Part 10 Titip Rasa

1457 Words
Langkah kakinya berjalan perlahan melewati sebuah pintu, tidak terdengar apapun dari dalam kamar tersebut. Dengan ragu dia bergerak hendak mengangkat tangannya, namun dia turunkan lagi sembari mengigit bibir bawahnya dengan kuat. Dia kemudian memejamkan matanya, lalu menghembuskan nafasnya perlahan, kemudian dia angkat tangannya lagi dan dengan pelan-pelan mengetuk pintu yang berada di depannya tersebut. "Nunu, ini aku Bia.” ucapnya dan kembali mengetuk pintu itu lagi. "Nunu..” Pintu kamar pun terbuka dan memperlihatkan wajah laki-laki dengan matanya yang menatap Bia dengan diam. Bia juga menatap wajah Nunu yang menurutnya sangat tidak terlihat baik-baik saja, matanya sayup dan muka bantalnya yang menatap Bia lesu. "Ada apa?” tanya Nunu mengangkat senyumnya. Hati Bia seketika tersentak saat melihat senyuman itu, seperti ada yang mencubit hatinya, apakah selama ini Bia terlalu kasar pada Nunu. "Bia?” seru Nunu saat melihat Bia yang terdiam dan memfokuskan pikirannya. Tidak lama Bia kembali fokus menatap Nunu dan hendak mulai berbicara. "Aku.” "Gua.” Ucap Nunu dan Bia yang secara bersamaan, Bia tersenyum menggaruk dahinya, Nunu terkekeh memalingkan wajahnya. Benar-benar situasi yang canggung. Nunu lalu kembali menatap Bia dan menganggukkan kepalanya, menyuruh agar perempuan itu berbicara duluan. Bia menggelengkan kepalanya, membuat Nunu mengernyit, Bia memalingkan wajahnya, lalu menundukkan kepalanya. "Mau ngomong apa, Bia?” tanya Nunu bingung. "Nggak ada kok Nunu. Aku cuman rindu.” Bia mengigit bibirnya, kepalanya masih menunduk. "Ohhh, iya, gua juga, dari kemarin." "Maksudnya?” Nunu tersenyum lalu dengan pelan meletakan telapak tangannya pada kepala Bia, Bia mendongak mengernyitkan keningnya. "Gua juga rindu. Maafin gua ya. Gua sayang sama lo, tapi gua sadar mungkin rasa sayang gua sama lo gak sebesar rasa sayang Satria ke lo.” ucap Nunu yang membuat Bia tersenyum, perempuan itu lantas menganggukkan kepalanya. "Maafin aku juga Nunu. Aku nggak ada maksud ngomong gitu sama kamu.” "Nggak apa-apa Bia. Hehe.” "Terus tiga hari di kamar kamu ngapain aja? kamu makan nggak?” tanya Bia yang tersirat nada khawatirnya. Nunu mengangguk. "Ya kali gua nggak makan Bia, gua makan kok, kalau lo udah masuk kamar, gua keluar buat makan, kadang gua duduk di belakang sambil ngetik kerjain skripsi gua.” "Ya ampun, kamu kayak anak kecil deh.” "Anak kecil gimana?” "Kenapa kamu keluar kamar, pas aku udah di kamar? Takut ketemu aku.” Nunu menggeleng. Laki-laki itu melangkah, diikuti oleh Bia disampingnya, mereka lalu duduk di sofa ruang tengah. "Gua lagi mencoba menyembuhkan hati gua, Bia.” ucap Nunu menatap Bia. "Kalau gua lihat lo, hati gua yang patah susah kembali utuh. Dan.. gua juga coba secara ikhlas menghapus perasaan gua sama lo.” sambung Nunu masih lekat menatap Bia. Bia mengedipkan matanya, perempuan itu lantas mengulas senyumnya yang manis. Bia melihat Nunu dengan serius, wajah laki-laki itu masih memancarkan harapan yang besar, Bia bisa melihat itu semua dengan sangat jelas, dan sekali lagi membuat hati kecilnya tersentuh. "Terus, apa kabar hati kamu?” "Alhamdulillah. Walau belum sepenuhnya sembuh, tapi udah baik-baik aja. Jangan khawatir, gua diciptakan dengan 1000 kesabaran kok, jadi lo uji gua terus, sampai kesabaran gua tinggal 3, dan gua nggak akan ganggu lo lagi.” "Banyak banget stok kesabaran kamu.” kekeh Bia dan diikuti Nunu juga dengan tertawa kecil. "Seberapa besar rindu lo sama gua, selama dua hari kita nggak ketemu?” ujar Bia penasaran. Bia menghadap Nunu, mengangkat alisnya. Nunu memajukan bibirnya, menyentuh dagunya, berpikir. "Hum, seberapa ya? Sebenarnya gua nggak mau kasih tau, gimana.” "Kenapa, tinggal bilang aja susah banget sih. Nggak usah ribet deh pakai rahasia segala.” "Lo yakin mau tau nih? gua kasih kesempatan nih, entar nyesel lo.” "Yakin, wahai bapak Nunu..” Nunu tertawa lalu melihat ke arah luar rumah, Bia melihat Nunu dan kemudian melihat ke arah yang sama. "Liat deh. Luasnya rumah lo ini, masih kecil dibandingkan rasa rindu gua buat lo.” senyum Nunu melebar, Bia berdecak dan hendak membuka mulutnya namun Nunu segera mengucapkan hal yang langsung membuat Bia bungkam. "Intinya dari rindu ini. Rasa rindu gua nggak bisa lo lihat, gua bahkan nggak bisa lihat saking besarnya dan berpengaruh sama hidup gua. Gua tersiksa karena menahan rindu, gua terdiam membujuk rasa rindu dimana gua pengen ketemu sama lo, liat lo, gua berantem sama hati gua, dan hati gua bersekongkol sama rindu gua. Dan mereka kompak cuekin gua.” ”Lalu?” "Iya. Kalau hati dan rindu ini cuekin gua. Gua nggak akan punya lagi apa itu rasa.” "Gawat dong,” "Iya gawat. Makanya.” "Makanya apa?” "Jangan jauh dari gua, karena hati sama rindu gua udah jadi milik lo..” Bia merapikan ujung jilbabnya yang tidak sengaja terbawa angin entah darimana, Bia tersenyum, lalu memandang Nunu. "Sulit ya. Aku sampai nggak bisa bicara, aku nggak tau lagi gimana cara jelasin sama kamu.” "Ada kok cara yang gampang, mudah dan praktis, anti pecah.” Bia mengernyit melihat Nunu lalu ia terkekeh kecil. "Bagaimana caranya?” tanya Bia "Coba satu hari kita pacaran, satu hari lo jadi milik gua dan gua jadi milik lo.” "Maksud kamu?” Bia menatap Nunu dengan dalam. Nunu tersenyum menganggukkan kepalanya. "Satu hari kita pacaran.” "Haha. Gila kamu Nunu, aku selingkuh dong artinya dari Satria. Mana bisa aku selingkuh sama kamu, haha.” Nunu menatap Bia cemberut. "Lagian cuman satu hari, lo nggak berani coba sih. Lo takut ya, nanti kalau Satria tahu dan dia marah.” "Siapa bilang aku takut?” "Gua yang barusan bilang, masa bapak lo, nggak mungkin kan orang disini kita cuman berdua.” "Berdua?” "Iya, kita berdua.." Bia melebarkan bola matanya pada Nunu saat Nunu yang hendak memeluknya. "Mau ngapain kamu Nunu?” "Bia, santai dong. Refleks tadi, lo suka banget menyiksa gua ya, udah batin gua tersiksa, fisik gua juga mau lo siksa. Doble gua ini dapetnya.” Bia tertawa kecil lalu menghela nafasnya. "Makanya jangan macam-macam sama aku.” "Satu macam aja kan.” Nunu memajukan wajahnya, Bia melotot langsung mengangkat tangannya. "Eits.. Gua cuman mau ngomong, cantik. Bukan mau macam-macam.” ujar Nunu sambil memegang lengan Bia, Nunu tersenyum lalu menurunkan tangan Bia, menatapnya dan mengusapnya lembut. "Tangan ini.. jangan keseringan dipakai buat pukul gua, usahakan buat usap muka gua dan pegang tangan gua, dan menyambut tangan gua.” "Nggak mau.” "Iya-iya. Apapun yang lo katakan, terserah, tapi gua nggak mau menyerah.” "Nunu.” "Iya. Gua nggak mau menyerah, jalan hidup gua masih panjang, sampai garis akhir nanti baru gua bakal angkat tangan, dan benar-benar menghilangkan semua rasa gua buat lo.” ucap Nunu, ia kemudian tersenyum. "Kamu serius?” "Iya gua serius.” "Janji.” Nunu tersenyum tipis, melepaskan tangan Bia. Netra matanya perlahan menatap kepada netra perempuan yang duduk berhadapan dengannya itu, kedua mata Nunu rasanya memanas ketika lama menatap mata Bia. Ada satu harapan yang sangat Nunu harapkan terwujud, namun lagi-lagi harapan itu hanya membuat langkah tanpa meninggalkan jejak, hingga Nunu tersesat di dalam perasaannya sendiri. "Iya, gua janji.” Nunu dengan cepat mengangkat kepalanya, dan memegang dahinya agar menutupi matanya, yang sudah berair dan bahkan berhasil meloloskan satu tetesan dari sudutnya itu. Dan untunglah Bia tidak sempat melihat air matanya itu. "Nunu, kamu kenapa?” "Hah, nggak, gua nggak apa-apa. Tadi ada cicak diatas terus gua takut aja dia bab terus bab nya jatuh ke gua.” Bia terkekeh mendengar jawaban Nunu, Bia menganggukkan kepalanya dan melihat sekeliling rumahnya yang sungguh nampak sunyi. "Sepi banget, pada kemana ya bapak, mamak, sama adek-adek aku?” Nunu mengangkat bahunya, ikut melihat sekeliling. "Nunu.” "Iya.” "Nyanyi dong, aku lama nggak denger suara kamu.” "Haha, kangen ya lo.” "Astaga, udah buruan nyanyi, lagu apa aja aku dengerin." "Oke kalau lo maksa." Nunu pun mulai bernyanyi, membawakan lagu yang khusus untuk Bia ia nyanyikan. Nunu tersenyum ketika mengakhiri lagunya, dia menoleh ke samping, dan menatap lama kedua mata yang tertutup itu, ingin rasanya Nunu mengusap wajah itu, dan merasakan halusnya saat kedua mata itu juga terbuka dan menatapnya. Tetapi itu lagi-lagi hanya angannya, menggenggam tangannya saja Nunu harus butuh perjuangan, secara modus dan mencari kesempatan. Nunu mengambil ujung jilbab Bia yang perempuan itu lilitkan bahunya, dan menutupi bagian atas d**a Bia dengan jilbab tersebut. "Gua sayang sama lo, Bia. Titip gua dalam tidur lo, dan biarkan gua menjadi pembangun tidur lo. Gua sayang sama lo. Dan semoga lo juga sayang sama gua.” Nunu kemudian mengambil bantal sofa dan meletakkannya di bawah kepala Bia, agar perempuan itu nyaman dalam tidurnya. Dia lalu berjalan ke kamar untuk mengambil laptopnya, dan kembali ke ruang tengah dimana Bia tertidur di sana. Nunu memangku laptopnya, dan memfokuskan diri untuk mengetik skripsinya yang sudah 80% dia kerjakan selama hampir sebulan dia berada di desa tempat Bia berada, perempuan nyata yang hanya sebatas sahabat untuk Nunu, dan perempuan yang ia harapkan adalah kekasihnya yang hanya sebatas imajinasinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD