Bab 2. Jatuh Cinta

2740 Words
Tak lama setelah itu, sepeda motor mereka pun terparkir di pelataran rumah sederhana yang sebenarnya tak jauh dari komplek perumahan tempat Arka tinggal. Dia tersenyum geli ketika menyadarinya. Jika jarak sedekat itu, Eunha tak perlu memilih jalan trek-trekan untuk mencarinya. ‘Dih, kacau ni anak! Ngapain muter-muter pake acara nge-trek segala cuma buat nyari gue. Rumah dia ke rumah gue aja nggak sampe 500 meter.’ Eunha bingung melihat ekspresi cengar-cengir Arka. "Kenapa senyum-senyum? Ada yang lucu?" tanya Eunha sambil membuka pintu rumah. "Lo yang lucu, sumpah!" Arka mengusap kepala Eunha sebelum masuk ke rumah. ‘Sial! Hati gue mau meledak!’ batin Eunha. Gadis itu pun mengajak Arka untuk masuk ke rumahnya. Dia mempersilakan sang mantan duduk di ruangan tengah. Secangkir teh hangat dia hidangkan untuk menemani malam yang begitu dingin. Duduk berdampingan. Dengan handuk di tangannya, Eunha berniat mengeringkan rambut mantan kekasihnya itu. "Mau apa?" tanya Arka. "Diem, deh!" Arka terus menatap Eunha saat gadis itu mengeringkan rambutnya dengan handuk. Hanya menikmati perhatian kecil dari teman lamanya. "Jangan sampai sakit, Ka!" "Ih, merinding gue! Kayak sinetron aja." "Dasar!" Arka tersenyum menatap Eunha. Dia seakan melepas beban lelah sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. "Ka." "Ya!" "Lo masih marah sama gue?" "Tentang apa?" “Lo ngilang gitu aja. Tiga tahun ini gue nyariin lo. Gue pengen ketemu lo untuk minta maaf, tapi−" "Masih gengsi? Tetap keras kepala?" sindir Arka sambil mencomot cookies di atas meja. "Harusnya lo ngerti karakter gue, Ka." "Butuh waktu berapa lama?" "Gue nggak sengaja." Arka menggeleng. Dia menggeser posisi duduknya agar lebih nyaman membicarakan hal serius ini pada Eunha. "Dih, nggak sengaja kok berulang terus? Gue itu pacar lo, kenapa kasar banget? Gue korban KDRT pacar, nggak woles hati gue rasanya." "Ka, gue udah berubah. Gue bukan cewek tomboi dan kasar kayak dulu. Gue-" Arka mengetuk pelan dahi Eunha dengan jarinya. Gadis itu tersenyum untuk setiap sentuhan Arka padanya. "Kenapa dibahas lagi, Eunha?" "Apa itu yang jadi alasan lo untuk mutusin gue?" Arka menghela napas dan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. "Salah gue di mana? Gue ini cowok normal, pengen nyentuh pacar gue sendiri. Inget apa yang lo lakuin? Gue cium pipi lo, lo langsung nabok pala gue. Gue peluk pinggang lo, lo langsung tendang p****t gue. Apa lagi kalau sampe mikir gue nyium bibir lo, gue bisa almarhum." "Gue-" Waja Eunha merah padam saat Arka mencecarinya dengan kesalahan di masa lalu. "Kalau menurut lo itu kurang ajar, gue minta maaf, Eunha. Tapi serius, gue benar-benar nggak tahan lagi." Eunha menunduk sambil memainkan jarinya. "Oke, tapi apa itu juga jadi alasan lo nggak nelepon gue lagi? Sekalipun putus, dulunya kita sahabat baik, kan?" Arka tertawa lepas sembari mencubit pipi chubby mantan kekasihnya itu. "Kenapa jadi cewek imut gini? Kalau gue khilaf, lo abis malam ini." Eunha tersenyum tipis sambil menunjukkan kepalan tinjunya. Menantang hingga nyali Arka menciut. "Berani?" "Nggak, deh. Kapok!" Karena bersahabat lama, tak ada lagi rasa canggung. Eunha memegang tangan Arka dan menatapnya dengan binar teduh. Perkataan Arka itu justru membuat Eunha terkesima. Akhirnya, dia menemukan jawaban atas penyebab hancurnya kisah cinta mereka di masa lalu. "Kasih gue satu kesempatan lagi, Ka! Gue janji bakal berubah. Lo masih cinta sama gue, 'kan?" "Itu udah tiga tahun, Eunha, dan gue-" "Apa lo segitu marahnya sampai pergi tanpa pamit, bahkan nggak ninggalin kontak satu pun?" Arka terdiam, mulai mengalihkan wajahnya dari tatapan lembut Eunha. Untuk sesaat, dia terbius dengan perubahan manis dari mantan kekasihnya ini. Dia sudah jauh berubah, terlihat lebih lembut dari Eunha yang dikenalnya dulu. Gadis itu sudah lebih feminine dengan rambut panjangnya yang tergerai. "Bukan karena itu, Eunha. Gue cuma nggak mau lo terseret dalam hidup nyata gue." Eunha mengangguk, paham akan maksud yang diutarakan Arka. Biar bagaimanapun, dia cukup tahu sisi kelam hidup sang mantan yang masih bertahta di hatinya. "Masih soal Devan? Mereka masih belum berubah?” Arka menggeleng, lalu menunduk dan Eunha mengerti bahwa Arka tak ingin membicarakannya. "Tidur di sini aja malam ini, ya! Hujannya deras banget, kayaknya lama redanya, deh." "Cius? Di kamar yang sama?" Eunha tertawa kecil, tentu dia bersiap-siap meninju jika saja pria yang ada di hadapannya ini hendak macam-macam padanya. Akan tetapi, Eunha mengenal sang mantan kekasih. Pria ini cukup sopan padanya. Eunha mengingat kejadian masa pacaran dulu. Selalu bertindak kasar padahal Arka hanya berusaha menunjukkan kasih sayangnya. Eunha beranjak ke kamar, lantas mengambil bantal, dan selimut, lalu menyerahkan pada pria beralis tebal tersebut. "Jangan mimpi! Awas lo macem-macem, habis lo!" "Masih aja galak!" Arka menyiapkan kasurnya untuk malam ini. "Udah, cepat masuk kamar, sana!" Dia membenarkan posisi bantalnya. Setidaknya, sofa itu cukup empuk untuk jadi alas tidur. Lagipula, dia sudah terbiasa tidur di tempat yang kurang nyaman seperti ini. Tentu sangat berbeda dengan Devan yang dikelilingi barang-barang mewah. "Good night!" Mata Rafael membeliak ketika bibir gadis itu mencium lembut pipinya. Senyuman Eunha sangat indah, hingga gadis itu berlalu meninggalkannya. Rafael membisu, menyentuh da'da kirinya. ‘Apa perasaan itu masih ada?’ * Keesokan harinya, Arka tersenyum lega setelah keluar dari antrian administrasi. Hari ini, dia sudah menyelesaikan tunggakan untuk biaya kuliahnya. Satu masalah selesai. Namun, tentunya takkan berhenti di sini, masih ada begitu banyak biaya-biaya lain yang akan menyusul. Kuliah kedokteran memang sangat mahal. Ini adalah jalan yang dipilihnya. Demi Papa Frans, demi Devan. "Akhirnya, kelar juga satu masalah." Arka berjalan menuju kelas, diikuti seorang pria dari belakang. Pria berkulit bersih dengan eye smile yang manis. Jimmy Syailendra, sahabat karibnya. "Woi, Bro!" Arka mengembus napas kasar sambil menepuk bahu temannya itu. "Ngagetin aja lo, Jim!" "Segitu histeris ekspresi lo. Emangnya tampang gue nyeremin? Imut gini." "By the way, dari mana lo, Jim?" "Kantin. Gimana? Duit hasil nge-trek lagi?" Arka mengangguk pasti. Mereka berjalan beriringan di lorong Fakultas Kedokteran. "Iyalah!" "Keren, lo! Niatnya cuma pengen cari duit, tapi sekarang lo jadi pembalap jalanan terkenal. Banyak genk dari luar Jakarta yang datang untuk nantangin lo." "Tarif gue mahal, Bro!" "Konsisten, lah! Mau jadi pembalap atau dokter spesialis jantung?" "Dua-duanya juga wokeh." "Kunyuk maruk! Mentang-mentang jenius." "Bangga, kan, jadi sohib gue?" "Kagak! Ayo ke lab!" "Males banget, gue. Masih ngantuk, nih, karena nge-trek semalam." Arka dan Jimmy mengikuti praktek kali ini. Mereka sudah bersiap dengan jas putih dan masker. Petugas medis rumah sakit pun membawa brankar ke ruangan. "It's ok, Ka." Jimmy mencoba memenangkan Arka agar bisa melalui praktek bedah yang menjadi materi hari ini. Praktek selesai satu jam setelahnya. Wajah Arka terlihat pucat setelah mereka keluar dari ruangan sambil melepas jas dan masker. Sepanjang berhadapan dengan materi dan kegiatan selama satu jam lebih, Arka berusaha menahan dan menjaga emosinya agar lebih stabil. "Udah baik-baik aja?" Jimmy memberikan sebotol air mineral pada Arka. Dibukanya tutup botol itu, menenggak untuk mengusir dahaga dan rasa gugupnya. "Mental lo belum bener, Ka. Masih juga belum berani liat yang begituan. Kita ini calon dokter, kan?" "Gue masih butuh waktu, lah." "Takut liat darah, nggak bisa liat mayat, takut jarum suntik, kenapa tetep kekeuh di kedokteran?" Arka menggerutu kesal. Hanya sebentar hingga air mineral itu tandas. Dilemparkannya botol itu pada tempat sampah. Nice shoot. "Seenggaknya gue udah mulai terbiasa dan belajar, kan? Sialan lo, bukannya support gue." "Gue ingat waktu pertama kali kita liat praktek bedah mayat, lo sampai pingsan. Padahal cuma lewat monitor. Gue auto-ngakak." "Bahagia banget sama derita gue, Nyuk!" Jimmy mengacungkan dua jari membentuk huruf V, lalu tersenyum setelah menggoda temannya ini. Mereka pun berjalan meninggalkan gedung rumah sakit kampus. "Trus kenapa, Ka?" "Apanya?" "Kenapa lo bertahan di kedokteran?" Arka hanya tersenyum. Perlahan, berjalan meninggalkan Jimmy, membuka jas putih itu dan disimpannya di ransel hitam. Derap langkah kakinya terdengar di lorong rumah sakit. 'Aku akan sembuhin Devan. Seenggaknya setelah ini, ada hal baik yang bisa kubanggakan di depan Papa.’ Tak dia sadari jauh di sana, Jimmy justru melihat keributan di dekat parkiran motor rumah sakit. Aksi bullying. "Abang lo, Bro!" Arka segera menoleh. Tampak Devan tengah berhadapan dengan empat orang mahasiswa yang tak dikenali. Segera, Arka mendekati kerumunan itu, disusul oleh Jimmy. "Arka," ucap Devan, pelan. "Menjauh, Dev!" Arka semakin geram saat melihat wajah Devan mulai pucat. Dadanya pasti terasa sakit. Arka siap menghadapi para preman kampus itu. Si bungsu sudah dengan gagahnya berdiri di hadapan keempat pria tersebut. Sementara itu, Devan tak bergerak sama sekali. Arka menatap sejenak kakak kembarnya. Wajahnya tampak pucat, napasnya terasa berat. Sesekali, dia mengerutkan dahi sambil memegang dadanya. Mungkinkah Devan sedang sakit? "Berani-beraninya lo nyakitin abang gue!" pekik Arka. "Gue harus ngapain, Bro?" tanya Jimmy. "Hajar!" Arka dan Jimmy berusaha melawan keempat mahasiswa itu. Dia tak bisa ambil resiko membiarkan keempat orang ini mem-bully Devan. Bermodal nekat dan bantuan Jimmy yang beladirinya juga pas-pasan, perkelahian tak terelakkan. Aksi tonjok sudah menimbulkan lebam-lebam di kedua belah pihak. Sementara itu, para mahasiswa di sekitar justru tak ada yang berani menyela untuk menengahi perkelahian. "Duh, wajah cakep gue," keluh Jimmy. Arka menarik kerah kemeja dari seorang preman, mengancamnya dengan kepalan tinju yang membuat nyalinya sedikit menciut. "Sekali lagi gue liat lo nyentuh abang gue, mati lo!" Arka terbiasa dengan dunia keras, membuat para preman kocar-kacir itu bukan hal sulit. Dia segera mendekati Devan yang sudah kesakitan. "Sakit banget? Obatnya dibawa?" cemas Arka. Berniat memapah, Devan justru menepis tangan Arka. "Jangan sentuh gue, Sialan!" Jimmy geram melihat sikap Devan. Tak ada rasa terima kasih di garis wajah Devan meski telah ditolong. "Sialan! Bukannya terima kasih udah ditolongin, malah dia yang murka." "Jim!" tegur Arka, memberi kode agar sahabatnya itu tak mengeluhkan sikap Devan. "Sabar amat lu, Ka. Gue, mah, bodo amat punya abang durjana gini." Arka tak menghiraukan keduanya. Dia tetap menarik tangan Devan meninggalkan lokasi parkiran kampus. "Gue antar pulang, Dev!" "Gue bisa sendiri!" "Lo nggak bisa nyetir dalam kondisi gini." Lama Devan membisu. Dia terus menahan sakitnya sambil mengeratkan jarinya di lengan Arka. Sang adik bisa merasakan cengkraman kuat saudaranya itu. "Gue nggak mau papa liat lo yang nganterin gue balik." Tatapan teduh Devan dipahami Arka. Hanya bisa tersenyum tulus untuk memudarkan kecemasan di relung hati keduanya. "Gue baik-baik aja, Dev. Gue ngerti." Arka membonceng Devan di belakang sepeda motornya. Menjaga dengan posesif, bahkan memberikan helm-nya untuk melindungi Devan yang terlihat lemah dibanding dirinya. Sesekali Arka menatap Devan dari spion, tapi Devan segera menutup kaca helm-nya. Bergumam sambil mengeratkan jemari. 'Gue bahkan nggak bisa ngeliat lo sekarang. Kenapa lo mesti baik sama gue, Ka? Kenapa lo selalu nolongin gue? Selama ini gue udah ngambil semua milik lo.' "Karena lo kakak gue, Dev, dan selamanya akan begitu," jawab Arka. Pertautan hati. Arka menjawab kebimbangan hati Devan yang tak terucap oleh bibirnya. * Papa Frans menampar Arka karena membawa pulang Devan dalam keadaan sakit dan lebam di wajahnya. Dia menilai bahwa putra bungsunya itu sengaja lalai hingga membuat si kembar yang lain mengalami hal buruk di kampus. "Pa!" pekik Mama Wendi. Devan tak sanggup menatap kejadian itu, sementara Arka sudah siap menerima konsekuensi tindakannya. Arka memang akan selalu disalahkan jika terjadi sesuatu pada kembarannya ini. "Kurang ajar! Apa yang kamu lakukan sama Devan? Apa nggak bisa kamu jaga dia di kampus? Sengaja?" "Maaf, tapi seharian tadi aku ada jadwal praktek, Pa." "Alasan! Kamu segitu bencinya padaku? Cukup lampiaskan padaku, jangan pada Devan!" "Aku nggak sengaja. Aku juga sibuk, Pa." Papa Frans menoleh pada Mama Wendi. Seolah menunjukkan pada sang istri bahwa benarlah adanya, Arka selalu mencuri kesempatan untuk mencelakakan Devan, putra tersayangnya. "Sekarang kamu sadar, Ma? Aku nggak pernah salah menilai anak ini. Kamu bilang aku akan menyesal membenci dia? Nggak! Aku benar, Ma. Dia pantas untuk itu." Arka gemetar mendengar serapah papanya itu. Tak peduli menahan sekeras apa pun, dia tetaplah anak yang ingin dicintai dengan sempurna. "Ma, bawa Devan ke kamar. Aku harus bicara dengan anak ini." Devan dan Mama Wendi pergi, naik ke lantai atas kamar Devan. Tersisa Arka yang memberanikan diri untuk bertatap muka dengan kemarahan papanya. "Kenapa, Pa? Kenapa selama ini Papa membenciku? Apa salahku, Pa?" Lagi, Arka menyuarakan pertanyaan yang sama hanya karena dia tak mengerti kenapa sang ayah begitu memperlakukannya berbeda. "Salah apa? Kamu salah besar! Kamu salah kenapa kamu bisa terlahir dengan kondisi sehat sementara kakakmu sangat menderita dengan penyakit jantungnya itu! Kamu tumbuh dengan sehat dan lincah, sementara putraku harus sakit seperti itu!" Sakit. Arka bahkan tak bisa menahan air mata yang hendak jatuh karena sumpah serapah papanya. "Apa itu salahku, Pa? Aku nggak pernah minta kesehatan yang kumiliki selama ini. Bahkan aku juga nggak pernah minta dilahirkan." Papa Frans memunggungi Arka, menolak melihat kesedihan putranya. Betapa kokoh benteng pertahanan di hatinya hingga binar kesedihan sang putra tak sanggup meruntuhkan kemarahannya. "Aku juga puteramu, 'kan? Apa aku nggak punya tempat di hatimu? Apa yang harus kulakukan supaya Papa nggak benci aku lagi?" "Apa yang kuinginkan takkan mungkin terjadi. Masa lalu nggak akan pernah kembali." Arka terperanjat, mundur selangkah saat mulai mengerti maksud perkataan beliau. "Maksudnya, Papa berharap aku yang ada di posisi Devan dan-" "Tuhan nggak adil, kan? Apa salah Devan? Kenapa dia harus menderita? Dia putraku. Dia nggak pantas dihukum sekejam itu." Arka berusaha tersenyum, menghapus air matanya dan berniat pergi dari rumah itu. "Semoga Tuhan mendengar doa Papa. Meskipun nggak bisa kembali ke masa lalu, Papa bisa berdoa untuk masa depan, kan?" "Berhentilah bicara! Kenapa kamu nggak menghilang saja?" "Aku tau, Pa. Suatu saat nanti, aku akan balikin Devan untuk Papa. Devan yang sempurna, Devan putra Papa yang hidup tanpa rasa sakit. Mungkin saat hari itu datang, seenggaknya biarin nama Arka pernah ada di ingatan Papa. Arka, anak b******k yang Papa benci. Cukup ingat itu dan aku akan baik-baik aja melihat kebahagiaan kalian dari jauh." Arka berlari membawa rasa sakit dan kebencian di dadanya. Dia mendekati sepeda motornya di pelataran dan melajukannya di tengah pekatnya malam diwarnai hujan yang membasahi kota. Kepenatan menyelubungi hati Arka. Rasa sakit yang tercipta di dadanya begitu menguasai pikirannya. Tak peduli akan derasnya hujan, dia hanya ingin terus melajukan sepeda motornya, sejauh mungkin, ingin menghilang sejenak dari rasa sakit yang selalu disuguhkan oleh Papa Frans. 'Kenapa terlalu sakit, Tuhan? Apa aku nggak berhak bahagia? Apa Kau juga menghukumku atas kesalahan yang nggak aku mengerti? Aku cuma ingin dicintai. Aku ingin bahagia. Aku butuh papa dan mamaku. Aku bersedia menukarkan apa pun demi kasih sayang mereka, bahkan dengan nyawaku.' Arka terkejut dan segera menarik rem saat seseorang melintas di tikungan. Sepeda motor Arka berhenti. Dia siap melampiaskan amarah pada orang ceroboh itu. "Mau mati, lo? Kalau aja tadi gue nggak nge-rem, mungkin sekarang lo udah tewas!" Arka justru membisu saat wajah basah gadis itu bukan cuma karena hujan, melainkan air mata. Karena tak mendapat jawaban dari orang itu, Arka turun dari sepeda motornya. Dia menatap gadis ceroboh tadi yang kini semakin menambah rasa suntuk di kepalanya. "Maaf." Gadis itu menangis sesunggukan dan segera memeluk Arka. Arka ragu harus membalas atau membiarkannya saja. Dia terhenyuh ketika gadis itu semakin beringsut ke dalam pelukannya, menimbulkan sensasi berbeda di jantungnya. Jantung itu berdetak dengan irama cinta. Isakan tangis gadis itu menuntun Arka untuk membalas pelukannya. 'Aduh, sedih banget dia. Jadi nggak tega gue!' Gadis itu melepaskan pelukannya, menatap Arka dengan sendu. Arka terkejut saat tangan lembut gadis itu menyentuh dua sisi pipinya. "Aku berantem lagi sama kakakku. Aku nggak tau sampai kapan dia sekasar itu. Aku nggak mau pulang. Aku benci sama dia." Arka gugup saat detak jantungnya terasa aneh. Dadanya berdesir untuk pelukan gadis cantik berambut pirang terurai ini. 'Oh God! Kenapa perasaan gue nggak karuan gini?' Gadis itu melepaskan pelukannya dan justru memegang pipi Arka. Wajahnya yang cantik dan bibir plum merah delima itu memainkan degup jantung Arka hingga tak terkendali. "Harusnya aku dengerin kata-kata kamu. Harusnya aku percaya. Dev, maafin aku." Arka terkejut saat nama itu disebut oleh gadis yang ada di hadapannya ini. Amarahnya tersulut. Sensasi cinta tadi berubah menjadi kekecewaan. 'Gue bukan Devan. Kenapa semua orang di dunia ini lebih butuhin Devan? Kenapa cuma Devan yang dapetin segalanya? Apa gue nggak berhak dapetin kebahagiaan buat gue sendiri? Kenapa hanya Devan, Tuhan?' Arka segera menepis tangan gadis itu, lantas berkata, "Lo salah orang, Nona!" Dengan perasaan marah, Arka melajukan sepeda motornya. Entah ke mana tujuannya. Mungkin ke suatu tempat di mana dia bisa melupakan rasa sakit, ke tempat di mana dia bisa menjadi diri sendiri, tanpa bayang-bayang Devan. Rumah Eunha yang ditujunya. Gadis itu membuka pintu, melihat Arka di depannya. Tak bicara, Eunha menyadari bahwa mantan kekasihnya itu berusaha tersenyum dengan mata yang basah. Luka jelas terlihat dari bias matanya. "Gue boleh masuk?" tanya Arka. Eunha menjangkau tengkuk Arka agar menyandarkan pria itu di bahunya. "Gue di sini, masih ada gue, Arka. Lo akan baik-baik aja." Arka tak bicara. Memeluk erat Eunha, satu-satunya tempat berlindung dari keegoisan dunia yang saat ini berusaha menyingkirkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD