Pemikiran Konyol

1073 Words
"Itu tadi si Evan, kan?" tanya Leta sambil terus memperhatikan si kunyuk sialan yang telah menjauh dari keberadaan kita. Leta kembali melihatku dengan sedikit menyipitkan mata. Raut wajahnya cukup menjelaskan betapa penasarannya dia dengan siapa wanita yang terus melekat pada Evan. "Kok aku enggak asing sama perempuan tadi? Siapa ya?" Ternyata Leta menyadari jika dia pernah bertemu dengan wanita yang telah duduk di sebelah Evan di sana. Sementara aku sama sekali belum berminat menjawab satupun pertanyaan dari mulut Leta. Mataku masih fokus pada keberadaan Mira di sana yang sangat terjangkau dari pandanganku. Dia tampak sangat tidak nyaman dengan perlakuan Evan yang sedari tadi merengkuh pundaknya. Mira berkali-kali berusaha melepaskan tangan Evan dengan mengurai setiap jemari yang melekat pada pundaknya. Apa si Evan enggak sadar kalau Mira risih? Dia sengaja mempertontonkan itu kepadaku apa gimana, sih? "Dasar kunyuk sialan!" Aku bahkan baru menyadari kedua tanganku yang telah mengepal dan menabrak permukaan meja hingga menciptakan efek gebrak di sana. "Barra!" Leta ternyata protes karena minuman pada gelas tinggi di depannya tumpah mengenai gaun mahalnya yang katanya gaun kesayangannya. Padahal sih, salah sendiri. Udah tahu kencan kita cuma bohongan. Siapa suruh pakai gaun kesayangan segala. Aku mengeratkan gigi sembari beranjak dari tempat dudukku. Kuabaikan segala macam umpatan yang keluar dari Leta sembari menyerukan namaku, dan terus berjalan keluar tanpa pedulikannya. Terus berada di dalam sini, sama saja memacing amarahku untuk meningkat. "Barra, tunggu!" Aku bahkan baru menyadari jika Leta berusaha mengejarku. Ia terus mengetuk-ngetuk jendela kaca di samping kemudiku dengan brutal. "Lo gila! Kesambet apaan sih?" Ia tampak sangat marah kalau mendengarkan panggilannya kepadaku. Seingatku, dia sudah tidak pernah menggunakan kata "Lo" lagi ke aku, setelah status kami menjadi tunangan. Ah, bukan itu peduliku. Kutekan pedal gas kuat-kuat dan menginggalkan Leta di sana tanpa menjelaskan apapun ke dia. Aku yakin setelah ini pasti aku mendapat omelan panjang dari mama karena sudah berlaku tidak baik pada putri sahabatnya itu. Maka itu, aku memilih membelokkan kendaraanku pada hotel terdekat daripada pulang ke rumah. Aku belum siap dengan berbagai petuah dari mama. Terlebih lagi, aku perlu menenangkan diri setelah melihat Evan dan Mira bersama. Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan berat jika memikirkan hal yang baru saja terjadi. Aku berusaha tutup mata ketika Mira terang-terangan mengkempeskan ban mobil, serta menggores badan mobilku. Tapi kali ini, aku enggak bisa lagi mengontrol emosiku. Satu hal yang pasti, menurutku. Mira pasti kesulitan menentukan pilihan karena Evan. Si kunyuk itu, pasti mengancam Mira. *** "Hari ini Pak Barra ada pertemuan dengan Pak Rehan di jam makan siang. Jadi, untuk presentasi dengan divisi pemasaran saya undur setelah Bapak selesai bertemu Pak Rehan." Mira tampak menjelaskan perubahan jadwalku hari ini dengan luwes tanpa canggung sedikitpun. Aku kira setelah kejadian kemarin malam, bakal membuat Mira semakin berusaha menghindar dariku. Pemikiran bodoh sebenarnya. Mana mungkin Mira bisa menghindar di jam kerja, sementara dia adalah sekertarisku? Namun pakaian kerja yang dikenakannya hari ini cukup menarik atensiku. Penampilannya terkesan elegan jika dibandingkan dengan hari pertama ia datang ke sini. Belum lagi kalung yang melekat pada lehernya, semakin mempercantik penampilannya. Dia baru dua minggu bekerja dan tentu belum mendapatkan hak gajinya sebagai karyawan, kan? Atau jangan-jangan? Kuenyahkan pikiran negatif dan segera beranjak menghampiri Mira sebelum dia keluar dari ruanganku. "Mir?" Kutarik pergelangan tangannya sebelum dia berhasil menghindar. Kali ini aku tidak akan membiarkannya pergi begitu saja tanpa menjelaskan sesuatu kepadaku. Aku hendak mencecarnya dengan berbagai pertanyaan yang terlintas di otak, namun tatapan kelam yang ditunjukkan Mira seolah membungkam mulutku untuk berucap. "Kita masih di kantor, Pak!" ucapnya sembari melepaskan setiap jemariku pada tangannya. Meski dia terlihat tenang, namun tatapannya masih bisa menggambarkan kebencian. "Jika tidak ada yang dibicarakan, boleh saya kembali?" Lagi-lagi dia berusaha menghindar. Apakah sesulit itu untuk memberitahu apa yang sedang terjadi? Tanganku memang sudah berpindah ke dalam saku, tapi aku masih penasaran dengan alasannya. "Apa kamu di ancam Evan?" Dia tersenyum mengejek sebelum mengatakan, "Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah pribadi, Pak." Memang benar, dan aku tahu itu. Tapi tidak ada waktu lagi untuk bertemu dengannya selain kantor, kan? Atau dia memberi kode agar aku mengajaknya jalan? Pemikiran yang konyol. Mana mungkin Mira mau aku ajak jalan, jika luka dalam batinnya saja belum sepenuhnya sembuh. Namun seingatku, Mira selalu mendapat rangking tertinggi di sekolah. Dia bukan wanita bodoh yang bisa dibohongi dengan mudah. Lalu, kenapa dia bersedia kencan dengan Evan? Pria yang telah mengambil rekaman saat aku dan Mira melakukan adegan panas? Aku baru menyadari kesendirianku setelah mendengar langkah Mira yang terus menjauh. Lagi-lagi, Mira mengulur waktu untuk menjelaskan semuanya kepadaku. Tapi... tidak semudah itu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi antara Mira dan si kunyuk sialan. Baru saja aku menyandarkan punggung, namun pintu ruanganku seolah dibuka secara kasar hingga suara gebrakan pintu membuatku menoleh. Ingin mengumpat pada siapapun oknumnya, namun nyaliku langsung menciut ketika wajah si pendobrak pintu melototiku dengan tajam. "Hai, Ma?" Aku tersenyum seimut mungkin, dan menampilkan deratan gigiku yang rapi, berharap wanita yang berdiri di depanku saat ini tidak meledak. Kenapa aku sebut meledak? Karena tiap kali mama marah, matanya selalu melotot seolah hampir keluar dan meledak. Serem aja jatuhnya. "Gimana bisa kamu ninggalin Leta di sana!?" Mama langsung mengomel panjang tanpa memberi jeda sedikitpun untuk aku menjelaskan. "Duduk!" Telunjuk mama mengisyaratkan agar aku tetap duduk di tempatku, ketika aku hampir saja beranjak. Padahal, aku hendak memberi pelukan rindu karena tidak bertemu kemarin malam. Oke. Aku mencoba setenang mungkin tanpa berusaha ketahuan jika sedang tidak mendengarkan berbagai omelan mama. Dalam hati aku berpikir, "Leta ngadu apa aja, sih?" "Barra! Dengerin Mama!" bentak mama dengan gebrakan meja di depanku, membuatku hampir meloncat. Kaget. "Barra denger kok, Ma." Aku reflek mengangguk. Ngeri aja kalau mama lagi marah kayak gini. Jangankan aku, Papa aja juga langsung diem saat Mama ngomel kayak gini. "Mama gak mau tahu, ya! Pokoknya nanti pulang kerja minta maaf sama Aleta!" Lagi-lagi mama mengacungkan telunjukknya padaku, sebelum dia pergi dari ruanganku. Sedangkan aku, hanya menikmati kesendirian dalam ruangan ini seperti biasa. Hampa. Entah berapa kali aku mengeluh untuk hari ini. Baru juga setengah hari, tapi tenagaku seolah sudah habis memikirkan berbagai tekanan yang datang. Atensiku teralihkan ketika mendengar suara pesan masuk pada ponselku di atas meja. Yang lebih membuat aku terkejut, ternyata si pengirim pesan. "Nanti setelah jam kerja, bisa kita bertemu?" Aku melototkan mata dan mengerjap berkali-kali. Membacanya berulang-ulang untuk memastikan tidak salah baca. Namun ini nyata. Dengan senang hati, aku langsung membalas pesan itu. "Kabarin aku nanti dimana, dan jam berapa, Mir."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD