Part 11 Intuisi Khayalan

1334 Words
Seorang perempuan tersenyum setelah selesai memoleskan bedak terakhir pada wajahnya, tangannya terulur meraih lipstik dan memakaikannya pada bibirnya, perempuan itu terlihat sangat puas dengan hasil make up yang ia kenakan hari ini. Sebenarnya tidak perlu ia sampai sejauh ini berdandan, cukup bedak sedikit pun sudah membuatnya sangat cantik, apalagi sampai memoleskan begitu banyak sesuatu di wajahnya. Dia tertawa kecil dan memikirkan mungkin di sepanjang dia berjalan nanti ia tidak akan pernah lepas dari para siulan para aki-laki muda di desa. Bia berdiri dari duduknya dan mengambil tasnya, memasukkan handphone, pena, dan satu buku kecil yang selalu dia bawa kemana-mana. Bia berjalan menuju ke depan rumah, dia tersenyum saat menatap Nunu yang tengah berjalan-jalan santai disekitar rumah. "Bia.” panggil Nunu saat tersadar akan kehadiran Bia dan langsung menghampirinya. Nunu mengernyit melihat penampilan Bia. "Lo, mau kemana? Kok rapi banget, kondangan ya? gua mau ikut.” tanya Nunu dengan keingintahuan nya. Bia menggeleng, tangannya menepuk-nepuk bahu Nunu, membersihkan sesuatu yang kotor menempel disana. "Kamu habis dari mana sih, baju kamu kotor banget. Mana nggak pakai sendal lagi.” ucap Bia sambil menepuk bahu Nunu. Nunu tertawa mengangkat bahunya. "Terapi Bia. Nggak dari mana-mana gua. Dari tadi di hati lo aja.” "Hum. Aku mau ke masjid, mau ngajar anak-anak ngaji.” "Ohhh. Tapi, kok lo dandan. Biasanya nggak dandan, ini apalagi?” Bia melebarkan matanya saat Nunu yang mengusap bibirnya dengan jari laki-laki itu. "Udah. Nggak perlu pakai lipstik segala, nggak suka gua. Lo natural alami aja gua udah punya satu saingan apalagi lo sampai dandan, banyak pasti saingan gua nanti.” kata Nunu menatap Bia yang terlihat kesal padanya. "Kenapa muka lo, Bia. Lo marah gua hapus lipstik lo?” Bia menghembuskan napasnya mencoba bersabar, resiko punya fans yang posesif emang gini. Terkadang Bia berpikir mereka ini seperti orang yang pacaran, bahkan kalau berdua sudah seperti pasangan suami istri. Bia menggelengkan kepalanya kuat, pikirannya sedang tidak sehat. "Kenapa lo geleng-geleng?” "Nggak apa-apa, Nunu. Kesel aku sama kamu, capek tau aku dandan kamu main hapus aja.” "Gua nggak suka Bia. Jangan dandan kalau lo mau keluar rumah, lo dandan buat gua aja. Gua nggak mau bagi-bagi, gua orangnya pelit.” "Apaan sih Nunu. Udahlah aku mau jalan dulu, kasian anak-anak sudah nungguin.” "Iya. Ingetin jangan pakai lipstik lagi, atau nanti lipstik lo bakal gua bakar.” ucap Nunu yang dibalas Bia dengan gelengan kepalanya. "Jelek tahu kalau nggak pakai lipstik." "Sama aja. Nggak ada yang jelek, gua nggak suka.” "Aneh memang kamu. Udahlah lama-lama ngomong sama kamu, bisa besok aku ngajarnya. Aku jalan dulu.” Bia mengambil sendalnya dan lalu memakainya, Bia yang hendak melangkah tiba-tiba mengernyit saat sebuah tangan menghalangi wajahnya. "Apa?” tanyanya sambil melihat Nunu dengan cemberut. "Salim belum, kan.” "Hah? Aku, cium tangan kamu gitu?” Nunu tersenyum menganggukkan kepalanya. Bia memejamkan matanya kemudian dia menatap tangan Nunu. Suara nyaring terdengar dari tangan Bia yang memukul tangan Nunu. "Bia, kok dipukul?” "Menghayal kamu, malas banget aku cium tangan kamu, nggak higienis, banyak bakterinya.” "Ya ampun Bia. Segitunya, cium nggak, kalau nggak pilih cium tangan gua atau gua cium sendiri nih tangan gua.” Bia tertawa kecil. "Cium aja sana tangan kamu sendiri. Aku sih nggak mau. Awas, aku mau jalan nih udah telah 2 menit.” ujar Bia sembari menyingkirkan tangan Nunu. Nunu cemberut melihat kepergian Bia, dengan lesu dia menatap tangannya, yang gagal mendapatkan kecupan hangat dari bibir Bia. Nunu menatap punggung belakang Bia dan tersenyum tipis. "Bia..” panggil Nunu. "Apalagi Nunu?” "Gua mau ikut, tunggu bentar.” dengan terburu-buru Nunu memasang sandalnya dan menyusul Bia. Bia tersenyum dan lalu mereka mulai berjalan bersama. Di sepanjang jalan Nunu tidak pernah berhenti mengoceh, apapun yang dia lihat akan dia ceritakan kepada Bia, padahal perempuan itu pun juga melihat apa yang Nunu lihat. Bia terkekeh melihat Nunu yang terkejut dan berteriak saat tiba-tiba ada beberapa ayam yang terbang langsung di hadapan mereka. "Haha, Nunu. Ayam nya mau gigit kamu itu, haha.” tawa Bia sambil memegangi perutnya. "Ngeri banget tuh ayam, udah kayak memergoki suami dia yang selingkuh.” ucap Nunu mengusap dadanya, begitu ayam-ayam itu berlalu pergi. Nunu memutar wajahnya pada Bia yang masih menertawakannya. Nunu tersenyum, menemukan ide dari otak kecilnya. "Aaaaa Nunu. Apaan sih kamu..!” Nunu tertawa kencang berhasil mengurung kepala Bia dengan ketiaknya. "Nunu, lepasin nggak. Bau tau, ketiak kamu.” teriak Bia melebarkan matanya. "Hukuman, karena lo ketawa-ketawa gitu ke gua. Gua nggak terima diketawain.” "Nunu, lepasin, nggak enak tau diliatin orang. Lepasin atau aku..” Nunu terkekeh dan lalu melepaskan kepala Bia dengan pelan. Nunu tertawa keras dan berlari menghindari pukulan Bia. Bia tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. "Haha. Ayo Bia kejar gua dong.” "Nggak. Jangan kayak anak kecil deh Nunu.” ucap Bia seraya terus berjalan. "Nggak asik lo, Bia.” Bia menghiraukan ucapan Nunu, dan mereka lalu kembali berjalan, hingga sampai di depan sebuah rumah yang di sekitarnya ada anak-anak, dan terlihat di atas rumah itu terpasang spanduk TPA atau sering disebut Tempat Pengajian Al-Qur’an. Nunu menatap Bia yang tengah bersapa ria dengan anak-anak tersebut, lalu perempuan itu menoleh kepadanya. "Adek-adek, ucap salam dulu sama Kak Nunu.” ucap Bia. Dan langsung saja anak-anak itu berkumpul tersenyum pada Nunu. "Assalamu’alaikum, Kak Nunu.” ucap mereka serempak sampai membuat Nunu tersentuh dengan kekompakan anak-anak tersebut. Nunu tersenyum lebar mengusap salah satu kepala anak-anak yang ada di depannya. "Wa’alaikumsalam, adek-adek.” jawab Nunu tersenyum lebar. Anak-anak itu kemudian kembali ke dalam rumah tersebut. Nunu memandang Bia yang ternyata juga lagi memandangnya. "Hum, Nunu. Kalau kamu mau pulang, pulang aja. Sepertinya aku akan lama.” kata Bia. "Kayaknya, gua nungguin lo aja.” "Kenapa? Nggak apa-apa kali kalau kamu mau pulang.” Nunu menggeleng, memalingkan wajahnya. "Yaudah, terserah kamu. Aku masuk dulu, kamu mau nunggu dimana?” tanya Bia yang lalu melihat sekelilingnya. "Di sini aja Bia. Kalau jauh-jauh nanti lo cariin gua.” "Dih, menghayal terus kamu." Nunu tertawa, menatap Bia yang berjalan memasuki rumah itu. Belum sepenuhnya masuk, Bia membalikkan badannya. Nunu dengan senyumnya mengangkat alis. "Nunu..” panggil Bia, sambil menatap dalam ke arah Nunu. "Iya Bia. Ada yang ketinggalan?” "Ada.” ucap Bia dengan menatap Nunu lurus. "Apaan? Hati gua yang ketinggalan." "Jangan menghayal, Nun. Itu sandal kamu, tolong dilepaskan, lantainya abis di pel, nanti kotor.” Nunu menepuk dahinya, dan terkekeh menatap kepergian Bia bersama tawa perempuan itu. Nunu melihat ke bawah kakinya, benar saja sandalnya telah mengotori lantai. Nunu lalu mencari alat pel, Nunu tersenyum saat melihat pel yang menggantung di paku dekat pintu, dengan pelan Nunu mengambilnya dan mulai mengepel lantai. Setengah jam kemudian, Bia keluar dari dalam rumah, dia berniat untuk memanggil Nunu untuk membantunya membereskan meja-meja mengaji anak-anak karena yang sering membereskan sudah pulang ke rumahnya. Bia menghembuskan napasnya, lalu tersenyum tipis ketika melihat Nunu yang tengah tertidur selonjoran di lantai. Bia berjongkok menatap wajah laki-laki yang berada di depannya itu. Bia menatap tangan Nunu yang terbuka, wajah Nunu yang terlihat damai dalam tidurnya, dengan perlahan tangan Bia mengusap pelan dahi Nunu, hanya sebentar, karena dengan cepat Bia menjauhkan tangannya dan memejamkan matanya. Bia lalu menghembuskan napasnya, dan mulai membangunkan Nunu perlahan. "Nunu. Bangun..” "Nunu..!” seru Bia sedikit meninggikan suaranya. Terlihat Nunu berdecak sambil menggaruk lehernya, Nunu dengan pelan membuka matanya, belum sepenuhnya terbuka, laki-laki itu kemudian tersenyum lebar dan memegang wajah Bia. Bia terkejut hendak menyingkirkan tangan Nunu, tetapi tangan Bia terhenti saat Nunu yang berbicara. "Katakan Bia. Yang sebenarnya isi hati lo, jangan mau tidak mau seperti ini. Lo.. cuman permainkan perasaan gua. Gua tahu, lo nggak ada sedikitpun niat kan. Tapi Bia, kenapa lo nggak mau coba serius sama gua. Andaikan gua bisa baca pikiran lo, seperti kemampuan Liana di n****+ Alpha Owners. Nggak bakal ada hati sama cinta ini buat lo, seandainya lu perlakukan gua dingin atau cuek. Kalau lo kayak gini terus, gua nggak bisa Bia, gua nggak bisa lepaskan perasaan gua. Rasa cinta gua buat lo, nggak sebanding sama rasa cinta lo ke Satria. Gitu Bia..”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD