Gadis cantik berambut ikal sebahu itu mengajak Arka berbicara di ruang tengah. Hanya dirinyalah yang saat ini menjadi tempat bersandar Arka.
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Eunha.
"Biasa, bokap gue."
Arka tersenyum cuek. Bias wajah cerianya mulai tampak, beralibi bahwa semua rasa sakit itu tak ada apa-apanya. Tentu dia tak ingin menunjukkan kesedihannya pada sang mantan kekasih.
"Bokap gue ini langka banget, loh. Gue rasa kalau gue mati, mungkin dia bikin pesta tujuh harian."
Eunha segera meninju lengan Arka dengan gusar. "Apaan, sih?"
"Sakit, tau!"
"Lo tuh yang kenapa! Apa itu pantas dijadiin lelucon?"
Eunha terlihat kesal, tak peduli meski Arka terus mengusap kepalanya.
"Sensitif amat. Kenapa berubah jadi cewek feminin gini? Mau goda gue biar CLBK, ya?"
Eunha bangkit dari duduknya dan mengambil gitar di sudut lemari. Diserahkannya alat musik petik itu pada sang mantan kekasih. "Nyanyi! Sebagai permintaan maaf lo."
"Mantan yang luar biasa. Baiklah, yang penting lo maafin gue. Oke, gue nyanyi. Tapi gue nggak lagi ngerayu lo, ya!"
Arka memegang gitar dan menyesuaikan kuncinya. Sedikit menautkan alis, seperti mengingat-ingat.
"Lagu ini khusus buat lo, Eunha."
Arka senang dengan musik, termasuk gitar meskipun bukan alat musik favoritnya. Dia menyanyikan salah satu lagu dari DYGTA "Merindukanmu."
Suara dan petikan gitar yang harmonis dibungkus suara lembut Arka yang padu di telingnya. Eunha masih membisu meskipun Arka selesai bernyanyi.
"Gimana? Cuma seminggu lo ajarin gue main gitar, gua udah handal."
"Kord-nya ada yang salah, Ka."
"Udah lumayan itu."
"Trus, sekarang lo udah nggak pegang biola lagi?"
"Biola gue disita bokap sejak 2 bulan lalu. Mau beli lagi, belum ada duit."
"By the way, sampai kapan lo nge-trek, Ka? Cari kerjaan lagi, oke?"
"Lo ngigau, ya? Lo tau berapa biaya kuliah kedokteran dan padat jadwal juga materinya? Kalau gue kerja, pasti ambil jadwal seharian. Gimana gue bisa kuliah? Oke, ambil shift malam, gajinya berapa? Bulanan? Cuma kuat untuk biaya makan, nggak mungkin bisa bayar uang semester. Beruntung gue ketemu Reza dan diajak gabung ke Black Angel. Itu satu-satunya kerjaan yang masuk akal buat gue."
Eunha tak bicara lagi. Arka memang dikenal sangat keras kepala. Takkan mau mendengar siapa pun.
"Tapi gue khawatir sama lo."
"Kalau tabrakan, sih, gue biasa. Resiko!"
Eunha menarik tangan Arka dan menggenggamnya. Binarnya terlalu serius untuk ditanggapi Arka sebagai lelucon semata.
"Apa kita bisa balik kayak dulu lagi, Ka?"
Tanpa kata, bibir Arka bungkam.
Gadis cantik keturunan oriental itu memegang pipi Arka. Saat hendak berniat mencium bibir plum Arka, angannya memudar. Arka berpaling dan memegang tangan Eunha.
"Gue nggak mau buru-buru. Kasih gue waktu. Gue lagi nggak mood pacaran, Eunha."
Eunha mematung, malu sekali rasanya. Hanya bisa menunduk sembari mengeratkan jari di lutut. Menyadari kecanggungan Eunha, Arka mengusap kepalanya sembari beranjak.
"Gue balik, ya!"
*
Minggu pagi di pekarangan rumah Keluarga Wijaya, tak ada hal yang berarti. Karena libur, Arka mencuci sepeda motornya. Si kuda besi itulah teman terbaiknya mencari uang.
"Tetep sehat, Beb. Gue menderita kalau nggak ada lu."
Sebuah taksi berhenti di depan pagar. Seorang gadis mendekat tanpa sepengetahuan Arka.
"Serius banget, dia," ujar gadis itu. "Aku kagetin aja, deh."
Arka tak mendengar langkah kaki itu karena sibuk menyemprot busa di ducati birunya dengan slang air.
"Senangnya! Papa pergi ke Taipei selama dua hari. Gue bebas!"
Terlalu senang, slang air itu justru menyemprot ke segala arah. “Aaah!"
Arka terkejut dan berbalik. "Lo?"
Gadis yang dia temui tadi malam. Dengan keadaan yang sama, baju dan rambut terurainya basah. Jantung Arka berdegup karenanya.
"Kamu gimana, sih? Aku jadi basah gini."
Suara centil itu terdengar menggemaskan meski mengomel. Arka tak bisa menahan senyumnya.
"Maaf. Lo juga munculnya dadakan banget."
Arka tersenyum seraya menikmati detak jantung yang tak terkendali ini. Dia bergerak mendekati. Tanpa sadar, wajah gadis itu seolah membiusnya. Dengan lembut, Arka memegang kedua pipi basahnya, menghapus perlahan. Tak hanya Arka yang terperangkap dalam panah asmara, gadis itu juga tampak terpaku. Wajahnya yang basah pun bersemu merah. Perlakuan manis pria ini menghasilkan dentuman jantung yang sama keras di dadanya.
‘Cantik banget!’
Segera, gadis itu menepis tangan Arka sebab dirinya juga sangat gugup ditatap semanis itu oleh pria yang ada di hadapannya ini. Arka hanya menggedikkan bahu, cuek, enggan bicara pada gadis yang memang tak dikenalnya ini.
"Make up aku berantakan, bajuku basah. Ceroboh banget! Kamu kenapa belum siap-siap juga, Dev?"
Lagi. Gadis cantik ini salah mengira Arka adalah Devan. Arka berpaling dan tersenyum sinis.
"Lo cari Devan? Masuk aja, atau teriak. Dia masih siap-siap."
"Apa, sih? Udah, ayo! Kamu beres-beres, trus anterin aku pulang dan ganti baju."
"Hei, gue bukan Devan. Gue Arka, saudara kembarnya."
"Lelucon apaan itu?"
"Hei, gue serius."
Tak peduli, tangan mungil itu terus memaksanya masuk ke rumah. Mendorong punggungnya dengan tergesa-gesa. "Hei, aku baru balik dari Taipei dan kamu malah becandain aku begini. Cepat, temenin aku ke toko buku."
Arka berbalik, menatap marah pada gadis ini. Dia yang baru saja menimbulkan perasaan aneh di d**a Arka justru terus saja menyebut nama saudara kembarnya yang menyebalkan itu.
"Udah berapa kali gue bilang, gue Arka, bukan Devan. Kenapa semua orang lebih butuhin dia daripada gue, sih?"
Suasana mendadak tegang. Kemarahan di bias Arka cukup membius ekspresi manja gadis itu. Kemarahan yang gadis itu tak mengerti apa alasannya.
"Aku-"
"Lisa!" panggil Devan.
Devan muncul dari dalam rumah. Arka tersenyum melihat wajah bodoh gadis yang bernama Lisa itu. Hanya merasa lucu dengan ekspresi terkejut Lisa saat ini.
"Masih nggak percaya?" goda Arka.
Lisa tertegun meskipun saat ini, dua pria itu ada di hadapannya. Sama sekali tak bisa dipercaya keduanya sangat mirip meski memiliki aura yang berbeda.
"Loh, kenapa basah gini?" tanya Devan. "Ya udah, aku ambil mobil dulu."
Devan berjalan menuju garasi. Tersisa Arka yang tersenyum untuk mengusili gadis cantik ini.
"Keliatan bodoh gitu? Lo pikir ini settingan?" seru Arka.
"Aku speechless. Aku kenal Devan sejak SMU, tapi aku nggak tau apa-apa tentang kamu. Aku nggak pernah ketemu kamu sebelumnya."
"Sebelumnya? Tapi, tadi malam lo ngapain tiba-tiba nangis dan meluk gue?"
Terkejut. Lisa malu dan gugup ketika mmenyadari bahwa yang dia temui tadi malam adalah Arka, bukan Devan.
"Itu-"
Arka sukses tertawa cekikikan. Hal itu menimbulkan kesan canggung di hati Lisa akan permainan takdir ini. Dia sangat menyukai ekspresi tawa Arka, sangat indah. Pria itu memiliki senyum kotak dengan lesung pipi kecil yang mewarnainya.
‘How beautiful!’
Lantas, mobil Devan terhenti di sisi keduanya. Si sulung Wijaya itu turun dan berniat membuka pintu untuk Lisa.
"Hati-hati nyetirnya, Dev!" pesan Arka. "Jangan ngebut! Nggak baik buat kesehatan lo."
"Berisik, lo!"
Mobil melaju cepat menjejaki jalan raya. Devan berwajah masam karena harus bertemu dengan Arka sepagi ini. Berbeda dengan Devan, Lisa justru tersenyum simpul.
Sepanjang perjalanan, dia hanya tersenyum tipis. Pria itu sesekali menoleh pada Lisa dengan raut heran.
"Kamu kenapa, Lis?"
Senyum Lisa memudar. Lantas menoleh dan memukul pelan lengan pria tampan berkulit pucat itu.
"Kamu tuh yang kenapa! Hal sebesar ini kamu sembunyikan dariku?"
"Kamu bicara tentang apa?"
"Kenapa nggak pernah cerita kalau kamu punya saudara kembar?"
Devan memalingkan wajahnya, kembali berkonsentrasi dengan kemudinya. "Nggak penting juga."
"Maksudnya?" Alis Lisa tertaut, heran.
"Dia adek gue, Arka. Cuma beda 5 menit."
"Trus, kenapa selama ini aku nggak pernah liat dia? Aku bolak-balik main ke rumah kamu waktu jaman sekolah dulu, nggak pernah liat dia."
"Waktu pertengahan SMP dan SMU, dia tinggal di Bandung sampai lulus. Setelah tamat, dia balik ke sini lagi. Lagian abis lulus, kamu langsung terbang ke Taipei. Baru di Jakarta 3 hari ini, kan? Wajar kamu nggak ketemu dia."
"Kalian mirip banget, ya. Aku sampai nggak bisa bedain. Udah cakep, ada dua, pula. Tadi, aku kira dia itu kamu. Tapi kalau diliat-liat, aku aja yang b**o. Jelas-jelas, style kalian beda. Dia kelihatan lebih manly."
"Nggak usah banding-bandingin aku sama dia. Kami beda."
"Kelihatan jelas, sih. Cowok charming, hangat, dan ramah kayak dia, pasti disukai banyak orang. Kalau bad boy gitu, kesannya lebih keren. Nggak kayak kamu, dingin banget kayak es batu."
Devan tak bicara lagi dan terus menyetir.
"Siapa namanya, Dev?"
"Arkana Kenjiro Wijaya."
Cukup lama Lisa membisu dengan ponsel di tangannya. "Arkana artinya suci, berhati terang. Dan Kenjiro yang berarti putra kedua yang sehat dalam bahasa Jepang. Arkana Kenjiro Wijaya, putra kedua yang sehat dan berhati terang dari Keluarga Wijaya."
Devan kesal mendengar pujian yang dilontarkan Lisa pada adik yang dibencinya itu. Dia takut Lisa menaruh simpati pada Arka yang memang dia tahu, sang adik sangat hangat dan bisa membuat siapa pun nyaman berada di dekatnya. Aura menarik yang dimiliki adiknya itu selalu membuatnya iri. Kebebasan dan keramahan Arka sukses membuat pria itu memiliki hal yang tak pernah didapat oleh Devan selama ini.
"Hei, jangan ngambek. Nama kamu juga bagus. Devano itu artinya kokoh, seperti batu karang. Dan Kenichi artinya putra pertama yang sehat. Devano Kenichi Wijaya, putra pertama yang sehat dan kokoh dari Keluarga Wijaya. Saking kokohnya kayak batu karang, kepalanya pun sama batunya."
Devan mulai tersenyum lagi.
"Orangtua kalian ngasih nama yang bagus sebagai doa. Mereka pasti sayang banget sama anak-anak mereka ini."
Terasa seperti candaan baginya. Devan tersenyum sinis, lantas bergumam, "Untuk itu, cuma gue yang tau apa yang terjadi."
Nyatanya, Devan tahu bagaimana Papa Frans memperlakukan mereka selama ini.