BAB 3

1018 Words
Gavin marah besar saat melihat foto-foto Rosa di dalam kamarnya sudah tidak ada. Foto perempuan itu disapu bersih tak tertinggal satu pun. Marah Gavin semakin bertambah besar saat mendapati tumpukan foto wanita yang dicintainya berada di tempat sampah. "AZALEA!" Suara Gavin menggema di seluruh ruangan. Mendengar namanya dipanggil dengan nada tak biasa, Alea menghampiri Gavin dengan sejuta rasa takut bersarang dalam hatinya. "Ada apa, Mas?" tanya Alea getir. Gavin menatap tajam Alea yang tengah berdiri di daun pintu. Matanya merah karena marah. "Siapa yang meletakkan foto-foto ini di sini!" Gavin menunjuk setumpuk foto yang berada di tempat sampah. "Itu, Mas. Ibu yang meletakkan semuanya di sana." Kedua mata Gavin membelalak keluar. "Tadi Ibu ke sini? Lalu kenapa kamu tidak mencegahnya untuk tidak masuk ke kamar ku!" Suara Gavin masih tinggi. Bahkan sekarang terdengar suara gemeretak gigi dari mulutnya. "Aku minta maaf, Mas." Rasanya sangat tidak pantas untuk Alea mengucapkan maaf. Ia tidak bersalah sama sekali dalam hal ini. Seharusnya Gavin lah yang meminta maaf pada Alea karena tidak bisa menghargai perasaan sang istri. Gavin memungut semua foto Rosa yang ada di dalam tempat sampah lalu membawanya keluar. Entah ke mana Gavin akan menyimpannya. Alea merasakan kepedihan menjalar di setiap nadinya. Sekujur tubuhnya seakan mati rasa. Ia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk pergi dari kamar ini. Kedua matanya terasa panas. Seketika bulir bening kesedihan itu menetes dari ekor matanya. Alea bahkan menangis tanpa bersuara. Jangan kalian bayangkan seperti apa rasanya menjadi Alea. Ia adalah seorang Istri yang tak dirindukan suaminya sendiri. Kemana Alea harus mengadu? Ia tidak memiliki siapa-siapa untuk berbagi kesedihan selain dengan Tuhannya. "AZALEA!" Suara Gavin yang tinggi terdengar lagi. Segera Alea mengusap air mata yang membasahi pipinya lalu mendatangi Gavin. "Ada apa, Mas?" Alea menundukkan kepalanya. Tak berani memandang Gavin. Bagi Alea, Gavin sangat menakutkan saat marah seperti ini. "Apa lagi ini?" Gavin menunjuk sebuah foto yang terpajang di ruang utama. Foto dirinya dan Alea saat akad. "Jangan bilang ini ulah Ibu lagi," ujarnya menyudutkan Alea. "Maaf, Mas." Lagi-lagi Alea yang meminta maaf. Kenapa kata maaf sangat mudah ia ucapkan bahkan di saat dirinya tidak sedang membuat kesalahan. Alea secara suka rela meminta maaf atas perbuatan orang lain. "Cih, lagi-lagi minta maaf! Aku tidak butuh permintaan maaf kamu Alea!" *** Malam ini Alea merasa hatinya sangat hancur. Sejak kemarin dirinya mendapat perlakuan tidak baik dari Gavin. Bahkan sejak tadi Gavin selalu meninggikan suaranya saat berbicara pada Alea. Alea duduk meringkuk di atas kasurnya. Dadanya terasa sangat sesak. Setiap kata menyakitkan yang keluar dari mulut Gavin terus berputar di kepalanya. Alea memegang dadanya yang setiap detik bertambah sakit. "Ya Tuhan. Kuatkan aku," lirihnya memohon. Sejenak Alea berpikir, betapa beruntungnya menjadi Rosa. Bahkan di saat perempuan itu sudah tidak lagi berada di dunia ini, masih ada orang yang mencintainya dengan sangat dalam. Dan orang itu adalah suaminya, Gavin. Jika bersaing dengan orang yang masih hidup saja tidak mudah. Lalu bagaimana dengan Alea yang bersaing dengan orang yang sudah mati. Tapi Alea percaya akan satu hal. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Bahkan batu saja bisa berlubang jika setiap hari ditetesi air. Drrtt.. Drrtt.. Handphone milik Alea bergetar karena sebuah panggilan masuk dari Marla. Sebelum menjawab panggilan, Alea mencoba mengatur nafasnya terlebih dulu. Ia tidak ingin Marla tahu kalau dirinya sedang menangis. "Halo, Bu," sapa Alea. "Bagaimana kabar kamu, Al?" Marla bertanya khawatir. Wanita itu ingin memastikan Alea baik-baik saja. Karena ia yakin Gavin pasti marah karena foto-foto Rosa yang ia turunkan ke bawah. "Kabar Alea baik, Bu," sahut Alea berbohong. "Syukurlah. Ibu cuman ingin memastikan, malam ini kamu dan Gavin tidur di kamar yang sama, 'kan?" Alea hanya bergumam. Ia bingung harus menjawab apa. Jika dirinya menjawab dengan jujur, sudah pasti nanti akan menambah kekacauan. Namun Alea sendiri pun tahu berbohong itu sama sekali tidak baik. "Ya sudah. Maaf jika Ibu mengganggu. Kamu tidur yang nyenyak ya." Panggilan terputus. Hanya Marla yang memperlakukan Alea dengan baik. *** Di dalam tidurnya, tubuh Alea tiba-tiba menggigil. Hawa yang begitu dingin menusuk menembus kulitnya yang putih. Suhu tubuhnya meningkat drastis. Sudah pasti Alea demam karena terlalu banyak menangis dan makan hati. Sebisa mungkin Alea membangunkan tubuhnya untuk duduk. Sudah lama sekali sejak terakhir kali Alea sakit karena terlalu banyak menangis. Selama ini Alea berusaha menahan diri untuk tidak mudah menangis. Tapi sikap Gavin pada dirinya memang sangat keterlaluan hingga membuat Alea tidak bisa menahan diri. Alea berusaha untuk tetap menjaga kesadarannya. Karena jika dirinya pingsan di kamar ini, tidak akan ada yang menemukan dirinya. Mustahil bagi Gavin untuk mencari dirinya dan masuk ke kamar ini. "Astaga. Apa di kamar ini tidak ada obat sama sekali?" gumamnya. Alea beranjak turun ke lantai satu untuk mencari obat pereda demam. Kakinya yang gemetar terus ia paksa untuk melangkahi setiap undakan tangga. Tangannya dengan erat memegang railing tangga. "Sedikit lagi, Alea ...." Kesadarannya sudah tidak bisa ia pertahankan. Alea jatuh terguling hingga ke lantai. *** Brukkk... Gavin terbangun karena suara benturan keras di luar kamarnya. Pria itu langsung beranjak turun dari kasur untuk memeriksa hal apa yang terjadi di luar sana. Begitu Gavin membuka pintu kamarnya, ia mendapati sosok Alea yang tergeletak di lantai. Gavin berlari menghampiri Alea lalu menggendongnya untuk dibawa ke rumah sakit. "Astaga. Panas sekali badannya," seru Gavin begitu tangannya bersentuhan dengan tubuh Alea. --- Gavin memandangi wajah Alea yang pucat. Sedari tadi Pria itu telah menjaga Alea selama ia tertidur. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, Dokter mengatakan Alea hanya demam biasa. Namun kakinya terkilir akibat jatuh dari tangga. Dalam tidurnya, Alea terus meracau memanggil nama seseorang. Entah siapa yang ia panggil, Gavin tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Gavin terus memandangi wajah Alea. Diperhatikannya dengan seksama wajah istrinya itu. Ternyata cantik juga. Hidung mancung, bulu mata lebat dan lentik, bibir yang ranum. Dan kulitnya yang sangat putih bersih. Gavin segera menyadarkan dirinya. Hampir saja ia merasa goyah dan tergoda dengan kecantikan istrinya, Alea. "Tidak, tidak. Aku hanya mencintai Rosa." ucap Gavin dalam hati. Alea kembali meracau, kali ini ia menyebut seseorang itu dengan jelas. "Mama, Alea kangen mama." Air mata menetes keluar dari sudut matanya. Gavin yang melihat hal itu, lantas mengulurkan tangannya untuk mengusap air mata yang membasahi pipi Alea.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD