Beberapa pelayat berpakaian serba hitam, tampak datang dengan wajah penuh kesedihan. Bahkan ada yang menangis, seolah sangat mengenal tante Linda.
Aku... tentu tidak tahu siapa mereka. Siapa saja yang akrab dengan kehidupan Mira.
"Kamu enggak cerita sama Mama kalau ibunya Mira sakit." Mama dari tadi sibuk bertanya mengenai hal-hal yang aku sendiri tidak mengerti. Mulai dari kapan Tante Linda sakit, kenapa bisa sakit, dan masih banyak lagi.
Aku dan Mira belum sedekat itu, untuk saling berbagi kisah kehidupan masing-masing. Aku bahkan baru mengetahui kenyataan jika ayah Mira sudah meninggal sejak dia SMP. Itu pun karena aku mendengar celotehan dari para pelayat di sampingku yang mengkasihani kehidupan Mira.
Memikirkan hal itu, aku juga berpikir untuk segera menghalalkannya. Gak bisa ngebayangin, betapa berat kehidupan yang dijalaninya selama ini.
"Barra juga kurang tahu, Ma." Dari tempatku duduk, aku bisa melihat Mira di dalam sana, yang masih terus menangis dengan beberapa orang di sampingnya yang berusaha menenangkannya. Sementara aku hanya bisa duduk di luar rumahnya bersama para pelayat lain yang turut memberi penghormatan terakhir untuk Tante Linda.
"Kok bisa gak tahu? Katanya suka sama Mira?" Ternyata taraf kekepoan mama melebihi ekspetasiku. Beliau terus saja bertanya hal-hal sekecil apapun yang ingin diketahuinya. Namun aku sangat kagum dengan mama, karena justru beliau lah orang pertama yang langsung datang setelah aku mengabari atas kepergianTante Linda.
"Ma, please...." Aku mengusap kasar wajahku, karena tidak mungkin bercerita di hari duka seperti ini. Belum lagi teriakan histeris Mira yang sesekali terdengar dari tempatku duduk.
"Sejak kapan, sih kamu mulai jadi pendiem kayak gini?" Usapan jemari mama terasa menyentuh belakang kepalaku dengan lembut. Ternyata beliau sedang mengkhawatirkanku jika didengar dari intonasinya.
Tapi... pendiam?
Aku rasa mama memang tidak perlu mendengarkan masalahku akhir-akhir ini. Aku yakin sudah sangat banyak sekali hal yang dipikirkan mama belakangan ini. Mama hanya sangat pandai menyembunyikannya.
"Mama enggak pulang?" Bukan bermakaud mengusirnya, namun wajah lelah mama terlalu kentara. "Barra enggak apa-apa kalau Mama pulang dulu."
"Malah ngalihin pembicaraan," ucap mama yang langsung memukul lenganku. Sakit juga ternyata pukulan mama.
"Ya enggak gitu, Ma." Aku mengusap lenganku dan kembali memperhatikan Mira di sana yang tampak kembali berteriak histeris memanggil nama ibunya. "Barra belum siap cerita ke Mama."
Aku cuma takut mama akan syok begitu mendengar aku yang telah merenggut kesucuian Mira pertama kali, dan itu salah satu penyebab yang diklaim Mira sebagai penghancur masa depannya.
"Astaga, Bar! Mira pingsan!" Mama menepuk-nepuk lenganku kembali yang masih menyisakan nyeri akibat pukulan tadi. Namun atensiku jelas teralihkan sepenuhnya karena keberadaan Mira di sana yang tidak sadarkan diri.
Seperti lomba, aku dan mama segera berlari masuk ke dalam rumah untuk melihat keadaan Mira. Meski banyak sekali para pelayat yang berusaha menenangkan dan menyadarkan Mira, aku baru menyadari jika mereka semua tidak ada hubungan darah dengan Mira. Tidak ada yang sepenuhnya peduli dengan Mira. Mereka akan dengan mudah melupakan masa berkabung seperti ini.
Aku turut bersila, meminta salah satu wanita yang memangku tubuh Mira untuk memindahkannya pada pangkuanku. "Saya calon suaminya."
Aku sudah enggak peduli lagi dengan reaksi apa yang akan mama tampilkan setelah pengakuanku. Aku masih sibuk menyadarkan Mira dengan memberikan berbagai aroma terapi pada indra penciumannya. Itu juga saran dari para pelayat yang masih ikut duduk di sekeliling kami.
"Barra?" Mama ternyata turut berada di sampingku, mengusap punggungku dengan lembut. Helaan nafas berat menyertai ucapannya. "Kita bawa Mira pulang aja."
Beneran? Aku sampai terdiam sejenak mendengar ucapan mama. Ternyata mama enggak merespon pengakuanku, dan malah menawarkan suatu hal yang menyentuh sanubariku.
"Mama enggak keberatan?" Kutoleh keberadaannya di sisi, dan ternyata tatapan mama mengisyaratkan iba. Rupanya mama baru menyadari jika tidak ada kerabat yang tersisa dari Mira. Dia hanya punya ibunya selama ini, dan kini ditinggal untuk selamanya. "Maksudku...."
"Kamu khawatir sama papa kamu dan Aleta?" tebak mama.
Aku langsung mengangguk karena tebakan mama sama persis dengan pemikiranku.
"Nanti kita bisa bicarain baik-baik. Kamu tega lihat Mira kayak gini?" Mama langsung mengusap pipi Mira dengan lembut.
Benar. Aku sendiri juga enggak tega. Ingatanku berpacu pada segerombolan rentenir yang terang-terangan membahayakan Mira malam itu. Lalu ancaman-ancaman dari Evan yang sempat aku baca dari ponselnya, seolah mendorong rasa kekhawatiran yang mungkin bisa terulang kembali padanya.
Enggak. Aku enggak mau melihat Mira menderita lagi. Akan kuambil alih penderitaannya dan dia sepenuhnya menjadi tanggung jawabku sekarang.
***
Prosesi pemakaman pun telah selesai. Tersisa aku dan Mira yang masih betah berjongkok di sebelah batu nisan yang bertulisan nama tante Linda di sana. Mira juga belum berhenti terisak sejak awal pemakaman sampai semua orang pergi meninggalkan kami. Mama juga ijin ke rumah lebih dulu, dengan dalih membersihkan kamar yang nantinya akan ditempati Mira.
Mengingat hal itu, aku baru berani bicara ke Mira. "Mir, kita pulang ke rumah Mama, ya?"
Dia belum juga merespon, meski lengannya telah berada dalam rengkuhanku. Tangannya masih saja mengusap batu nisan di sana, dan terus menyerukan nama ibunya.
"Mira... sudah, sayang." Kusenderkan kepalanya dalam dadaku, dan aku turut merasakan kesedihan yang begitu nyata. "Biarin ibu kamu tenang di sana. Kita pulang sekarang, ya?"
Kali ini dia merespon. Anggukan kepalanya cukup memberi jawaban atas ajakanku.
"Kita mau kemana, Barra?" Ternyata Mira baru menyadari jika jalan yang kita tempuh, berbeda dengan arah menuju rumahnya. Dia memperhatikan sekeliling yang dipenuhi dengan rumah-rumah besar dan tinggi. "Ini bukan jalan menuju rumahku, Barra."
Mungkin Mira tidak ingat jika jalan yang kita lewati saat ini, akan membawa kita menuju rumahku. Ralat, rumah papa dan mamaku. Dia memang pernah aku ajak melewati jalan ini, dulu. Hanya saja, perbedaan malam dan siang hari terkadang membuat kita sulit membedakan suatu daerah karena suasana yang berbeda.
"Kita pulang ke rumah mama dan papaku dulu ya, Mir?" Sejenak aku teralihkan dengan petugas keamanan yang menjaga gerbang masuk komplek perumahan yang akan aku lewati.
"Selamat sore, Pak Barra." Jangan lupakan tanda hormatnya yang khas setiap kali bertemu para penghuni komplek ini. Aku saja terkadang sering reflek ikutan hormat.
"Sore juga, Pak," jawabku, dan kembali melajukan kendaraanku dengan pelan.
"Kenapa aku enggak kamu anterin pulang, Barra?" Mira masih saja bertanya meski aku baru saja memasukkan kendaraan dalam pelataran parkir di rumahku. "Barra...."
Ingin ketawa rasanya denger rengekannya yang terlihat seperti anak kecil meminta sesuatu. Bibir mengkerucutnya, terlihat sangat seksi bila diperhatikan. Setelah mesin berhasil kumatikan, kutoleh keberadaannya di bangku penumpang sisiku, dan mendekat untuk mengamati raut yang tercipta. "Mau tahu, kenapa kamu aku ajak ke sini?"
Dia tampak mengangguk, meski rengutan pada wajahnya belum juga pudar. Gemes aja lihatnya. Ah, aku jadi enggak sabar melemparnya ke ranjang kita nanti. Kulekatkan lebih dalam wajahku, dan mengunci arah pandangnya dengan memegangi dagunya. "Kita akan menjadi suami istri besok."