Part 8 Album

1842 Words
"Bu, ayo. Kita jadi mau ke pasarnya?” seorang wanita paruh baya yang tengah berjalan sambil membawa keranjang tas di tangannya, bergegas keluar rumah dan menghampiri Bia yang sudah tidak sabar ingin menemani pembantu rumahnya itu pergi ke pasar. "Iya jadi. Ayo, nanti keburu hujan.” ucap Ibu Anisa dengan logat jawanya itu. Bia tersenyum kemudian mereka berjalan menuju pasar yang tidak jauh dari rumah orangtua Bia. Bia tersenyum dan sesekali melontarkan salam kepada warga yang berpapasan dengannya dan tentu mereka sudah mengenal Bia. Warga pun membalas salam dari Bia, Bia melambaikan tangannya pada murid-murid mengajinya yang tengah bermain dan menyapanya. "Non Bia.” Bia menoleh pada Bu Anisa yang memanggilnya. "Iya Ibu.” "Maaf ya kalau saya tanya tentang Non Bia. Saya cuman penasaran saja Non." ucap Bu Anisa tak enak hati. "Iya nggak apa-apa Bu, tanya aja, kalau Bia bisa jawab bakal Bia jawab, hehe.” "Hum. Itu non, seperti yang saya tahu kan ya, non punya pacar namanya Satria. Apa yang dirumah itu pacarnya non?” "Pacar? Nunu, maksudnya Bu. Haha, bukan lah Ibu. Nunu itu cuman anak kuliahan terus di desa ini mau mengerjakan skripsinya, gitu Bu. Satria itu bukan dia, kalau Satria nanti bakal datang ke desa ini, besok Ibu bisa liat yang mana namanya Satria.” Bu Anisa hanya mengangguk sambil terkekeh karena salah paham. "Waduh salah ya saya, saya kira itu Satria. Soalnya ganteng, baik, ramah lagi non. Saya kok jadinya pengen Non Bia sama si ganteng Nunu. Astaghfirullah, maaf ya non. Tapi saya juga ikut seneng kalau pacar non mau kesini, saya mau lihat siapa yang buat non senyum-senyum terus kalau liat handphone, hehe.” kata Ibu Anisa yang lalu tertawa kecil. Bia lantas tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Nggak apa-apa kok ibu. Semua orang bebas berpendapat. Satria juga orangnya ganteng, baik juga. Iya cuman dia agak dingin tapi kalau udah deket banget sama orang, seperti dianggap saudara.” ucap Bia dengan senyumnya. "Iya, nggak apa-apa non. Eh non, udah sampai nih. Non Bia mau beli apa, biar Ibu tak carikan?” tanya Bu Anisa, dimana kini mereka sudah berada di pasar yang cukup ramai dengan warga yang berlalu lalang dengan suara para pedagang pasar yang saling bersahutan. "Eh nggak usah Bu, Bia cari sendiri saja. Ibu Anisa beli bahan dapur saja, nanti kita ketemu disini ya Bu, Bia mau lihat-lihat dulu.” Bu Anisa mengangguk lalu mulai menjauh sambil menggandeng tas belanjanya. Bia menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian langkahnya berjalan lurus sambil kedua matanya mengelilingi area pasar. Bia tersenyum saat melihat apa yang dia cari, perempuan itu dengan cepat menghampiri benda tersebut, Bia menghembuskan napas lega saat sudah mendapatkan apa yang dia cari. "Akhirnya ketemu juga. Semoga Satria suka sama kado aku. Walaupun nggak mahal dan nggak mewah, inikan yang dia mau selama ini.” Bia lalu mengambil barangnya dan menuju dimana si penjual berada. "Pak, sorban ini berapa ya?” "Itu yang terbaru mbak, kainnya juga lembut dan tebal. Harganya 95 ribu, naik dari minggu kemaren.” kata si bapak penjual kain sorban tersebut. "Iya pak, saya beli satu pak, yang warna ini sudah saya ambil.” bapak itu kemudian mengambil kantong plastik dan membungkusnya, Bia mengambil uangnya lalu memberikan kepada si bapak. Setelahnya Bia mengucapkan terima kasih dan berlalu menuju tempatnya tadi kembali bertemu dengan Bu Anisa. Tidak lama Bia menunggu, Bu Anisa datang dengan tas belanjanya yang sudah terisi. Kemudian mereka berjalan keluar dari pasar untuk kembali ke rumah. "Dapat tadi yang non cari?” tanya Bu Anisa sambil terus berjalan. "Ada Ibu. Nggak lama carinya langsung ketemu, mungkin lagi barang baru jadi ada semua barangnya.” kata Bia dengan senyumnya. Bu Anisa mengangguk dan mereka mengobrol dalam perjalanan hingga mereka sampai di depan rumah Bia. Bia mengernyit