CHAPTER 1
"Maafkan aku, Jo. Silahkan benci aku seumur hidup kamu, aku rela, aku ikhlas. Tapi jangan pernah cari aku lagi. Hidup kamu sudah cukup menderita karena aku. Selamat tinggal, Jo. Semoga kamu bahagia."
Ayura tersentak dari tidurnya. Ini sudah ke sekian kalinya ia bermimpi hal yang sama. Sepertinya rasa bersalah tak akan pernah berhenti mengikutinya hingga ia mati. Meski sudah sepuluh tahun berlalu dan ia tak pernah mendengar nama Jonattan lagi. Tapi peristiwa di malam saat ia menemui Jo terus saja muncul berulang-ulang kali di mimpinya.
Ayura menghela napas, meneguk habis satu gelas air dingin.
"Mami belum tidur?"
Ayura terkejut. Haras, anak laki-laki berumur 9 tahun itu mengambil air dari kulkas, lalu meneguknya langsung dari botol.
"Har, jorok."
Haras tak menggubris. Ia ikut duduk di kursi tinggi meja bar mereka, di samping Ayura.
"Mami kenapa belum tidur? Lembur lagi?"
Ayura menoleh memandang Haras. "Apa mami resign aja ya, Har? Kita pindah ke desa, jual rumah ini."
"Terus mami mau kerja apa di desa?"
"Hmm, jual bunga, mungkin. Atau mami bisa berkebun. Tomat, timun, cabe.."
Haras mendelik. "Nggak ada ide yang lebih bagus dari itu?" Cemoohnya.
Ayura mencibir. "Emang kenapa? Salah mami pengen berkebun?"
"Nggak salah, sih. Tapi not so you banget, Mam."
"Ih, kayak yang kenal aja. Emang kamu tau mami gimana?"
Haras melipat tangan di d**a. "I'v been live with you for 10 years. Kalau mami lupa, Har bahkan di perut mami selama 9 bulan." Anak ini memang terlalu cerdas.
"Ih anak siapa sih ini? Gemes deh.." Ayura mencubit pipi Haras dengan mode gemas. Sementara Haras memutar bola mata melihat ulah Ayura.
"Udah ah, Mam. Besok ada ulangan." Haras turun dari kursi. "Btw, kalau Mami nggak punya persiapan matang, nggak usah sok ngusulin mau tinggal di desa," ucapnya sebelum ia berlalu.
Ayura hanya bisa bengong melihat putranya itu. "Tuh anak niru siapa sih? Ya ampun." Ayura meneguk lagi air segelas sebelum ia kembali ke kamar.
****
Haras tak pernah melarang Ayura menikah lagi. Tidak sekalipun. Ia bahkan kadang terang-terangan menyuruh ibunya itu berkencan. Tapi Ayura tak pernah menganggapnya serius. Selain ia terlalu sibuk bekerja, Ayura belum kepikiran untuk menikah lagi. Tak ingin dan juga tak siap.
"Har, ntar malam kayaknya mami telat pulangnya. Kamu pesan makanan aja ya."
"Iya." Haras menutup pintu mobil.
"Love you, my boy.." Ayura mengecup jauh. Haras menghela napas kemudian berlalu. Ayura hanya bisa tertawa kemudian ikut meninggalkan gerbang sekolah Haras.
****
"Lunch, Yu?" Rangga muncul di depan kubikel Ayura.
Ayura melirik jam tangan. "5 menit lagi, nanggung nih. Kabarnya Pak Wiryo mau datang.
"Tau dari mana Pak Wiryo mau datang?"
"Anak divisi."
"Pak Wiryo emang mau datang, tapi bukan buat controlling. Gue denger itu mau rapat pemegang saham."
"Pemegang saham?"
Rangga mengangguk.
"Jadi semua pemilik saham di sini bakal datang gitu?"
Lagi Rangga mengangguk. Ayura manggut-manggut. Sudah lima tahun dia bekerja di sini, baru kali ini ia bisa melihat para petinggi penguasa tempatnya bekerja ini.
"Yuk.." Ayura bangkit. Keduanya meninggalkan kantor tepat saat beberapa mobil mewah berhenti di depan pintu utama gedung.
"Selamat datang, Tuan Jonattan."
Pria bertubuh tinggi tegap itu menatap gedung menjulang di depannya dari balik kaca mata hitamnya. Jonattan menarik napas pelan.
"Ok, kita lihat apa yang harus aku lakukan di sini," ucapnya pelan.
****
"Maksud kamu ada kemungkinan Dirgantara turun gitu?"
"Yap." Rangga mengangguk. Mereka sedang membahas tentang keadaan perusahaan dan kemungkinan yang terjadi di rapat pemegang saham. Dirga, direktur saat ini kemungkinan besar akan lengser.
"Pak Wiryo juga? Sayang banget, Pak Wiryo kan baik."
"Ya menurut kita baik, kalau menurut pemegang saham enggak, kita bisa apa?"
"Tapi nih ya, apa ada kasus di atas, ya? Sampai ada rapat pemegang saham gitu? Perdana selama 5 tahun aku kerja di sini.."
Rangga mengendikkan bahu. Ia melirik jam, kemudian segera makan dengan cepat. Mereka harus sudah kembali ke kantor dalam lima belas menit. Atau tak hanya Dirga yang lengser, mereka juga.
****
"Denger-denger Pak Dirga udah nggak direktur lagi. Katanya pemegang saham paling besar yang nurunin."
Ayura yang sedang membuat kopi di pantry mencuri dengar obrolan anak-anak dari divisi lain yang entah melakukan apa di divisinya. Mungkin mereka datang untuk bergosip.
"Wah, ngeri ya tuh orang. Ada yang bilang kalau dia katanya masih muda, lebih muda dari Pak Dirga. Padahal perusahaan ini makmur di bawah pimpinan Pak Dirga." Sahut yang lainnya.
Ayura manggut-manggut. Sepertinya pemilik saham terbesar di perusahaannya ini sedang jadi hot topik karena berhasil menyingkirkan Dirga yang notaben adalah favorit hampir semua karyawan, terutama kaum hawa.
"Tapi anehnya bukan dia yang ambil kedudukan itu."
"Hah, maksudnya?"
"Ya bukan dia yang jadi direktur. Orang lain. Katanya dia nggak mau ambil jabatan di sini. Di perusahaan ini."
"Ya menurut lo, deh. Secara dia udah setajir melintir gitu. Ngapain dia masih capek-capek kerja. Dia pergi liburan tiap hari juga duit ngalir aja ke rekeningnya."
Ayura merasa sudah cukup mendapat informasi. Ia bergegas meninggalkan pantry dengan segelas kopi panas. Toh siapapun direktur perusahaan ini, tidak akan mengganggu hidupnya. Tidak samasekali.
****
Ayura turun dari mobil bersamaan dengan Dirga. Ayura terkejut mendapati Dirga di depan rumahnya. Mobil Dirga terpakir tepat di belakang mobil Ayura.
"Kok bisa di sini, Pak?" Bukan pertanyaan penting sebenarnya. Ini bukan kali pertama Dirga datang ke rumahnya. Ya, mantan direktur perusahaannya itu adalah orang yang cukup sering mengunjungi rumahnya.
Ayura membuatkan teh untuk Dirga. Tak lama Haras turun dari lantai dua. Ia menyapa Dirga santai tanpa rasa canggung sedikitpun.
"Mami katanya mau lembur.."
"Nggak jadi."
Ayura mengulurkan minum ke Dirga. "Diminum, Pak."
Sebenarnya Dirga dan Ayura sudah pernah berdebat soal ini. Dirga tak ingin dipanggil
Bapak di luar kantor. Tapi Ayura ngotot tetap memanggil Dirga dengan sebutan Pak, katanya aneh kalau memanggil Mas. Jadilah panggilan itu tetap melekat.
"Gimana sekolah kamu, Har?"
"Aman, om." Haras ikut duduk di single sofa.
"Kamu udah denger ya beritanya?" Tanya Dirga pada Ayura. Wanita itu mengangguk samar.
"Biasa, reporter kantor," jawabnya asal. Dirga tertawa dibuatnya.
"Itu bener kok, bukan hoax."
Ayura manggut-manggut. Ia peduli, tapi ia malas kepo untuk bertanya banyak hal pada Dirga. Ayura pun merasa tak berhak bertanya sebab itu bagian dari privasi Dirga.
"Tapi aku nggak dipecat, aku dipindah ke cabang baru.."
Kening Ayura mengerut. "Cabang baru? Maksudnya bapak merintis cabang baru dari nol gitu?"
"Nggak dari nol juga, tapi gitulah."
Ayura melongo. Sejauh ini Haras hanya memperhatikan obrolan dua orang dewasa di depannya.
"Nggak adil banget. Kok mereka jahat gitu. Itu memanfaatkan namanya," ujar Ayura keki.
Dirga tertawa. "Iya sih, emang. Kamu betul 100%."
"Kenapa bapak masih mau kalau udah tau itu nggak adil?"
Dirga melipat tangan di d**a. "Aku kesal sih, marah juga. Tapi ya nggak punya pilihan lain. Kalau aku cabut, saham 10% di sana nggak cukup buat nopang hidup. Lagian aku nggak jamin apa saham itu masih akan aman kalau aku nggak di sana. Sebenarnya nggak buruk juga merintis lagi. Cari pengalaman."
Ayura geleng-geleng. "Kurang banyak apa pengalaman bapak? Lima tahun memimpin perusahaan tanpa ada pemerosotan itu nggak mudah. Lagian emang mereka kira bapak boneka bisa diperalat."
Dirga meringis mendengar istilah Ayura. Wanita ini memang selalu on point kalo ngomong. Kadang pait kalo di denger, tapi sayangnya bener.
"Ya udahlah. Mau gimana lagi. Btw, sekarang aku udah bukan bos kamu lagi. Jangan panggil Pak. Aku rasanya jauh banget dari kamu. Kamu masih pake saya ngomong ke aku."
Ayura sudah mau protes, tapi melihat kusut di puncak kepala Dirga membuatnya akhirnya luluh.
"Okelah."
Dirga tersenyum.
"Kalian belum pada makan, kan?" Ayura bangkit. Beranjak ke pantry. "Adanya cuma ikan, nggak apa-apa kan?" Tanyanya dari dapur.
"Aman!" Jawab Dirga dan Haras bersamaan. Lalu Dirga tertawa.
"Har, mau main game nggak?"
Haras mengangguk. Keduanya sudah tenggelam dengan stik PS.
****
Makan malam berlangsung khidmat, harusnya. Kalau saja Dirga tidak tiba-tiba melamar Ayura.
"Aku serius. Aku udah nggak direktur lagi. Nggak ada alasan lagi kamu nolak aku. Please, setidaknya pertimbangkan dulu.."
Ayura menghentikan makannya. Ini memang bukan kali pertama Dirga mengajaknya menikah. Tapi selalu Ayura tak mengiyakan. Sekarang lamaran Dirga cukup mengusiknya. Apalagi Dirga baru saja melamarnya di depan Haras. Dan Ayura mendapati sorot persetujuan di mata putranya itu.
**************