan yang sama.
Namun, saat ini bukan hal itu fokusku. Aku mendapati pergerakan bibir Mira yang menggigil. "Astaga, Mira!"
Kutarik dagunya menghadapku dan melihat bibir Mira yang mulai membiru. Tak pikir panjang, aku langsung menggendong tubuh Mira, mencari tempat untuk berteduh.
"Aku bisa jalan sendiri, Barra," rintih Mira pelan. Sudah tahu kondisinya lemah, masih nekat minta jalan sendiri. Nanti kalau aku gak gendong, dikira enggak peka. Kadang suka bingung dengan prinsip wanita.
Namun, belum mengisi perut semenjak pulang kantor, ternyata membuat beban tubuh Mira terasa memberat. Padahal tubuhnya jauh lebih kecil dibandingkan aku.
Tapi... enggak. Aku enggak mau terlihat lemah. Kupaksakan diri untuk terus menggendongnya, meski beberapa kali aku berusaha menaikkan badan Mira yang hampir merusut.
"Tunggu, Mir. Sabar," ucapku ketika melihat lataran parkir yang mulai dekat. Padahal kata-kata itu layak untuk menyemangati diriku sendiri, kan?
Aku bergegas mencari pakaian untuk Mira setelah letakkan tubuh kecilnya pada bangku penumpang. Beruntunglah saat ini kita berada di pasar malam yang juga dipenuhi dengan pedagang pakaian.
Sempat bingung sih, Mira suka warna apa? Atau model seperti apa? Tapi enggak ada waktu buat mikirin itu semua kan? Bisa-bisa Mira sekarat kedinginan.
"Pakai seadanya dulu, Mir." Aku menyodorkan kantong plastik yang berisi pakaian untuk Mira. "Yang penting badanmu hangat dulu," imbuhku.
Sedangkan aku... menunggunya di luar mobil sambil menggosok-gosokkan kedua tangan. Tadinya sok berlagak kuat tahan dingin, tapi... kedinginan juga ternyata.
Jangan ngarep aku bisa melihat Mira, ya? Kaca mobilku sangat gelap dari luar.
"Barra kamu basah juga, kan?" Mira ternyata telah selesai berganti pakaian dan keluar dari bangku penumpang menghampiriku. "Kamu enggak beli baju sekalian?"
Dia sudah tampak lebih baik dari tadi. Namun bukannya segera menjawab pertanyaannya, aku malah memperhatikan penampilannya dengan blouse yang baru saja aku pilihkan. Ah, dia terlihat lebih manis dengan blouse itu. Reflek aku tersenyum karena merasa mampu memilihkan baju yang pas dengan dia. Apa mungkin kita jodoh?
"Barra?"
"Eh, iya Mir." Aku menggaruk tengkukku karena salah tingkah. "Aku selalu ada baju ganti di bagasi." Tunjukku pada bagasi belakang mobilku.
Oke, setelah sesi ganti pakaiannya, aku kepikiran untuk mengajak Mira mampir ke rumah dulu, sekedar ngeteh bareng untuk meningkatkan suhu tubuhnya yang dingin. Kalau dia sampai sakit, aku juga kan yang repot? Siapa yang ngatur jadwal kalau dia sakit?
"Beneran gak apa-apa, Bar?" Dia tampak mengamati keseluruhan tampilan depan rumahku, ketika aku masih membenarkan posisi parkir di pelataran rumahku. "Maksudku, mamah kamu?"
"Kenapa emang mamahku?" Apa dia gugup akan bertemu dengan calon mertua? Ah, memikirkan pemikiranku saja sudah membuat pangkal perutku terasa geli dan tertawa.
Setelah menetralkan persneling mobil dan mematikan mesin, kutoleh Mira yang tampak sibuk membenarkan tampilan di kaca spion.
Aku paham dengan kekhawatiran yang dirasakannya. Tapi, ngapain resah kalau kita aja enggak ngapa-ngapain. Apa karena rambut basahnya yang dikhawatirkan? Lucu, sih kalau mikir sampai sejauh itu.
"Mamahku enggak gigit, kok," bisikku pelan sambil tertawa geli. Melihat ekspresi Mira seperti ini, jauh lebih menyenangkan.
"Barra! Dosa tau." Dia meninju bahuku pelan, dan langsung menarik kaca spion untuk kembali membenarkan tampilannya.
Ah, semua tingkahnya terasa menarik bagiku. Aku jadi membayangkan jika kita saling bertukar cerita ketika hujan menemani kita seperti ini. Yah... meskipun mungkin ingatan tentang delapan tahun lalu belum bisa hilang, aku berharap Mira jauh lebih baik ketika bersamaku.
"Masuk, sekarang?" tawarku.
Mira menggangguk dan menarik nafas dalam-dalam sebelum membuka pintu di sampingnya. Gemes banget sih, lihatnya. Jadi pengen culik, deh.
Sampai depan pintu, bukannya si Bibi yang bukain pintu, namun aku malah disambut dengan wanita yang telah melahirkanku dengan raut yang membuatku bingung. Antara marah yang ditahan dan kebingungan yang bercampur menjadi satu.
"Hai, Mama?" Langsung kupeluk mama, daripada dia mengomel.
"Kamu bawa temen?" Tatapan mama langsung tertuju pada rambut Mira. "Kok basah? Habis ngapain?"