saat langkahnya yang tiba-tiba dihadang oleh kedua kaki didepannya. "Assalamu’alaikum Ibu Anisa. Darimana sama Bia, Bu?” tanya Nunu pada Ibu Anisa dengan masih menghalangi langkah Bia. Bia mengerut, lalu mendengus kesal. "Wa’alaikumsalam, anak ganteng. Ini dari pasar, maaf ya saya mau masuk dulu, mau masak.” Nunu tersenyum lebar ketika Ibu Anisa yang memanggilnya ganteng, ia kemudian mengangguk dan mempersilahkan Bu Anisa untuk masuk. Tetapi tidak dengan Bia, laki-laki itu malah semakin menutup akses masuk untuk Bia ke dalam rumah milik orangtua perempuan itu sendiri. "Nunu, aku mau masuk.” Nunu memajukan bibirnya, menggelengkan kepalanya. "Kok lo nggak ngajak gua sih kalau mau ke pasar, gua kan mau ikut.” Bia menghela napasnya, kalau tidak diladeninya, ia tidak akan bisa masuk ke dalam rumah. "Tadi kamu lagi sibuk ngerjain skripsi kan, makanya nggak aku ajak.” ucap Bia mengangkat sebelah alisnya. "Ihhh nggak asik lo, gua bisa kali tunda dulu ngetiknya, buat jalan sama lo.” "Eh, orang aku jalannya sama Bu Anisa kok, mana mau aku kalau jalan sama kamu.” Nunu menghembuskan napasnya, tubuhnya bergeser menatap kepada Bia. "Eh apaan tuh Bia. Lo beli oleh-oleh apa buat gua? Ya ampun repot banget sih lo, makasih ya..” dengan tampang gembira Nunu hendak mengambil kantong plastik di tangan Bia, namun dengan keras Bia langsung menangkis tangan Nunu. "Sembarangan kamu, jangan sembarangan deh jadi laki-laki. Bukan buat kamu, ini buat pacar aku, we.” "Lah, nggak ada pacar lo di sini, mending buat gua aja kali.” "Lo kalau berani pegang aku sliding kamu.” ucap Bia dengan bersiap mengangkat satu kakinya. Dengan lesu Nunu menatap Bia, laki-laki itu lalu berjalan ke dalam rumah meninggalkan Bia yang masih di luar. "Yaah, pakai ngambek kayak bocah. Eh, Nunu. Nanti aku beliin eskrim ya yang lima ribuan.” Nunu mengangkat tangannya, sambil terus berjalan. Dengan senyumnya yang lebar. Bia terkekeh dan mengikuti Nunu masuk ke dalam rumah. Nunu melamun di depan laptopnya, satu persatu jarinya menekan tombol di laptop itu, laki-laki itu sesekali menghembuskan napas pelan. Berhenti mengetik lalu berguling telentang dan menatap langit kamar. Nunu mengangkat tangan kanannya seakan menggapai atap kamar tersebut, dia lalu menyunggingkan senyumnya dan perlahan menurunkan tangannya. "Maaf ya Bia, gua nggak jujur sama lo, kalau gua kemaren baca chat dari Satria. Gua nggak mau lo sedih dan keluarin air mata lo lagi. Kita liat aja nanti, saat itu laki-laki datang ke sini, gua akan langsung hajar dia. Seandainya lo lihat yang apa kemaren pacar kesayangan lo itu kirim ke lo, manusia apa bukan dia yang tega kirim picture dia sama cewe lain ke lo, heh. Gua yakin dia pasti sengaja buat bikin lo sakit hati dan nanti lo mohon-mohon sama dia.” ucap Nunu penuh dengan aura kemarahannya. Nunu tidak bisa manahan saat kemarin menatap notifikasi chat di handphone Bia, dimana Satria yang mengirimkan chat picture dia sama cewe lain ke Bia. Rasanya Nunu ingin sekali membangunkan Bia dan berkata lantang bahwa Satria itu b******k, pintarnya hanya bersilat lidah, bermodal janji, berasuransi cinta, tapi pengecut dan tidak cerdas dalam mendewasakan pikirannya. Tidak memikirkan perasaan Bia kalau melihat foto itu, dan Satria hanya anggap itu sebuah hiburan semata. Hanya Nunu tidak inginkan hal itu, Nunu tidak mau Bia sedih dan membuang air matanya sia-sia untuk pria seperti Satria. Makanya Nunu menghapus foto itu dan mencoba diam, menunggu sampai saat yang tepat Bia tahu bahwa Satria tidaklah baik untuknya. Saat Nunu sedang asik dengan pikirannya tiba-tiba pintu kamar di ketuk. Nunu menolehkan kepalanya pada pintu kamarnya yang diketuk dari luar, ia lalu beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu kamar. "Eh, Riska?” ujar Nunu yang ternyata mengetuk pintu adalah Riska, Nunu mengernyit melihat Riska yang celingak-celinguk seperti mengawasi sesuatu. "Ada apa dek?” tanya Nunu yang penasaran. "Hehe, nih kak Nunu..” Nunu menerima sesuatu dari tangan Riska, bentuknya seperti buku, tetapi agak besar dan ada tulisan Diary Album di cover depan buku tersebut. "Ini apaan?” "Diam kak. Ini album fotonya kak Bia, hehe. Kak Nunu wajib harus liat, dari foto kak Bia bayi sampai dia SMA semua ada di album itu kak.” ucap Riska sambil terkekeh. "Yang bener, wah makasih nih haha.” "Okay. Sama-sama kak Nunu. Tapi diam-diam ya kak, jangan sampai kak Bia tahu, nanti dia ngamuk, bahaya kita.” Nunu tertawa dan menganggukkan kepalanya, lantas mengangkat jari jempol tangannya. "Yaudah kak, aku mau ke kamar dulu ya. Nanti kalau udah selesai liat-liat foto kak Bia, albumnya kasih ke aku lagi.” "Oke, siap dek. Makasih yah.” "Sama-sama. Dah kak Nunu..” lambai Riska pada Nunu sembari berjalan menuju kamarnya. "Dahh adek ipar.” lambai Nunu juga dengan tawanya. Nunu kemudian segera kembali masuk ke dalam kamarnya dan tidak lupa menguncinya. Nunu duduk diatas ranjangnya, dengan cepat langsung membuka bagian depan album foto tersebut, di bagian awal Nunu langsung terkekeh begitu melihat wajah seorang anak yang berusia tiga tahun yang tertera di bawah foto tersebut, usia dan namanya. Anak itu menangis sambil memeluk boneka Lala salah satu pemeran Teletubbies yang berbadan hijau. "Hitam manis.” gumam Nunu mengusap foto anak itu. Kemudian Nunu membuka lembar kedua, disana ada foto Bia saat masih bayi berusia 10 bulan yang digendong entah oleh siapa karena cuman tangannya yang terlihat, latarnya seperti di luar rumah, dan bayi itu tengah tersenyum sambil melihat ke arah kamera. "Manis banget senyumnya.” ucap Nunu ikut mengembangkan senyumnya. Tak hanya sampai disitu, Nunu kemudian membuka lagi lembaran ketiga. Dan ia sesaat tertawa melihat foto Bia yang penuh dengan bermacam-macam ekspresi, ada yang marah, kesal, sedih, tertawa, bahkan wajah konyol juga ada. "Nunu, ayok makan.” Nunu terkejut dan langsung menduduki album tersebut. Nunu melihat Bia dengan meringis. "Kenapa ini Bia bisa masuk. Padahal tadi gua kunci pintunya. Apa gua lupa ya." Nunu menggaruk kepalanya bingung sambil menatap Bia yang berdiri di pintu kamar. "Ngapain kamu?” curiga Bia dengan menatap penuh curiga pada Nunu. "Gua? Nggak ada kok. Lo kalau buka pintu ketuk dulu kek. Kaget tau gua, untung aja gua sehat jasmani dan rohani, dan nggak ada riwayat penyakit semacam jantung atau stroke. Kalau ada, kan bisa gawat.” ujar Nunu membuat dirinya biasa-biasa saja, padahal jantungnya tengah berdentum cepat. "Alasan kamu. Kamu ngapain itu, jangan menyembunyikan sesuatu dari aku?” Bia berjalan masuk ke dalam kamar Nunu. Nunu mengigit bibirnya kuat. Dia akan benar-benar mendapat amukan dari Bia kalau sampai perempuan itu tahu apa yang sedang ia lihat. "Bia..!” seru Nunu yang langsung berdiri dan memeluk Bia. Bia tersentak, menganga dan menatap Nunu tajam. Lama kedua mata mereka saling menatap. Nunu dengan perasaan berharap bahwa Bia marah dan langsung keluar dari kamarnya, dan Bia yang penuh rasa jengkel dan kesal menatap Nunu. "Aduh..!” Nunu melepaskan pelukannya dan meringis memegangi bahunya, yang baru saja digigit oleh Bia. "Sekali lagi kamu peluk aku kayak gitu, nggak cuman bahu kamu yang aku gigit. Tapi juga burung kamu itu, bakal aku setrika biar kempes sekalian.” ucap Bia dengan marah dan berlalu keluar dari kamar Nunu dengan menghentakkan kakinya. Nunu, laki-laki itu masih memegang bahunya yang panas, dan meringis ngeri mendengar ucapan Bia. Nunu menggelengkan kepalanya kuat saat pikiran-pikiran aneh mulai merasukinya. Ia pun lalu duduk di tepi ranjang, dan tersenyum berhasil mengenyahkan rasa penasaran Bia dan lebih lama ia bisa melihat wajah Bia lewat jepretan kamera, perempuan yang mampu menyeret hatinya sampai ke negeri dongeng, penuh imajinasi dan fantasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD