Bab 9. Tak Diakui

1155 Words
Sore harinya, Arka tetap nekat datang ke rumah Keluarga Wijaya hanya untuk menunjukkan bukti kelulusan di tangannya. Berdiri dengan penuh kebanggaan sementara di sana, Devan menatap miris senyuman di bibir Arka. 'Kenapa lo ke sini, Ka? Kenapa lo tetap nekat?' Arka pun beralih menatap tulus Mama Wendi. Berharap sang mama setidaknya bisa menjadi satu-satunya sosok yang bangga dan berpihak padanya. 'Kali ini, beri pembelaan padaku, Ma. Aku masih putra Mama, kan? Sekali aja, lawan Papa demi aku. Pasti Mama bangga sama aku, kan? Aku udah selesaikan separuh perjalananku. Aku janji akan jadi dokter untuk Devan,' batin Arka. Saat hendak meletakkan ijazahnya ke atas meja, Papa Frans merampas dengan kasar. Memandang sinis seolah kebanggaan Arka hanyalah sampah semata. "Kamu kira kami bangga padamu?" Devan takut Arka akan semakin sakit hati. Ibundanya pun tak bisa diharapkan untuk menjaga Arka. Lantas, pria arogan itu sengaja melempar ijazah Arka ke lantai. Si bungsu itu tergugu, menatap nanar sembari membiarkan air matanya jatuh. "Kamu sama aja dengan benda itu, tak ada harga dan nilainya bagiku. Pergilah! Aku bersumpah takkan pernah memberikan sedikit pun rasa kasihan untukmu!" Hancur. Hati ketiganya begitu mudahnya dicabik Papa Frans. Arka masih shock saat ijazah kebanggaannya berada di lantai. Papa Frans pergi, disusul Devan yang hendak melakukan pemberontakan. Setelahnya, Mama Wendi mendekati si bungsu Wijaya ini. "Ka." "Cukup sampai di sini. Aku nggak akan pernah lagi manggil orang itu dengan sebutan ‘papa’ seumur hidupku. Aku akan benci dia sebanyak aku mencintainya selama ini." "Jangan bicara begitu, Nak!" Arka mengambil ijazahnya dan menatap sinis Mama Wendi. Menghapus air matanya karena tak ingin dinilai cengeng oleh mamanya ini. Pun dia tak ingin beliau khawatir. "Seburuk apa pun dia, dia tetap orangtua kamu." "Ya, aku tau, Ma. Aku nggak pernah lupa kalau kalian orangtuaku. Kalianlah yang lupa kalau kalian masih punya satu putra lagi yang kalian sia-siakan hidupnya. Percuma aku memiliki kalian, tapi kalian sama sekali nggak pernah berpikir kalau aku ada di dunia ini." Mama Wendi memeluk Arka, menangis sesenggukan penuh penyesalan. Akan tetapi, Arka segera melepaskan diri. “Maaf, Sayang.” "Mama juga nggak ada bedanya dari dia. Sakit rasanya Mama terlihat menangis untukku, tapi nggak ada sedikit pun rasa kasihan dan cinta untuk memelukku. Apakah lebih penting jadi seorang Nyonya Wijaya daripada harus menjadi seorang ibu untuk putramu ini? Jangan pernah menatapku lagi dengan mata seperti itu, Nyonya Wendi!" Arka pergi meninggalkan kebisuan dan sesak di d**a sang ibunda. Sementara itu, Devan masih berseteru dengan papanya di ruang kerja beliau. Pembelaan Devan beradu dengan kebencian sang ayah terhadap si bungsu. "Jangan terus seperti ini, Pa! Jangan salahkan Arka atas yang terjadi padaku!" protes Devan. "Kamu sadar apa yang kamu bicarakan, Dev?" "Berhenti menjebak kami dalam kebencian yang Papa rancang. Karena ego Papa, kami berakhir dengan saling benci. Aku lelah seperti ini. Sekalipun ada Mama dan Papa, aku juga butuh saudaraku. Karena sekalipun kami saling benci, kami menyisakan satu ruang untuk saling menyayangi. Papa nggak akan mengerti." "Apa kamu sekarang membelanya, Dev? Apa kamu nggak ingat apa yang dia buat dulu ke kamu? Apa kamu sadar betapa nggak adilnya Tuhan harus membuatmu merintih sakit setiap saat dan membiarkan Arka tersenyum bahagia?!" "Tersenyum bahagia? Papa udah berhasil bikin dia lupa cara tersenyum. Entah kenapa setiap Papa nyakitin dia, hatiku ikut sakit. Kuharap Papa bisa hentikan memutus persaudaraan kami. Aku dan Arka terikat pada benang merah yang takdir pun nggak akan bisa memutusnya." Devan pergi dari sana, menuju rumah Pak Min. Dia mematung melihat kesedihan Arka. Rumah berantakan, termasuk buku kedokteran berserakan di lantai. Adiknya itu bersandar dan melipat kedua lututnya. "Arka." Devan hanya ingin menghibur belahan jiwanya ini. Didekatinya Arka untuk memeluk punggung saudara kembarnya itu, meski tak dibalas. "Gue di sini, Ka." Arka segera mendorong Devan karena baginya, Devan seperti bayangan dari keegoisan papanya. Melepaskan diri dari belenggu si sulung Wijaya. "Gue nggak akan nyalahin lo atas semua ini. Lo tau kenapa? Karena kita sama-sama korban keegoisan pria itu dan Tuhan! Sampai kapan kita seperti ini, Dev? Kenapa Tuhan kejam sama kita? Kenapa lo diberikan rasa sakit yang hebat di saat lo pengen hidup lebih lama? Sedangkan gue ... kenapa Dia biarin gue tetap hidup dengan segala kesakitan yang gue rasakan? Kalau lo pengennya hidup, gue justru nggak sanggup hidup lagi." Hatinya tersayat pilu. Ingin dia menghapus air mata yang jatuh di pipi adiknya itu. Arka yang selama ini selalu tegar dan ceria, Devan melihatnya hancur dan rapuh sekarang. "Kenapa bokap lo sama sekali nggak punya hati? Bertahun-tahun gue bertaruh nyawa gue di arena balapan liar itu demi kuliah gue. Dan sekarang, dia hancurkan kebanggaan satu-satunya yang gue punya." "Ka, tenanglah!" Arka menangkup kedua telapak tangannya, isyarat memohon. "Please, jangan bicara apa pun. Gue nggak bisa dengar kebencian apa pun lagi sekarang. Gue mohon, jangan tambah rasa sakit gue sekarang. Pergilah, menjauh dari gue!" Arka bangkit dari duduknya, hendak pergi meninggalkan Devan. "Sampaikan pada Pak Frans, gue akan tetap tepati janji gue ke dia untuk mengembalikan hidup putranya. Mungkin kalau suatu saat Tuhan bertanya padanya, siapa yang pantas diambil dari sisinya, mungkin dia akan milih gue. Sebelum Pak Frans milih gue dan ngusir gue dari dunianya, kelak gue yang akan lebih dulu perlahan menghilang dari pandangannya. Berjanjilah jika saat itu tiba, lo harus ambil alih semua tanggung jawab gue." Devan bungkam, tenggelam dalam hening akan sumpah kebencian adiknya itu. * Arka pergi ke rumah Lisa untuk menemui Eunha, sahabat tempatnya berbagi kesedihan. Saat pintu terbuka, dia berpapasan dengan wanita cantik berambut hitam terurai tersebut. Lisa. Si cantik yang selalu membuatnya berdebar-debar. "Lis, gue-" Melihat wajah sedih Arka, hati Lisa terhenyak. Dia memeluk Arka, si tampan yang begitu dia sukai. Pria ini pasti mengalami hal buruk tanpa Lisa harus bertanya. "Semuanya akan baik-baik aja. Masih ada aku di sini." Cukup lama, Arka menikmati pelukan dari Lisa. Dia sangat menyukai aroma manis parfum wanita ini. Wanita milik kakaknya, Devan. "Makasih, Lisa." "Eunha ada di halaman belakang. Ke sana aja.” Arka pergi meninggalkan tatapan Lisa, berjalan masuk ke rumah besar tersebut. Ditemukannya Eunha sedang membaca buku di atas ayunan panjang yang terbuat dari rotan di halaman belakang. "Arka?" Arka mendekat dan duduk di samping mantan kekasihnya ini. Memaksa membingkai senyum. "Jangan pernah bosan nemenin gue, ya! Gue udah nggak punya siapa-siapa lagi, Eunha." "Kenapa? Apa yang terjadi?" Arka berbaring dan meletakkan kepalanya di pangkuan Eunha. Dia berusaha menutup mata menikmati semilir angin. Berharap rasa sakit hilang tersapu deru angin yang berhembus "Lo harus tetap semangat! Perjuangan masih panjang, kan?" "Ya, selanjutnya, gue harus Ko-As di rumah sakit papanya Jimmy. Tetaplah di sisi gue sampai gue bisa mencapai semuanya." "Ya, Ka. Berjuang ya! Ko-As, ujian dan kuliah lagi sampai jadi dokter spesialis jantung. Gue janji akan nunggu lo sampai saat itu." "Thanks!" "Ka, gue udah mutusin untuk lanjutin kuliah gue. Ya, gue harus pantas jadi pasangan seorang dokter!" Arka ingin tidur, menghilangkan hinaan dan makian Papa Frans yang bergaung di telinganya. Dia akan menjalani dengan sabar sampai semuanya tercapai. Demi masa depannya, demi janji yang dia simpan sejak lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD