Pelajaran sedang berlangsung dengan kondusif. Mereka sedang mengerjakan tugas dari guru dan semuanya diam sibuk mengerjakan. Sampai suatu ketika, Afifah tak sengaja bersitatap dengan seorang cowok yang ia tahu adalah ketua kelas dari sepuluh IPA dua. Kalau tidak salah Bayu namanya. Tapi Afifah tidak memperdulikannya. Ia mengalihkan perhatian ke arah Tiara yang menjelaskan padanya tentang suatu materi yang tidak dimengertinya.
"Jadi molekul itu gini ...."
Afifah mengangguk paham dengan semua penjelasan baik dari Tiara. Teman barunya ini sangat teacherable! Jadi semua yang ia ucap mudah dipahami. Afifah bersyukur banget bisa bertemu Tiara.
Tapi, di tengah ia sedang fokus dengan penjelasan Tiara. Ia masih bisa merasakan jika Bayu sedang menatap serius ke arahnya dari ekor matanya. Jujur saja, Afifah risih. Ia tak suka begitu diperhatikan seperti ini. Hal baru lagi buatnya karena di kampung, tidak ada yang seperti ini padanya.
"Fa, kamu denger, ga apa yang aku bilang?" tanya Tiara dengan kepala miring menatap Afifah. Temannya itu terlihat tidak fokus. Entah apa yang ia pikirkan.
"Fa?"
"Ah ya, Ra?"
"Kamu paham?"
"O--oh iya paham kok."
Tiara mengernyit. "Kamu kenapa? Ada yang buat kamu risih atau gak enak? Cerita aja, Fa," ujar Tiara lembut.
Afifah menghela nafas. Dengan gerakan kecil di atas meja, ia menunjuk ke arah di mana Bayu berada. "Dia ... dari tadi ngeliat ke arah sini terus, Ra. Risih jadinya," bisik Afifah karena takut teman kelas di depan atau belakangnya bisa mendengar apa yang ia bicarakan.
Tiara perlahan mengikuti kemana Afifah menunjuk dan ia bisa menemukan seorang cowok memang menatap intens ke arah mereka, tepatnya ke arah Afifah. Tapi, tatapan itu terasa berbeda bagi Tiara. Karena tatapannya seperti tidak mengandung hal yang aneh. Ia bahkan tersenyum lembut pada Tiara sebelum memutar tubuhnya ke depan dan melanjutkan tugasnya yang tertunda.
Sebentar. Biar Tiara coba mengingat. Sepertinya ia pernah melihat wajah cowok itu di mushola, tepatnya tadi pagi ketika waktunya sholat dhuha. Ya, Tiara ingat! Memang dialah orangnya! Masya Allah.
"Ra?" Afifah melambaikan tangannya ke arah Tiara yang sekarang malah terbengong. "Kamu kenal dia, ya?" tanyanya ketika Tiara sudah tersadar dari lamunannya.
"Oh ya. Enggak kenal sih, Fa. Cuma tau aja. Tadi pas aku lewat mushola, ada dia di sana," ujar Tiara yang diangguki Afifah. Sama seperti Tiara, Afifah juga merasa kagum dengan Bayu.
"Dia kan Bayu. Ketua kelas kita."
Tiara berekspresi seolah ia tidak tahu hal ini sebelumnya. "Beneran?"
Afifah mengangguk kuat. "Tapi kenapa dia ngeliat ke arah kita terus, ya?"
Tiara terkekeh. "Mungkin dia naksir kamu haha," tawanya pelan. Ia harus ingat kondisi cukup senyap di dalam kelas walau tidak ada guru yang mengawasi.
Afifah memberengut kesal di goda seperti itu. "Apa sih, Ra. Kan pacaran itu di larang sama agama kita. Gak boleh," ujarnya menggelengkan kepala.
"Iya tau, Fa. Cuma bercanda kok tadi. Lagian aku enggak ada saranin kamu buat pacaran sama dia, 'kan?"
Afifah mau tak mau mengangguk. Benar juga apa yang dikatakan Tiara.
"Kamu tau gak Surah apa di Al-Qur'an yang jelasin tentang pacaran ini?" tanya Tiara dengan tangan terlipat di atas meja.
"Surah apa, Ra?" tanya Afifah penasaran. Ia tertarik jika Tiara sudah bercerita tentang sesuatu yang bisa menambah wawasan serta pengetahuannya.
"Di dalam Surah Al-Isra ayat 32, Fa, disebutkan bahwa Dan janganlah kamu mendekati zina:(zina) itu sungguh suatu perbuatan k**i, dan suatu jalan yang buruk." tutur Tiara
Afifah memegang dagunya dan mengangguk-angguk pelan. "Jadi pacaran itu termasuk perbuatan zina, ya, Ra?"
Tiara menangguk setuju. "Iyap, bener banget, Fa. Gimana ya, namanya juga berduaan perempuan sama laki-laki yang bukan mahram, terkadang ada s*****t yang muncul, dibisikin setan juga sih. Nah dari sana tuh bisa muncul sesuatu yang diharamkan agama kita."
"Jadi pacaran itu haram banget. Tapi entah kenapa masih banyak muslimah yang masih betah pacaran .... sayang banget ya. Padahal mereka juga tau kalau Islam ngelarang pacaran," ujar Tiara sedih. Ia mengkhawatirkan muslimah sesamanya yang terkena dosa karena pacaran.
"Gimana kalau kita adain apa gitu supaya para muslimah di luar sana lebih tau dan waspada sama yang namanya pacaran?"
Tiara tertawa melihat kepolosan Afifah yang kadang muncul. "Udah kayak wabah aja ya, Fa. Haha."
Afifah menggaruk kepalanya. "Aku ngerasain apa yang kamu rasain, Ra. Sedih emang rasanya ngeliat sesama kita terjerumus ke dalam dosa. Pengen banget bantuin dia biar gak semakin berkubang dan susah keluar."
Tiara membenarkan ucapan Afifah. "Tapi, Fah. Kadang ada juga nih orang yang pas kita nasehatin, malah bilang kalau kita sok suci. Bilang kalau kita tuh munafik. Di depan aja sok alim, di belakang sama aja buruknya. Entahlah, Fah. Aku dulu pernah digituin pas SMP, dan rasanya sakit banget." Tiara membagi pengalaman pahitnya kali ini.
Afifah tak pernah merasakan hal itu sebelumnya, ia juga tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya jika ia berada di posisi Tiara. Lagi-lagi sebuah pemahaman baru di dirinya. Memang tidak salah Afifah pergi jauh-jauh ke kota. Bertemu teman sefrekuensi dan bertukar pengalaman dan pengetahuan.
"Gak papa, Ra. Anggep aja sebagai pengalaman berharga. Seenggaknya kamu udah berusaha yang baik, 'kan? Allah pasti seneng liat kamu begini."
Tiara tersenyum terharu. Kalau Allah sudah disebut-sebut, entah kenapa hatinya gemetar. Ia sayang banget sama Allah.
"Iya, ya, Fah. Bener kata kamu. Seengganya berusaha buat yang lebih baik. Hasilnya gimana itu urusan belakangan. Yang penting kita tetep sesuai sama ajaran Islam."
Afifah tersenyum dan memberi dua jempolnya. "Bener banget!"
Tiara kembali bersemangat. Ah dia suka sekali momen seperti ini. "Yok kerjain lagi, Fah. Dikit lagi nih selesai tugasnya," ajak Tiara kemudian.
Afifah mengangguk, tapi ketika ia ingin mencari jawaban dari soal. Ia bisa merasakan lagi jika Bayu menatap ke arahnya lagi. Afifah risih.
"Ra ...."
"Iya?"
"Dia masih ngeliatin ke sini, ya? Kok gitu, ya? Bukannya dalam Islam gak boleh gitu? Kan bukan mahram," bisik Afifah dengan kepala lebih rendah.
"Hem harusnya sih emang gak boleh, Fa. Harusnya di kontrol cara pandangnya. Tapi mungkin Bayu enggak lihat ke kamu aja, Fa."
Afifah melirik ke belakangnya yang hanya ada beberapa cowok. Tidak mungkin kan Bayu melihat terus ke arah sana. Lagipula Afifah merasa betul jika Bayu melihat ke arahnya.
"Yauda. Kalau gitu, kamu aja yang nundukin pandangan, ya."
"Kata kamu, kamu ketemu sama dia di mushola, artinya dia rajin sholat, kan? Tapi kok--"
"Astaghfirullah, Afifah," sela Tiara menghalangi pembicaraan Afifah berlanjut. "Kamu gak boleh ngomong begitu. Kita enggak tau pasti apa yang dipikirin Bayu kan. Jadi kalau emang dia natap kamu dari tadi, tinggal kamunya aja yang nurunin pandangan. Gak boleh su'udzon juga, Fa."
Afifah melesu. Ia beristighfar tiga kali di dalam hatinya. Ya Allah apa ia berdosa? Takut rasanya dosa bertambah walau hanya sedikit.
"Iya. Maaf, Ra. Abisnya risih banget."
Tiara paham perasaan Afifah. Tapi tetap saja .... "Yauda kalau kamu kesel, nanti kita datengin dia dan tanya apa maksud dia ngeliatin kamu terus? Abis itu kita minta dia supaya gak liatin kamu lagi, okey?"
Afifah mengangguk kuat. Ya kalau seperti ini ia akan tenang. Entah kenapa sekarang ia merasa kesal banget sama Bayu.
"Tapi dia natap kamu biasa aja, Fa. Enggak ada nafsu s*****t di sana. Mungkin dia kagum sama kamu," ujar Tiara memberitahukan pendapatnya.
"Ada batasan tertentu mana yang diperbolehkan dan mana yang haram. Tapi bukan berarti kita sama sekali dilarang memandang lawan jenis. Dimana disini yang dilarang adalah kalau yang memandang lawan jenis dengan nafsu s*****t atau hasrat s*****l, Fa."
Afifah berpikir. "Jadi kasusnya Bayu ini gak papa?"
"Berdasarkan pendapat para ulama sih, menurut aku enggak. Coba deh lihat dia, enggak ada hal aneh, Fa. Dia cuma mau mandang kamu."
"Tapi tetep risih, Ra," ujar Afifah dengan bibir melengkung ke bawah. "Aku gak suka. Gimana dong?"
Tiara tertawa. "Yauda-yauda, nanti kita bilangin dia. Sekarang fokus aja sama tugasnya itu."
Afifah mengangguk paham. Ia melanjutkan mengerjakan tugasnya dan Alhamdulillahnya Bayu sudah tidak melihat ke arahnya lagi.
Ketika bel pulang berbunyi. Tiara dan Afifah saling lirik dan memutuskan untuk menyergap Bayu dan menanyakan perihal mengapa ia melihat terus-terusan ke arah Afifah.
"Hey kalian anak baru!"
Sekretaris kelas berteriak membahana, jari telunjuknya mengarah ke Afifah dan Tiara. "Kalian dua aku masukkan ke jadwal piket hari ini. Jadi abis kelas selesai, kalian bisa bersihin kelas. Gak perlu lama-lama, cukup biar kelihatan bersih aja. Paham kan?"
Tiara dan Afifah sama-sama mengangguk. Dan semuanya mulai keluar dari kelas. Tinggal Afifah aja sama Tiara di sana ... dan juga Bayu.
Cowok itu ternyata menghampiri meja Tiara dan Afifah. Sangat tak di sangka oleh mereka berdua. Padahal tadi nyalinya kuat ingin menyergap Bayu. Tapi giliran Bayu yang menghampiri langsung, mereka malah ciut.
"Em ... maaf ya yang tadi. Aku tahu kalian risih aku lihatin. Tapi sebenernya aku gak lihat ke arah Afifah kok. Tapi mantau para cowok di belakang Afifah. Soalnya mereka suka ribut, jadi aku mantau dan catet nama mereka kalau-kalau mereka gak bisa dibilangin."
Tiara dan Afifah sama-sama terpelongo. Pantas saja cowok-cowok tadi diam tertib. Ya Allah, Afifah sangat malu sekarang! Malunya double ketika ia melirik Tiara dan Tiara memasang ekspresi kecut ke arahnya.
"Hah ... hahaha," tawa Afifah canggung. "Oh iya, maaf juga udah berburuk sangka," ujarnya kemudian, tapi tetap tak berani menatap langsung ke arah Bayu.
"Iya gak papa. Yauda aku duluan ya," pamit Bayu dan pergi dari sana.
Afifah menatap Tiara dengan ringisan pelan. "Maaf ya, Ra. Ternyata aku yang kepedean."
Tiara menggelengkan kepalanya. "Gak papa, Fa. Gak perlu minta maaf. Yauda sekarang masalah selesai. Lain kali emang kita gak boleh suudzon dulu. Aku juga salah sih tadi." Tapi Tiara akan melupakannya. "Sekarang kita nyapu lantai dulu."
Afifah mengangguk dan mulai mengambil sapu ijuk buat mereka berdua. Afifah di sisi kanan sedangkan Tiara di sisi kiri. Namun, ketika Tiara hendak menyapu. Ia melihat ada rombongan semut yang berjalan rapi. Ia pun berjongkok dan mengucapkan doa agar para semut itu pergi karena ia memang harus menyapu bersih lantai itu.
"Fa, bentar, ya. Aku ke kamar mandi bentar," ujar Tiara yang diangguki Afifah.
Beberapa menit kemudian, ketika Tiara sudah selesai dengan urusannya. Ketika ia hendak ke kelas, ia melihat Afifah sudah menyapu sampai bagian beranda kelas yang artinya tugas menyapu sudah selesai.
"Cepet banget, Fa," ujar Tiara kagum.
Sedangkan Afifah hanya tertawa pelan menanggapinya. Ia sudah terbiasa menyapu di kampung, jadi ini bukan masalah besar buatnya.
Tiara kemudian masuk ke dalam kelas dan benar, semuanya sudah bersih. Ia kembali ke tempat di mana semut-semut tadi berada dan benar saja! Semut-semut itu sudah tiada. Ya Allah doa yang ia panjatkan terkabul ternyata.
Di sisi lain. Afifah yang baru masuk dan hendak meletakkan sapu kembali ke tempatnya, mengernyit melihat Tiara yang berjongkok.
"Cari apa, Ra? Di sana tadi ada banyak semut. Jadi aku sapu deh semuanya."
Bahu Tiara lemas mendengarnya. Wajahnya jadi datar seketika. Jadi semut-semutnya hilang karena disapu bersih oleh Afifah?!
"Fa, kita dilarang ngebunuh semut," ujar Tiara pelan sembari bangkit berdiri. "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuh empat hewan: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad. Hadist riwayat Abu Daud."
Afifah terdiam di tempat. Ia meringis pelan. "Aku enggak tau, Ra. Maaf, ya."
Tiara mendesah pelan. Mau bagaimana lagi. Sudah terlanjur. "Yaudalah gak papa. Ayo pulang aja."
"Ayo."
***