"Hugging a guy on your bed is what you call worried about me?"

1000 Words
Leo tidak berbicara padaku lagi sejak saat itu. Dua hari sudah berlalu, dan kami menjalani hidup masing-masing. Persis seperti dua orang asing yang tinggal satu atap. Leo bahkan tidak basa-basi untuk sekedar menyapaku saat kami berpapasan. Dia nyaris tidak tersenyum ketika kami berada di ruangan yang sama. Semua hal yang ia ingin sampaikan padaku, Jayden melakukannya. Leo lebih sering menghabiskan waktunya di ruang kerja. Dan jika dia tidak di sana, dia sedang tidak ada di rumah. Aku hampir tidak melihatnya seharian penuh jika kami tidak tanpa sengaja berpapasan di dapur. Hari sudah beranjang sore, aku sedang membuat omelet saat Leo masuk ke dapur. Ia tampak terkejut ketika melihatku, tapi cepat-cepat ia sembunyikan. Wajahnya terlihat lelah. Kantong matanya lebih hitam dari biasanya dan rambutnya tampak berantakan. Dua kancing teratas kemeja terlepas dengan dasi yang menggantung longgar. Lengan kemejanya tergulung hingga ke siku. Ia benar-benar berantakan. Leo berhenti di depan rak dapur dan mengeluarkan sebotol bourbon dari sana. Sesekali, mata hitamnya melirikku sekilas. Ia mengambil gelas kaca kecil dan memasukkan beberapa es ke dalam gelas itu. Lalu kemudian, bergegas keluar dari dapur. "Leo." Aku tidak bisa menahan diriku, untuk tidak memanggilnya. Ia berhenti, tapi tidak berbalik. Tubuhku gemetar, ingin sekali memeluk punggungnya. Ingin menyandarkan kepalaku padanya. Tuhan, aku kangen, kangen sekali. "K-kau mau omelet? Aku dan Jayden akan menonton film classic sambil nyemil. Kau boleh bergabung-" Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, tubuhnya menghilang dari balik lorong dapur. Leo pergi begitu saja, meninggalkanku mematung di dapur itu. Sesuatu di dalam dadaku berdebar nyeri. Aku tidak pernah tahu rasanya sakit hati, tapi saat itu dadaku rasanya sesak sekali. Jayden masuk ke dapur tak beberapa saat kemudian. Aku sedang bersandar di rak dapur dengan mata yang berair. Tapi cepat-cepat kuusap begitu melihatnya. Jaydenmengampiriku dan bersandar ke rak dapur tepat di sebelahku. Ia melingkarkan lengannya ke bahuku, membawaku masuk ke dalam rangkulannya. "Masih tidak ada kemajuan?" Bisiknya, di kepalaku. Aku menggeleng, "Aku tidak pernah ingin berakhir menjadi orang asing dengannya, Jayden. Aku hanya ingin dia kembali memperlakukanku seperti dulu." "He will." Bisiknya, mengelus bahuku. "Apa yang menurutmu harus kulakukan?" "Bersabar." Ia tersenyum, "Leo adalah cowok yang tempramental sejak dulu, bahkan saat kami masih kecil. Tapi tenang saja, dia akan kembali menjadi dirinya kalau emosinya sudah mereda. Beri dia sedikit waktu." "Tapi ini sudah 2 hari, Jayden. Dia sama sekali tidak berbicara padaku 2 hari." "So what? Jika dia tidak bicara padamu, kau jangan bicara padanya. Lagi pula kau hanya perlu hamil anaknya, kan? Lebih baik jika kalian tidak terlalu terlibat." Jayden mengatakan itu dengan santai, "Delilah temanku, berhenti memikirkannya. Lebih baik kita bersenang-senang. Aku sudah sangat lapaaar!" Aku hanya tersenyum kecil. Mengetahui dalam hatiku, aku tidak akan pernah bisa tidak peduli pada Leo. Aku dan Jayden berpiknik di atas kasurku. Kami menyajikan kripik, makanan manis, omelet buatanku dan tidak lupa beberapa kaleng bir untuk menemani menonton film classic. Film yang kami tonton adalah Pretty Women, tentu saja pilihan Jayden. Pria itu sengaja membuatku menonton kisah percintaan p*****r dan cowok kaya raya, untuk menertawakan kisah hidupku. Aku sedang tidur di atas lengan Jayden, saat seseorang mengetuk pintu kamarku. "Masuk." Aku terlalu fokus pada film sampai tidak terlalu menghiraukan seseorang dari pintu. "Delilah." Hingga suara berat itu membuat tubuhku membeku. Aku reflek bangkit duduk ketika melihat sosok Leo yang berdiri di kusen pintu. Ekspresinya sangat datar. "Hi, cousin. Wants to join?" Jayden di sebelahku melambai santai, tak bergerak sedikit pun dari posisinya. Aku cepat-cepat beranjang dari kasur dan menghampiri Leo. Dia hanya diam, seolah ajakan Jayden hanya angin lalu. Aku diam seseaat di hadapannya, untuk memandangi wajah itu. "Ada apa, Leo?" Aku tidak bisa menyembunyikan nada senang dalam suaraku. Leo berdehem, "Ada yang ingin kubicarakan." Aku diam, menunggunya. Dalam diam itu, aku mencuri-curi memandangi wajahnya lagi. Pipinya sedikit merah dan matanya tampak lebih sayu dari biasanya. Leo terlihat seperti orang mabuk. Ia berdehem lagi, "Di ruanganku." "Oh, okey. Baiklah. "Kataku terbata-bata, terlalu larut dalam lamunan. "Aku akan kesana dalam 5 menit, jika kau tidak keberatan." Leo tampak tidak puas dengan jawabaku. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di kusen pintu, tampak gelisah. Sesekali ia melirikku, lalu membuang muka. Baru kemudian, Leo pergi. "Kau sangat ahli membuat pria hilang akal, kau tahu itu?" Ujar Jayden begitu aku berbalik. Dia memadangiku takjub dan memberiku tepuk tangan. Aku terlalu fokus pada Leo hingga lupa kalau Jayden di dalam kamarku. Aku tidak terlalu menghiraukannya dan buru-buru berlarian masuk ke walk-in closet. "Aku yakin sepupuku sedang gila di ruangannya memikirkan kau berduaan bersamaku lebih lama lagi," Aku mengambil sebuah gaun rumahan berwarna peach. "Apa maksudmu? Aku hanya mengenakan piyama saat ini, dan aku tidak ingin Leo melihatku menggunakan piyama lebih lama lagi. Piyama sangat tidak seksi." Aku keluar dari walk-in closet setelah berganti pakaian. Sebelum berlalu dari kamarku, aku menaburkan sedikit bedak dan sedikit lip balm. Leo sedang bersandar di pintu saat aku tiba di depan ruang kerjanya. Aku berhenti di hadapannya. Mata Leo terpejam dan napasnya berhembus berat. Untuk sesaat, aku diam memandanginya. Entah keberanian dari mana, aku berjinjit, menyapukan ujung jariku ke alisnya yang tampak bertaut tegang. Sedetik kemudian, matanya terbuka. "H-hi." Cicitku, tersenyum canggung. Aku menarik kembali tanganku darinya. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, tapi hanya itu yang keluar. Ia masih bersandar, menatapku dari balik bulu matanya yang lebat. Dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya diam memandangiku, dengan napasnya yang berhembut berat. "K-kau sudah makan?" Aku bertanya itu tanpa berpikir. Seakan keluar begitu saja dari mulutku. Sudut bibirnya naik sedikit. Ia menggeleng. "Kenapa belum makan? Kenapa tidak bilang padaku atau salah satu pelayan di rumah ini untuk membuatkanmu makanan. Kau tampak berantakan Leo dan aku.." Aku tidak bisa melanjutkan ucapanku. Tenggorokkanku rasanya tercekat. "Kau apa?" Suaranya serak saat mengatakan itu. Aku menggigit bibirku, "Aku... khawatir padaku." Jantungku berdebar hebat setelah mengatakan itu. Aku tidak pernah mengatakan sesuatu seperti itu pada siapapun seumur hidupku. Tapi aku ingin mengatakannya pada Leo. "Khawatir?" Bisik Leo setelah beberapa saat, Ia tersenyum miring "Kau sebut berpelukan dengan pria di atas ranjangmu adalah rasa khawatir padaku?" "Leo, Jayden dan aku... kami hanya-" "Cut the bullshit, Delilah. Aku tidak bodoh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD