Part 4 Ketulusan

1788 Words
Bia mengernyit, menatap pada Nunu, ia sadar apa yang Nunu katakan. Tapi Bia bingung ingin menjawab apa. Bia mengangkat tangannya, menempelkan di dahi Nunu, Bia berpikir mungkin saja Nunu lagi demam atau terkena sindrom halusinasi. "Bia, lo ngapain?” tanya Nunu lalu memegang tangan Bia yang berada di dahinya itu. "Nunu, kamu jangan pegang-pegang. Kamu yang kenapa. Keluar kamar langsung bilang kayak gitu.” ucap Bia dan menepis tangan Nunu, ia menatap Nunu. "Salah gua?” "Nggak tahu.” Bia melihat Nunu dan menggelengkan kepalanya. "Udah, buruan yuk Bapak udah nungguin kamu.” "Kenapa Bapak lo nungguin gua. Oh gua tahu, Bapak lo pasti udah nerima lamaran gua ya, merestui hubungan kita?” Bia tertawa pelan setelah mendengar ucapan Nunu. "Kebanyakan imajinasi kamu. Yakin banget kamu aku mau nikah sama kamu, Bapak nerima lamaran kamu, haha..!” tawa Bia keluar dan bersamaan mereka sampai di ruang tengah, dan disana sudah ada Mamak dan Bapak Bia. "Kenapa ini, asik banget ketawa kamu Bia.” tegur Rosita penasaran. Bia lalu duduk di sebelah Rosita dengan masih terkekeh sesekali ia melihat pada Nunu, laki-laki itu nampak cemberut dan sudah duduk di sebelah Bapak yang sedang membaca bukunya. "Pak, itu Nunu udah Bia panggil.” kata Bia yang kemudian mengalihkan tatapan Bapak kepada Nunu. "Nunu.” "Iya Pak?” Bia memandang dua laki-laki di depannya itu, mereka berbicara sangat serius bahkan Bapak tidak sekalipun mengalihkan matanya dari menatap Nunu yang tengah berbicara. Bia menundukkan kepalanya, menyadari kembali bahwa Nunu adalah laki-laki pertama yang berbicara dengan bapaknya, dia laki-laki pertama yang berani masuk ke dalam rumah orangtuanya Bia, bermain bersama adik-adik Bia, dan Nunu laki-laki pertama yang berani secara terang-terangan bilang kalau Bia adalah calon istrinya. Bia sadar, Satria yang sudah lebih dari setahun pacaran dengannya, tidak pernah sekalipun bicara sama Bapak dan Mamak Bia, apalagi sama adik-adiknya, Satria selalu sibuk sama pekerjaannya, selalu tidak ada waktu hanya untuk sekedar menelponnya atau sekedar menanyakan kabar orangtuanya, terkadang juga Ridho suka menanyakan tentang Satria, tentu saja Bapak dari Bia itu ingin melihat wajah kekasih anaknya. Tetapi Satria selalu hanya chat dan bilang lagi sibuk bekerja, dan mengatakan kapan-kapan ia akan telpon Ridho. Tapi sampai sekarang pun Satria tidak ada menelpon, saat menelpon Bia paling hanya sebentar itupun hanya saling menanyakan kabar, sudah makan atau belum, setelahnya telepon usai dan selebihnya mereka berkomunikasi lewat chat. Bia mengerti bahwa Satria sibuk bekerja, untuknya dan buat masa depan mereka. Karena mereka punya komitmen akan menikah saat nanti bertemu. Bia lebih menekankan sabarnya, Bia tidak ingin egois, Satria juga punya kesibukannya sendiri dan tidak mungkin hanya membagi waktunya untuk Bia terus, waktu dia bukan cuman buat Bia. Dan secara tidak sadar Bia merasakan hatinya kemudian lelah, apalagi sekarang Nunu datang dan mengatakan ini dan itu, berjuang mengungkapkan rasanya dan Bis bisa apa, Bis tidak mungkin menerima Nunu untuk Bis jadikan pelampiasan sepinya, yang akan Bia lepaskan saat nanti Satria datang kembali mengisi hatinya. Bia tidak sejahat itu. "Bia.” Bia tersentak dan melihat pada Nunu dan Bapak yang menatapnya bingung. "Kenapa melamun, ada masalah?” tanya Bapak dan Bia menggelengkan kepalanya, lalu Bia mengernyit saat melihat Nunu yang menatapnya sangat dalam, Bia tidak tahu kenapa Nunu menatapnya seperti itu. "Bia, lo dengerin nggak gua sama Bapak tadi ngomong?” tanya Nunu. Bia mengernyit, ia kemudian tersenyum lebar dan menggelengkan kepala, Nunu menghembuskan napasnya. "Kenapa, maaf tadi aku nggak fokus, makanya nggak denger kamu sama Bapak bicara apa.” "Lo mikirin apa sih?” "Nggak mikir apa-apa kok. Kenapa sih kamu, Nunu. Heran aku." Bia cemberut, Bapak lalu berdiri dan berjalan menuju kamarnya setelah membisikkan entah apa itu kepada Nunu. Bia bahkan tidak sadar kalau Rosita sudah tidak ada di ruang tengah. "Bapak ngomong apa sama kamu. Jangan macam-macam ya kamu sama aku.” "Macam-macam apa sih Bia. Nggak ada apa-apa juga. Sekarang gua tanya lo bener nggak tau tadi gua sama Bapak ngomongin apa?” "Udah dibilang aku nggak tahu. Nggak percayaan banget sih kamu.” Bia menjadi kesal. "Bia. Lo jujur sama gua, lo tadi ngelamun tentang apa. Laki-laki itu, Satria? Atau gua nih.” "Astaga Nunu. Ngapain aku ngelamun tentang kamu.” Bia melihat Nunu yang terkekeh. "Gua sama Bapak tadi mau ada rencana buka warung kecil di samping rumah lo, kan lapang tuh tanahnya, ya buat Mamak kalau lagi di rumah bisa sambil jagain warung.” "Hasilnya bagi sama kamu?” "Nggak. Gua kan sebentar aja disini, semua penghasilan gua serahin ke Bapak, nah Bapak nanti serahin sama lo. Lo mau apa nggak?” Bia diam, Bia sadar diri kalau ia tidak terlalu ahli dalam soal hitungan, itu pun kalau ia sedang menghitung selalu minta bantuan kalkulator, tapi kalau Bia tidak menerima tawaran Nunu, kasian bapaknya, Bapak udah kerja tapi harus pegang warung juga. Bia menjadi bingung. "Aku bingung. Emang udah pasti mau buka warung?” tanya Bia pada Nunu. Laki-laki itu malah tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Oke, aku mau. Tapi ada syaratnya.” "Apaan? Jangan-jangan lo suruh gua nikahin lo, itu sih gua siap selalu garda terdepan.” "Nunu..!” teriak Bia yang kemudian memutar bola matanya dan menggelengkan kepala, Nunu tertawa hingga kedua matanya itu menyipit. Terlihat sangat senang sekali Nunu, Bia jadi merasa bersalah seringkali berbicara kasar dengan Nunu. Bia diam masih menatap Nunu yang menunduk terkekeh, sesekali tangan Nunu menyeka matanya, Nunu menangis. "Nunu?” "Gua nggak apa-apa, Bia.” Tatapan Bia dan Nunu tiba-tiba bertemu, Bia ingin memalingkan wajahnya tapi seakan-akan Nunu menahannya. Mata Nunu menatap Bia seperti bernyanyi dan membawa Bia ke dalam dunia melodinya. Cukup lama mereka saling menatap hingga Bia tersadar dan ia beranjak berlari meninggalkan ruang tengah, Bia tidak bisa terlalu lama menatap mata Nunu atau ia akan benar-benar jatuh ke dalam cintanya Nunu, jujur hati Bia hampir memeluk Nunu, Bia tidak mau Satria kecewa dengannya. Ia harus menjaga kesetiaan dia kepada Satria. Bia memegang dadanya, Nunu harus bisa menghapus rasanya untuk Bia. Bia tidak mungkin mencintai dua hati sekaligus. Jika disuruh memilih ia akan memilih kekasihnya, Bia akan memilih Satria karena dia tulus dan mencintai Satria. Bia sudah memperingatkan Nunu, kalau Nunu tidak mau menghiraukan ucapannya maka jangan salahkan Bia kalau hati Nunu nantinya akan merasakan sakit berkali-kali karenanya. Bia beranjak menuju meja samping tempat tidurnya, handphonenya yang berdering membuat Bia penasaran siapa yang meneleponnya di tengah malam seperti ini. "Sanah?” gumam Bia saat melihat nama sahabatnya itu menelponnya. Dengan segera Bia mengambil handphone dan duduk di ranjang, ia menerima panggilan Sanah dan langsung terdengar suara merdu dari perempuan itu. "Assalamu’alaikum Bia sayangku.” "Wa’alaikumsalam, Sanah. Ada apa nelpon tengah malam gini? Haha. Ada yang ingin kamu bicarakan.” Terdengar tawa Sanah dari seberang telepon. "Hehe, aku merindukanmu Bia. Baru ini ada waktu untuk nelpon kamu, kamu sibuk terus sih, wa online tapi nggak balas chat aku.” "Ya ampun, aku nggak tahu Sanah. Banyak chat yang masuk, pasti chat kamu tertimbun. Maafkan aku ya.” "Iya nggak apa-apa Bia. Oh iya, Bang Satria ada kasih kabar kamu tidam, dia udah naik jabatan loh jadi CEO d6ikantor papa dia.” "Hah? Serius, aku nggak tau Sanah. Satria nggak nelpon aku, terakhir chat sama dia kemaren. Satria nelpon kamu?” "Loh. Bang Satria bilang udah kasih tau kamu, malah sebelum kasih tau aku. Nggak mungkin kan abang bohong.” Bia menunduk, ia sangat ingat kemaren dia dan Satria cuman chat dan itu pun mereka membicarakan masalah dia yang main tod bersama temannya, Satria bahkan tidak ada mengatakan kalau dia naik jabatan di kantor papanya. "Bia, kamu masih disana?” “Oh, iya Sanah. Mungkin dia lupa kali, lagi sibuk banget pasti kan.” "Iya sih. Chat aku aja di balas abang lama banget, ada jam satu tengah malam abang balasnya. Kamu gitu juga kan?” "Hum. Iya Sanah. Sanah, maaf ya ini udah malam aku harus tidur, nggak apa-apa kan?” "Ya ampun, Iya Bia. Maaf kalau aku mengganggumu dengan menelpon malam-malam gini, abisnya sibuk aku, kamu juga sibuk. Yaudah kamu tidur deh, kapan-kapan nanti aku telpon kamu lagi ya.” "Iya Sanah. Yaudah. Assalamu’alaikum.” "Wa’alaikumsalam. Sampai jumpa Bia.” "Sampai jumpa Sanah.” Sambungan telepon Bia dan Sanah terputus. Bia sekarang tidak bisa menahan air matanya yang udah siap jatuh kapan aja itu. Jujur, Bia menjadi sangat cemburu, karena Sanah lebih dekat sama Satria, meski ia tahu antara Sanah dan Satria tidak ada hubungan apa-apa, bahkan Sanah tahu kalau Bia dan Satria sudah pacaran lama. Bia berharap apa yang ia pikirkan sekarang tidak menjadi kenyataan, kalau suatu hari nanti terjadi Bia tidak tahu bagaimana bisa menghadapinya, Bia takut dirinya tidak akan kuat. "Gua udah bilang Bia. Satria itu nggak tulus sama lo.” Bia menatap Nunu yang berdiri di samping pintu kamarnya, sejak kapan Nunu berdiri disana. "Nggak usah jadi kompor deh Nunu. Sana kamu, aku mau tidur.” ucap Bia secara halus. Bia lalu berjalan menatap Nunu yang masih belum bergerak dari tempatnya berdiri. "Bentar Bia, gua mau ngomong.” "Kalau kamu ngomong yang nggak penting mending nggak perlu, aku ngantuk, nggak baik laki-laki dikamar perempuan apalagi cuman berdua. Kamu keluar.” Nunu kemudian berjalan keluar dari kamar Bia. Sebelum pintu kamar Bia tutup, tangan Nunu tiba-tiba menahannya. "Lo jangan benci sama gua karena ungkapan rasa gua ke lo, gua mau kita jadi sahabat Bia. Gua lebih baik mati dalam lautan cemburu, asalkan gua selalu liat lo bahagia, Bia cinta sejati yang suci nggak harus memiliki kan, tapi lo harus tahu cinta gua buat lo nggak bakal musnah dari hati gua. Selama gua masih bernapas dan gua bisa menopang tubuh gua, gua akan selalu ada buat lo.” "Selamat tidur, mimpi indah Bia. Besok kita mulai hubungan sahabat ini.” Bia tidak tahu harus bicara apa, kata-kata yang Nunu ucapkan terlalu menyayat hatinya. Apa lebih baik dia menyerah atau tetap pada pilihannya. Sekarang Bia hanya harus fokus pada Satria, dan merangkai masa depannya dan Satria. "Nunu, Aku tidak pernah berpikir untuk membencimu, dari sebuah dasar perkataan. Semua bentuk percakapan memiliki hak untuk terlontar, mengungkapkan. Tinggal siapa yang siap untuk mendengarkan, mungkin terdengar jahat oleh penolakan, tapi itulah dasarnya menjaga hati dia dan dirinya. Terdengar mengejek, dasarnya untuk menghargai walaupun terlihat imajinasi. Siapa perempuan yang tidak ingin diperjuangkan, semua perempuan inginkan perlakuan itu, bukan hanya janji semata. Tapi aku berhak menolak, Nunu datang di saat hatiku sudah sepenuhnya dimiliki oleh Satria. Perempuan manakah yang egois dan ingin memiliki dua hati laki-laki sekaligus. Tidak cukup menyakiti hati satu laki-laki, dia justru menyakiti hati laki-laki lainnya. Dan aku bukan perempuan semacam itu. Maka aku lebih memilih menolak. Dan aku menjaga hubungan ku, menjaga perasaan seseorang yang aku cintai. Hubungan sahabat, mungkin sepertinya lebih baik daripada hubungan perpisahan yang akhirnya saling membenci dan memendam dendam. Cinta tidak patut di jadikan dendam, membuat luka dan kecewa itu wajar. Dan memberikan kebahagiaan, tidak semua pasangan mendapatkan cinta tersebut."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD