"Kenapa sih? Gelisah aja.."
Ayura menggeleng. Perutnya lapar, tapi perutnya tak mau menerima makanan. Ia gelisah. Fakta bahwa Jonattan adalah pemilik Triple Tree, perusahaan tempatnya bernaung, membuat Ayura tak bisa menggapnya hal sepele. Ada beberapa hal yang mengganggu Ayura.
Selain masalah Cindy dan Haras, juga masalah masa lalu mereka. Meskipun belum ada jaminan bahwa Jonattan masih mengingatnya. Sepertinya Jonattan tak ingat padanya sama sekali. Ada dua kemungkinan. Pertama, Jonattan hilang ingatan. Kedua, Jonattan sengaja dan hanya berpura-pura. Untuk hal ini, Ayura berdoa semoga dugaan pertama lah yang benar.
"Kenapa harus ketemu Jo lagi, sih? Kenapa harus terlibat sama dia lagi setelah 10 tahun berlalu?"
"Kamu ngomong apa barusan?"
"Hah, ih nggak kok." Ayura menggeleng. "Ngga, pacar kamu nggak marah kamu makan siang sama aku terus?"
Rangga menatap Ayura. "Tumben nanya itu? Kenapa? Lagi sensi?"
Ayura menggeleng. "Kan lumayan kalau dilabrak.."
Rangga terkekeh. "Enggaklah. Si Windy bukan cewek kayak gitu. Kadang malah dia yang nyuruh aku ngajak kamu makan."
"Baik banget pacar kamu."
"Kan dia udah pernah salah paham sama aku. Nggak akan lah dia salah paham dua kali."
Ayura manggut-manggut.
"Lagian, aku udah rencana mau lamar dia bulan depan.."
"Wow? Serius? Selamat ya buat kalian.."
"Makasih. Doain berhasil ya.."
Ayura mengangguk tulus.
"Kamu nggak ada pikiran buat nikah lagi, Yu? Kayaknya Mas Juna naksir kamu.."
"Tau dari mana?"
"Aku tau kali yang ngasih kamu mawar waktu Valentine tahun kemaren itu dia."
Ayura mengendikkan bahu. "Haras udah umur 9 tahun. Aku udah terlalu tua untuk menikah lagi. Lagian aku mau fokus ngebesarin Haras.."
"Justru itu, Yu. Haras udah gede. Pasti udah ngerti posisi ibunya. Kalau usia rasanya kamu belum terlalu tua. Baru 29."
Ayura menggeleng. "Nggak tau lah. Malas mikirin itu.." keduanya melanjutkan makan. Sebenarnya Ayura memikirkan kata-kata Rangga. Lamaran Dirga kemarin kembali muncul diingatannya. Apa yang harus dia lakukan?
****
"Faranisa Ayura?" Gerak tangan Aditya terhenti pada satu lembar CV.
Aditya memperhatikan foto yang terpajang di sana.
"Ini beneran kak Fara. Dia kerja di sini?" Aditya bergumam sendiri. Masih antara tak percaya, terkejut dan juga takjub. Setelah 10 tahun dia justru menemukan Ayura di perusahaannya sendiri.
Kening Aditya mengerut. "Punya seorang anak laki-laki berumur 9 tahun?" Ia membaca lagi dengan seksama. Aditya terdiam beberapa detik. "Anak Mas Jo?"
****
"Ini data karyawan yang bapak minta.."
"Ok, makasih ya Vi."
"Baik, Pak. Ada lagi, pak?"
Aditya menggeleng. Vivi meninggalkan ruangan. Aditya membuka berkas itu segera. Ia kemudian tersenyum, menemukan apa yang ia cari.
Aditya mengambil ponsel kemudian bangkit meninggalkan ruangan.
****
Pandangan Aditya tertuju pada dua orang yang baru keluar dari mobil yang berbeda. Mereka berbincang di depan pagar rumah. Entah membicarakan apa. Lalu keduanya masuk saat seorang anak laki-laki muncul membukakan pintu.
"Apa Kak Fara udah nikah? Itu suaminya?" Aditya menerka-nerka. Ia menatap pelat nomor mobil yang tadi dikendarai si pria. Aditya menyeringai halus, kemudian melaju mobilnya meninggalkan tempat itu.
"Apa? Tuntutan?" Aditya melipat lengan kemejanya hingga siku. Ia letakkan jasnya di sofa.
"Iya.." jawab seorang wanita yang tengah menyantap salad di meja makan.
Aditya meneguk air dingin hingga setengah botol.
"Masalah apa?"
"Kata Mas Jo masalah kekerasan."
Aditya duduk di hadapan adik perempuannya itu.
"Kekerasan?" Kening Aditya mengerut.
Karen kemudian menceritakan secara lengkap seperti yang Jonattan ceritakan padanya. Aditya tampak terkejut.
"Itu masalah anak-anak, loh. Sampai di bawa ke pengadilan? Jadi maksud kamu, Mas Jo minta kamu menangani kasus itu?"
Karen mengangguk.
"Aneh banget. Kayaknya Mas Jo bukan jenis orang yang kayak gitu. Kak Fani bilang apa?"
"Aku belum ketemu Kak Fani. Kayaknya dia masih di Swedia."
"Terus kamu udah ketemu sama anak laki-laki itu sama ibunya?"
Karen menggeleng. "Baru mau hubungin besok."
"Siapa nama anak laki-laki itu?"
"Haras. Harasatya Kevano. Kasihan sebenarnya, masih 9 tahun. Kasihan kalau sampai kena beban mental."
Aditya bangkit. "Ya mau gimana lagi. Kita di pihak Mas Jo. Lagian kamu tau kan Cindy gimana?"
Karen menyelesaikan saladnya. "Mas, mau sampai kapan mengabaikan Kak Jihan? Dia nelpon aku terus.."
Aditya mengabaikan ucapan Karen.
"Huft, dasar cowok."
****
"Saya rasa bukan anaknya yang harus dipenjara, tapi ibunya. Bukan begitu, Buk Ayura? Apa anda tidak ingin mengakui kesalahan anda di masa lalu? Ah, pantas saja anaknya terlibat kriminal, ibunya juga adalah seorang kriminal.."
"Haras...!!!" Ayura tersentak dari mimpinya. Peluh besar membasahi sekujur tubuh. Napasnya ngos-ngosan.
Ayura menghidupkan lampu kamar kemudian bergegas ke kamar Haras. Bocah itu sedang sholat. Ayura menghela napas lega.
"Mami.." Haras melipat sajadahnya. "Kenapa? Mami mimpi lagi, ya?"
Ayura menggeleng lalu melempar senyum. Diusapnya rambut Haras.
"Mami kira kamu belum bangun. Mami bikinin sarapan dulu.." Ayura berlalu. Meninggalkan Haras yang menatapnya heran.
Ayura menarik napas dalam. Sepertinya ia harus menyelesaikan masalah ini secepatnya.
"Tuntutan, Mas? Kamu serius?" Fani yang baru sampai di rumah langsung disambut oleh berita mengejutkan. "Emang kasusnya separah apa sampai harus dibawa ke pengadilan?"
Jonattan tak mengalihkan perhatian dari majalahnya. Ia kemudian menceritakan apa yang terjadi.
"Cuman itu? Ya ampun. Kenapa harus sampai pengadilan? Kasihan, Mas. Masih anak-anak. Kasihan juga untuk mental mereka." Fani menghempaskan pantatnya di sofa.
"Cindy mau mereka dituntut.." jawab Jonattan enteng.
"Cuma karena Cindy mau terus kamu harus ikutin? Mas, kan aku udah bilang, Cindy jangan terlalu dimanjain."
Jonattan menutup majalahnya. Ia tak mengatakan apa-apa lagi. Jonattan kemudian meninggalkan kamar. Fani menghela napas.
****
Ayura sudah memikirkan ini. Ia akan menemui Jonattan, berunding. Jika itu masalahnya, maka Ayura tak akan masalah. Tapi karena ini menyangkut Haras, putranya, Ayura tak bisa membiarkan hal buruk terjadi. Apalagi orang yang akan dilawannya adalah Jonattan. Haras mungkin tidak salah, tapi Jonattan bisa saja membuat Haras bersalah dengan kekuasaannya. Ayura tak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Siang ini Ayura akan menemui Jonattan. Ia masih mencari informasi kontak Jonattan untuk menghubungi pria itu. Tapi Ayura justru lebih dulu mendapat panggilan dari sekretaris pria itu. Tanpa pikir panjang, Ayura melaju mobil menuju sekolah Haras, meski jam kantornya belum habis.
Saat Ayura sampai di sana, ia sudah dihadapkan dengan pemandangan yang tak pernah ia bayangkan, mungkin juga tak ingin Ayura bayangkan.
Mereka ada di kafe dekat sekolah. Entah bagaimana mereka bisa ada di sana. Tapi yang mengiris hati Ayura adalah kondisi di tempat itu saat ini. Jonattan dan Cindy duduk di kursi dengan Haras berdiri di depannya dalam keadaan berlutut. BERLUTUT. KURANG TAK BEROTAK APA SI JONATTAN?
"Haras!!" Ayura langsung menarik anaknya itu untuk berdiri. Beberapa pengunjung di sana memandangi mereka. Emosi Ayura naik sampai ke ubun-ubun.
"Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berlutut?" Ayura berusaha mengontrol amarahnya, tapi tidak berhasil. Tatapannya dan Haras bertemu. Nyaris tak ada emosi apa-apa di mata Haras. Itu justru membuat hati Ayura lebih hancur.
"Masalahnya udah selesai, kan, Om?" tanya Haras mengarahkan pandangan pada Jonattan. "Aku udah minta maaf sesuai keinginan kalian."
"Har.." ucap Ayura lirih. Haras tak menggubris.
Jonattan menatap Haras sebentar. Lalu pandangannya beralih ke Ayura.
"Om rasa Ibu kamu juga harus minta maaf.."
Tatapan Haras berubah tajam. Tangannya mengepal.
"Ini nggak ada hubungannya sama Mami," katanya tegas.
Jonattan menyeringai. "Oh, ya?"
"Ibu kamu itu udah sombong kemarin sama Papi aku. Dia juga harus minta maaf.." timpal Cindy.
Haras menatap Cindy. Sedetik mampu membuat gadis itu menciut nyalinya.
"Aku udah minta maaf, masalah ini selesai," ulang Haras.
"Ok. Kayaknya kita harus tinjau ulang masalahnya.." kata Jonattan dengan enteng. "Biar pengadilan yang memutuskan.."
Baik Ayura maupun Haras sama-sama terkejut. Tangan Ayura mengepal. Bukankah sikap Jonattan terlalu kekanak-kanakan? Mengancam anak kecil? Sungguh?
Ayura menahan Haras. Anak laki-laki itu menatap Ayura dengan kening mengerut.
"Ok, saya akan minta maaf.." ucap Ayura akhirnya. Ia menguatkan diri.
"Mami.." cegah Haras.
"Berlutut," ucap Jonattan.
Haras melotot, pun Ayura.
"Minta maaf sambil berlutut, aku akan batalkan tuntutannya," ulang Jonattan. Tatapannya kini berubah dingin, tertuju lurus ke manik mata Ayura.
"Mami, jangan!!"
Tangan Ayura mengepal. Ditariknya napas dalam. Perlahan, perlahan, ia menekuk lutut. Perlahan, Ayura merendahkan posisinya, lalu ia sempurna berlutut di hadapan Jonattan. Tak hanya disaksikan oleh Haras, Cindy, Jonattan dan sekretaris pria itu, tapi juga beberapa pengunjung kafe.
"Saya minta maaf."
Tangan Haras terkepal kuat. Amarahnya benar-benar sampai di puncak kepala.
"Sudah, kan? Kita sudah tidak ada urusan lagi." Ayura kemudian menggamit tangan Haras, membawa anaknya pergi dari sana.
********