Prolog: Saraswati Bia Ningrum

1044 Words
Mencintai seseorang memang akan menjadi support sistem dalam kehidupan setiap orang, ketika kamu mencintai seseorang yang kamu suka akan menjadikan kamu lebih bersemangat untuk menjalani hidup. Tetapi, kamu juga tidak bisa memaksa jika cinta yang kamu berikan kepada seseorang tersebut tidak diterima dengan keikhlasan hati olehnya. Terkadang ia hanya akan menerima kamu karena kasihan atau kah menerima cintamu karena dia sedang kesepian. Jadi, jika kamu benar-benar mencintai seseorang tersebut jangan sampai mengalahkan rasa cintamu pada diri kamu sendiri, cinta itu membuat buta semua orang dan bisa membuat orang lupa untuk apa dia dicintai dan mencintai. Jadi tetap cintai diri kamu lebih daripada kamu mencintai orang lain. Karena hanya kamu yang bisa menenangkan diri kamu ketika sedang di khianati. Terlihat di ujung jalan dimana dekat dengan lapangan bermain anak-anak. Seorang perempuan seperti sedang menangis tidak berhenti. Sambil ia juga berteriak lantas meluapkan apa yang membuatnya menangis. "Salah kah bila aku ingin memperjuangkan apa yang ingin aku perjuangkan..!" "Hiks.. hiks.." tangisnya masih terdengar di tengah riangnya anak-anak bermain. "Huh! Hiks. Aku bingung mau gimana lagi, aku udah pertahankan hubungan aku selama ini, karena aku cinta sama Satria, aku sayang sama Satria. Tapi.. tapi, hiks.. jahat sekali dia menyukai sahabat aku sendiri!" ucapnya dengan sedikit kesal. Perempuan itu terisak kencang, menumpahkan semua batin nya yang sangat tersiksa. Perempuan itu lalu mengambil batu kecil yang berada didepannya, lantas melemparkan jauh kedepan. Dan menunduk, ia kembali menangis. "Aduh!" tanpa perempuan itu tahu bahwa batu yang ia lempar sekarang sudah mengenai seorang laki-laki yang sedang berjalan di pinggir jalan. "Siapa yang lempar gua nih, kurang kerjaan banget, apa kedatangan gua nggak di harapkan ya seperti hati gua yang selalu salah masuk pintu hati perempuan. Aduh, jadi drama kan gua nih. Mana lagi nih orang, mau gua kasih nasehat jangan lempar batu sembarangan." kata laki-laki itu yang menggendong ransel nya dan menenteng koper besar ditangannya. Laki-laki itu mengernyitkan dahinya, ia menghela napas saat dia melihat banyak anak-anak yang bermain di lapangan tidak jauh darinya. "Dasar anak-anak jaman sekarang, nggak ada sopan nya sama yang tua. Sabar Nunu sabar. Kalau sabar makin ganteng.” ia lalu melangkahkan kakinya hendak berlalu. Namun, laki-laki yang bernama lengkap Nunu Hidayat Ananda Fatir tersebut seketika menghentikan gerak langkah kakinya. Ia kembali mengernyit saat isak tangis terdengar di telinganya. "Ada yang nangis ya? Nggak mungkin kan siang-siang gini ada mba kunti, lah udahlah. Kebanyakan imajinasi gua." "Hiks.." "Loh, malah makin nyaring aja tuh suara." Nunu memperjelas tatapannya saat melihat di ujung jalan, seorang perempuan yang sedang duduk sambil memainkan batu kecil di tangannya. "Astaghfirullah, ternyata tadi gua salah sangka. Tuh perempuan yang lempar gua pakai batu. Gua samperin lo, kalau suka bilang jangan kode-kode. Kenapa lagi tuh perempuan nangis, jangan bilang udah nyesel karena lempar gua pakai batu, harusnya pakai hatinya." ucapnya yang sembari berjalan mendekati tempat duduk perempuan yang menangis tadi. Nunu mengernyit, melihat perempuan itu merenung mengabaikan suara yang berasal dari handphone miliknya, yang terus berbunyi tanpa henti. Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil terus bergumam tidak jelas dan melempar kembali batu ditangannya. Nunu menghembuskan napasnya. "Patah hati ya?" tanya Nunu tanpa basa-basi. "Pecah seribu." jawab perempuan itu yang kemudian mengangkat wajahnya. Nunu tersenyum lebar, laki-laki itu terpana pada wajah perempuan tersebut, bahkan cukup lama mata mereka saling bertemu hingga Nunu tersadar dan menggelengkan kepalanya, dan lalu kemudian membuka ransel nya, mengeluarkan sapu tangan yang ia punya. "Nih.." "Apa ini?" tanya perempuan itu sembari mengusap pipinya dengan punggung tangan. "Lo nggak tau ini apa?" "Tau. Tapi kenapa kasih aku?" "Hapus air mata lo, ini terakhir gua liat bulir kesedihan itu keluar dari kedua mata lo." ucap Nunu walau sebenarnya dia sangat ingin menanyakan kenapa perempuan itu menangis. Tapi Nunu sadar diri karena mereka baru saja saling mengenal dan dia juga takut perempuan itu akan kembali bersedih. "Siapa kamu?" tanya perempuan itu setelah menerima sapu tangan milik Nunu. "Gua Nunu Hidayat Ananda Fatir. Gua mahasiswa di kota, dan orang baru di desa ini, gua mau ngerjain skripsi, sekalian cari jodoh juga." “Kamu kira di desa ini lagi ngadain take me out. Ajang cari jodoh." "Yee, bercanda gua. Salam kenal ya cantik." "Hum. Tipe-tipe laki-laki buaya." "Nggak tuh.” Perempuan itu memutar badannya, melihat pada layar handphone nya yang menampilkan panggilan dari seseorang. Dan beberapa chat dari nomor yang asing, perempuan itu seketika terkejut dan menggelengkan kepalanya, ia bahkan hampir terjatuh dari duduknya. Nunu yang bingung dan hendak menangkap perempuan itu lantas mengurungkan niatnya saat handphone perempuan itu kembali berdering. "Lo angkat berarti lo lemah." perempuan itu mendelik pada Nunu. "Aku memang selalu lemah sama orang yang aku cintai." ucap perempuan itu, kemudian ia berdiri dan merapikan jilbab. "Berarti lo akan lemah kalau sama gua." "Maksudnya?" "Karena gua akan buat lo jatuh cinta sama gua." "Heh. Jangan kebanyakan imajinasi. Mana mau aku sama kamu.” "Hehe." Perempuan itu menggelengkan kepalanya dan lalu melihat barang bawaan Nunu. Dia akan sekejap melupakan masalahnya, akan ada saatnya semuanya benar-benar terungkap dari bibir mereka masing-masing. "Kamu baru sampai di desa ini ya?" Iya nih. Mau cari rumah warga yang kosong buat sementara gua tinggalin." "Udah ketemu?" "Belumlah. Tadi pas gua lagi jalan tiba-tiba kepala gua dilempar sama orang yang lempar gua pakai batu." "Loh. Gimana bisa, terus orangnya dimana?" Nunu terkekeh kecil, mengernyit melihat perempuan di depannya itu yang mencari seseorang. Entah dia tidak sadar tadi saat melempar atau pura-pura saja. "Nama lo siapa?" tanya Nunu. "Ehh." perempuan itu menatap tangan Nunu yang menggantung di depannya ingin bersalaman. "Nggak ada salam-salaman. Ntar jadinya kamu suka lagi sama aku." "Yahh.. udah suka gua. Gimana dong?" senyum Nunu dengan lebarnya. "Nggak boleh." "Siapa yang nggak bolehin?" "Aku. Karena aku nggak suka sama kamu, karena hati aku cuman buat Satria.” "Gua aja belum tau nama lo, eh udah tau aja nama saingan gua." "Terserah kamu aja deh. Kamu ikut aku, dirumah ada kamar kosong." "Serius lo!" "Iya. Udah ayok.." "Eh bentar.." Nunu tersenyum, tangannya berhasil memegang lengan perempuan itu. "Nama lo, Bia. Iya kan?" "Iya. Nggak kaget aku kalau kamu tahu nama aku." Nunu terkekeh lantas melepaskan tangan Bia. Setelah tadi ia melihat nama perempuan itu yang tercoret di telapak tangannya, itu hanya coretan pulpen dan akan terhapus seiring waktu. Dan Nunu akan mencoret di hatinya, nama seorang perempuan, Saraswati Bia Ningrum. Nama yang tidak akan pernah dia hapus bahkan untuk waktu selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD