Setelah menusukku dengan sindiran, Leo berlalu masuk ke ruang kerjanya. Meninggalkanku terdiam dan membeku.
Ia membiarkan pintu terbuka, membuatku dapat melihat sosoknya yang tampak begitu dingin duduk di meja kebesarannya.
"Silahkan masuk." Ujarnya, tanpa melihatku.
Aku diam beberapa saat, menarik napas panjang untuk diriku. Menghilangkan perasaan sesak di dalam dadaku.
Tiga detik yang lalu aku baru saja menggungkapkan sesuatu yang belum pernah kuutarakan kepada siapapun dan Leo menunjukkan dengan jelas bahwa dia tidak terlalu memperdulikan hal itu.
Dia sibuk membalikkan lembaran-lembaran dokumen di mejanya saat aku masuk. Aku mendudukkan diriku di kursi di seberangnya.
"Waktumu sudah tidak banyak, Delilah. Aku harus segera memastikan kau hamil dengan bayiku, jika kau berniat melanjutkan kesepakatan ini," Leo mengatakan itu dengan nada datar, tanpa melihatku.
Aku tidak tahu mana yang lebih buruk saat ini. Melanjutkan kesepakatan ini bersamanya sebagai dua orang asing atau membatalkannya dan tidak pernah melihat Leo lagi.
Yang aku tahu, aku tidak ingin ini berakhir dulu. Apapun itu antara aku dan Leo, aku tidak ingin berakhir secepat ini.
"Baik." Gumamku, memandangi wajahnya. Berharap pria ini akan berpaling dari dokumennya, dan melihatku sebentar.
Aku tidak pernah berharap dia akan menjadikanku ratu sungguhan di istananya, tapi bersama Leo aku lupa betapa kejam dunia telah memperlakukanku.
"Aku ingin kau mengosongkan jadwalmu untuk besok jam 9 pagi, apa kau bisa?"
Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya, not even a tiny little smile. Ia nyaris tidak melihatku, hanya satu lirikan kecil dan dia kembali menatap tumpukan dokumen di depannya.
"Baik." Gumamku, setelah menghela satu napas yang panjang.
Aku menunduk, menertawakan kenaifanku karena berusaha sangat keras untuk mencoba mencuri perhatiannya di saat dia bahkan enggan untuk melihatku saat ini.
"Kau tidak apa-apa?"
Aku ingin dia terus berbicara padaku, tapi tidak seperti ini. Tidak untuk membahas kesepakatan sialan ini.
"Baik."
Apa terlalu konyol bagiku untuk berharap dia akan kembali berteman denganku setelah apa yang kukatakan padanya di mobil malam ini?
"Delilah?"
Ya, harapan yang konyol.
"Baik."
"Delilah!"
"Y-ya?"
Aku terhentak dari lamunanku mendengar teriakannya. Leo menatapku dengan tajam saat aku menoleh padanya.
"What the f**k is wrong with you? Apa kau bahkan mendengarkanku? Aku sedang membahas kesepakatan yang sepertinya terus kau undur. Apa kau yakin masih ingin melanjukan semua ini, Delilah?"
Leo melotot dengan wajah yang merah padam. Tangannya menggepal kuat di atas meja. Tepat di sebelah gelas kecil berisi alkohol yang ia ambil di dapur beberapa waktu lalu.
"Aku tidak membayarmu untuk tidur dengan personal asistenmu, Delilah. Kau di sini untuk menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku jika kau lupa."
Leo marah dan mabuk. Dalam situasi ini aku ingin sekali berteriak padanya. Tapi jika kami saling meluapkan amarah, hubunganku dan Leo hanya akan menjadi semakin buruk.
Tapi, diam saja takkan menyelesaikan masalah. Meskipun aku sudah sangat terpukul dengan sikap arogannya beberapa saat lalu di depan pintu, aku tetap tidak ingin itu menghancurkan hal baik yang tersisa antaraku dan Leo.
Aku bangkit dari dudukku, perlahan mendekat ke kursinya. Jantungku berdebar kuat mengetahui matanya mengikuti pergerakkanku, dengan tatapan tajam.
"Apa kau tidak punya mulut? Aku sedang bicara padamu, Delilah." Ketusnya, seakan mencoba menakut-nakutiku.
Tapi dia salah jika mengira aku takut padanya.
Aku berhenti tepat di hadapannya. Dia hanya diam, napasnya menggebu dengan berat.
Aku memberanikan diri menjatuhkan bokokngku ke atas pahanya. Tanganku gemetar, meremas bahunya untuk pegangan.
Tubuh Leo menegang karena terkejut. Ia melotot padaku, tapi tidak menolak. Kedua tangannya mencengkram pinggangku, menahan tubuhku agar tidak jatuh.
"Apa?" Katanya, suaranya serak seperti menahan emosi. "Apa yang kau inginkan dariku, Delilah?"
"Kau bau alkohol, Gavinsky. Kau mau berendam di air panas?" Aku tidak melihat wajahnya saat mengatakan itu.
Aku hanya menunduk, melepaskan kancing kemejanya satu persatu. Takut jika aku melihat matanya akan membuatku berubah pikiran.
Ia menahan tanganku, mencengkramnya dengan kuat.
"Aku sedang marah padamu, Delilah." Desisnya, penuh penekanan. "Apa kau pikir aku ingin berendam air panas bersamamu sekarang?"
Aku mencoba melepaskan tanganku dari cengramannya, tapi Leo semakin mencengkramku.
"A-aku tidak takut padamu, Leo" Ringisku, berusaha menahan rasa sakit pada pergelangan tanganku.
"Kalau begitu lawan aku, marah padaku, damn it!"
Teriakan Leo memenuhi ruangan. Ia berteriak tepat di depan wajahku dengan mata melotot marah.
Seperti ada pisau yang menusuk. Jantungku berdebar kuat hingga dadaku terasa sakit dan sesak. Aku bisa merasakan air mataku mendesak ingin keluar, tapi kutahan.
Aku menggeleng, berusaha meyakinkannya kalau aku tidak takut padanya.
"Aku tidak ingin membahas ini saat kau sedang mabuk, Leo!" Aku berusaha mengatur suaraku agar tidak bergetar, tapi air mataku jatuh satu tetes.
Dan begitu saja, Leo membeku. Cengkramannya pada tanganku terlepas bersamaan dengan tatapan tajamnya yang perlahan berubah.
Aku menghapus air mata itu dengan cepat dan bangkit dari pangkuannya. Hal terakhir yang aku inginkan adalah dia merasa kasihan padaku hanya karena satu air mata.
"Aku tidak menangis karena takut padamu, tadi itu reflek karena kau tiba-tiba berteriak." Kataku, tanpa melihat wajahnya. Aku berusaha keras agar tidak kembali menangis.
Dia diam, memandangiku. Ekspresinya tampak jelas mengatakan kalau dia merasa bersalah. Dan aku tidak ingin itu.
"Apa? Kenapa hanya diam? Ayo marah lagi, aku ingin mendengarnya."
Leo mendorong kursinya sedikit ke depan mendekat padaku. Ia menggamit kedua tanganku, mengelus pergelangan tanganku dengan ibu jarinya.
"Sakit, ya?" Bisiknya serak dengan senyum kecut.
Matanya hitam itu berbinar padaku, dan melihatnya membuatku ingin kembali menangis. Jadi aku membuang muka, tidak ingin tenggelam karena mata indahnya.
"Kau gila, itu tadi hanya-"
"Delilaaah!" Geramnya, dan mulai kembali mencengram tanganku.
"Aw-aw, Leo sakit!" Jeritku, memberinya pelototan maut.
Aku berusaha menatapnya setajam mungkin tapi dia justru tertawa. Tawa itu pelan dan singkat, seperti keluar begitu saja.
Leo menarik satu napas panjang, dan membuangnya perlahan. Lalu kepalanya jatuh, mendarat di perutku. Leo menyandarkan kepalanya di perutku dengan tangannya terus-terusan mengelus pergelangan tanganku.
"Sorry..." Bisiknya, pelan. "Banyak hal menganggu pikiranku hari ini. Aku tidak seharusnya melampiaskan amarahku padamu hanya karena melihatmu bersama Jayden tidur di ranjang bersama. Itu sama sekali bukan urusanku,"
Hatiku rasanya hangat sekali. Aku tidak bisa berhenti tersenyum tapi mataku rasanya perih. Aku ingin kembali menangis, tapi kali ini karena alasan yang lain.
"Dengan satu syarat."
Leo mengangkat kepalanya dari perutku. Ia membawa tanganku ke bibirnya, dan melayangkan satu kecupan singkat di pergelanganku yang sedikit memar.
"Apa saja." Bisiknya, tersenyum tipis.
"Can we be friends again?"