Bab 8. Pencapaian

1448 Words
Sementara itu di luar sana, Devan baru saja sampai di pelataran rumah Lisa. Dia tersenyum tipis sambil mendekati gadis cantik yang sedang menguping pembicaraan Arka dan Eunha. Si cantik Lisa. "Ngapain pagi-pagi udah duduk di sini, Lis?" sapanya, duduk di sebelah Lisa. "Lah, kamu itu yang pagi-pagi banget udah keluar rumah? Dingin banget, Dev." “Nggak ada, sih. Bosan aja di rumah.” Lisa mengajak pria itu masuk. Devan terkejut karena Arka juga berada di rumah Lisa. Sepagi ini adiknya itu sudah tebar pesona pada dua gadis ini. "Ngapain lo di sini?" ketus Devan. "Tadi itu Arka kecelakaan waktu balapan. Itu lagi diobatin sama Eunha," sela Lisa. Tak bersuara lagi, Arka malas menanggapi Devan. Kembarannya itu pun serius menatap lebam di lengan Arka. Meski khawatir, dia menyimpan rapat dalam sinar mata dinginnya. "Mau sampai kapan lo bermain-main dengan nyawa lo? Lo bertaruh nyawa untuk tindakan bodoh lo itu? Lo sadar, nggak, balapan liar bisa aja bikin lo mati di tempat? Sampe segitunya lo nyari duit!" tegur Devan. Perkataan sengit Devan justru menyinggung hati Arka. Kakaknya itu bicara tanpa rasa empati terhadap hidup susahnya selama ini. "Jaga bicara lo! Apa pun yang gue lakuin, itu bukan urusan lo! Gue kerja untuk hidup gue! Gue butuh makan, gue butuh biaya kuliah gue! Kalau lo nggak bisa bantu apa pun, nggak usah merusak mood gue! Gue bukan pangeran manja kayak lo!" "Cuma orang bodoh yang merelakan nyawa yang paling berharga cuma demi uang." Eunha dan Lisa urung menyela. Menutup rapat bibir dan saling pandang. Dua saudara kembar ini sudah lama terjerat kesalahpahaman yang akan sulit diselesaikan. Diam adalah pilihan terbaik. "Nyawa itu paling berharga, Bro! Gimana bisa lo nggak bisa menghargai hal itu walau hanya sedikit? Bodoh!" sinis Devan. "Lo kira gue mau begini? Setiap gue balapan, gue selalu berdoa supaya Tuhan masih ngizinin gue hidup dan nggak mati konyol di tempat itu! Ini satu-satunya hal yang bisa gue lakukan untuk hidup gue! Mungkin apa yang gue lakuin ini nggak berarti buat lo! Tapi buat gue, setiap rupiah itu berharga." Devan tertawa sinis karena Arka mulai terseret dalam emosi. Menyadarkan punggungnya pada sandaran sofa, lalu melipat lengannya di depan d**a. Dia sangat menyukai saat harus mengurai waktu dan berbicara lebih lama dengan adiknya ini. "Gue nggak seberuntung lo yang punya segalanya. Materi yang berlimpah, lo bahkan bisa dapetin apa pun yang lo mau dalam sekejap. Tapi gue bahkan rela bertaruh nyawa gue cuma untuk sesuap nasi! Jadi, pangeran manja yang nggak pernah ngerti hidup susah kayak lo itu, nggak pantas rasanya menghakimi gue untuk hobi balap liar gue!" kecam Arka, geram. Devan menatap sinis, lantas berjalan mendekati sofa Arka. Tatapannya serius, seolah ingin menyampaikan rasa sakit yang terpendam pada saudaranya ini. Menautkan pandangan sebagai jalan hati mereka kembali tersambung. "Nggak seberuntung gue? Tau apa lo tentang hidup gue? Fine! Gue kasih semua materi yang gue punya, tapi serahin nyawa lo ke gue. Gimana?" Devan menarik napas dalam, mengembusnya kasar. Senyum miris itu membuat ketiganya bungkam. Hati Arka berdenyut, melihat Devan beranjak tak acuh dari duduknya. "Percayalah, nggak enak jadi gue, Ka." * Tak terasa, waktu begitu cepat berputar. Semua dijalani Arka demi cita-cita terpentingnya. Minggu dan bulan terus berganti. Siang itu, Arka keluar dari ruang sidang dengan perasaan bangga. Arkana Kenjiro Wijaya, S. Ked berhasil disandangnya. "Selamat ya, Bro!" ujar Jimmy. "Lo juga semangat!" "Besok sidang dapat sesi ke berapa?" "Kedua. Jam sebelas gitu, lah. Deg-degan gue." "Gue doakan lo dapat nilai sidang bagus, Jim." "Mubazir doa lo, Ka. Doain aja gue nggak jantungan di dalam." "Beres! Gue balik, ya!" "Traktir gue, ya!" "Di mana-mana itu, anak konglomerat yang nraktir anak melarat kek gue,” gusar Arka seraya menoyor kepala Jimmy. "Ntar gue jadiin lo dokter konglomerat juga. Yang penting sekarang traktir gue. Gue mau ngerasain duit hasil nge-trek. Biar gue keren juga. Kek anak motor." Hanya Jimmy yang setia di sisi Arka, seiring berlalunya hari. Keduanya saling membantu, saling menjaga. Hingga beberapa minggu berlalu, Arka sedang menyiapkan wisuda yang akan digelar besok. Diraihnya ponsel untuk menghubungi mantan kekasihnya itu. "Wisuda besok, lo nggak perlu datang, ya!" "Loh, kenapa, Ka?" sahut Eunha dari seberang ponsel. "Pokoknya jangan datang. Bilang juga sama Lisa.” Arka mengakhiri panggilan, lantas mengeluarkan kertas undangan berwarna perak dari saku jaketnya. Ditatapnya lekat penuh makna, mengurai senyum getir dengan pengharapan terdalam. "Kalian pasti datang, kan?" Setelahnya, dia pun bergegas menuju kediaman Keluarga Wijaya. Menanti dengan debar penuh untuk menyampaikan kabar gembira terkait dirinya. "Bisa, Ka. Semangat!" Arka memberanikan diri untuk melangkah masuk. Di ruang tengah terlihat Papa Frans, Mama Wendi, dan Devan sedang duduk santai, mengisi waktu dengan cangkir teh serta cemilan dihiasi cengkrama keakraban. "Pa, Ma." Pandangan ketiganya beralih. Lantas, Arka meletakkan card tersebut ke atas meja. "Kalau Papa ada waktu, tolong hadiri wisudaku besok, sebagai waliku. Aku butuh kalian untuk mendampingiku." Papa Frans enggan merespon. Hanya Mama Wendi yang tersenyum sembari mengambil kartu dan menautkan pandangan pada si bungsu Wijaya ini. "Iya. Kita pasti akan datang. Ya, kan, Pa?" Arka menaruh harapan penuh, terutama pada papanya yang akan bangga padanya. Bukan mendapat persetujuan. Papa Frans justru menatap sinis putra bungsunya ini. "Apa aku harus membatalkan janji meeting-ku yang jauh lebih berharga nilainya daripada anak ini?" Bungkam. Arka terkejut mendengar cemooh sang papa. "Kalau bukan karena mereka, aku takkan pernah biarkan kamu menginjak rumah ini lagi!" hardik Papa Frans Sekali lagi, Papa Frans mematahkan hati Arka. Si bungsu itu hanya mengatup bibir. Pandangannya beralih pada sang ibu yang tak bisa memberi pembelaan. Rasa sakit yang sama justru menghujam jantung Devan. Alisnya tertaut. Devan menahan sakit sembari memegang d**a kirinya. "Dev, kamu kenapa?" tanya Mama Wendi, khawatir. "Nggak apa-apa, Ma. Sakit sedikit." Lekas Arka mendekati Devan karena mengkhawatirkannya. “Gue bantu ke kamar, ya, Dev!” “Jangan sentuh Devan!” Ketiganya membisu. Entah sumpah serapah apa lagi yang akan diucapkan pria arogan itu. Papa Frans menepis kasar tangan Arka yang sedang memegang pundak Devan. “Jangan pernah sedikit pun menyentuh putraku! Berhentilah bersikap seolah-olah kamu peduli pada Devan! Jangan pernah mencari simpatiku, istriku, ataupun Devan! Karena bagiku, kamu tak punya tempat sedikit pun di rumah ini!” Arka dan Devan menikmati kebencian penuh kepala rumah Wijaya itu. Meski membenci, Devan dan Arka memiliki ikatan batin yang takkan pernah bisa diputus oleh Papa Frans, sejauh apa pun beliau memisahkan mereka. "Pa." Seiring air mata yang berusaha ditahan Arka, begitu hebatnya rasa sakit yang juga menusuk jantung Devan. Si bungsu melepaskan tangan Devan dan menatap serius papanya. “Jaga kakakku, Pa! Suatu saat, aku akan ambil dia dari Papa!” ujar Arka seraya pergi dari rumah beraura dingin milik Keluarga Wijaya. Keesokan harinya, riuh para wisudawan menyambut keberhasilan mereka saat ini. Bertahun-tahun menimba ilmu di bangku perkuliahan, ini waktunya lepas dan terjun langsung ke lapangan. Di sana, Arka celingak-celinguk mencari seseorang dari keluarganya. Dia sungguh berharap ada yang datang menemaninya. ‘Apa yang gue lakukan? Berharap apa gue?’ Bukan hanya sekadar perayaan, Arka adalah salah seorang mahasiswa dengan predikat cumlaude yang lulus dari Fakultas Kedokteran tersebut. Dia naik ke panggung sembari menerima penghargaan dari jajaran dosen, dekan, dan rektor. Menuai pujian dan tepuk tangan orang-orang yang menyaksikan. “Nggak ada siapa-siapa, cuma saya, Pak!” Itulah jawaban Arka saat dosen tersebut menanyakan walinya. “Itu wali saya!” Arka turun dari panggung dan menyambut pria tua yang berdiri di dekat pintu masuk Pak Min. Segera dia berlari untuk menyambut beliau yang sudah menjaganya selama ini. “Maaf, Den, tadi banyak tugas. Saya jadi telat.” “Makasih udah disempatkan hadir, Pak.” Arka terharu dan mencium punggung tangan Pak Min, takzim. Nyatanya, Pak Min-lah orangtua pengganti di sisi Arka selama ini. Dia mengajak Pak Min ke atas panggung untuk menemaninya menerima penghargaan itu. Senyum Arka sangat indah. Kejadian itu terekam dalam durasi beberapa menit dari sebuah handycam. Devan berdiri di sana, dengan topi pet untuk menutupi identitasnya. “Congrats, Dek!” Devan kesal karena ini panggilan kelima dari Papa Frans yang tak diangkatnya. Sedetik saja menghilang dari pantauannya, pria itu segera mencari tahu. “Si Papa ganggu aja.” Devan pun menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan. "Ya, Pa." "Dev, kamu di mana?" "Aku-" "Kenapa kamu nggak ada di rumah? Papa sengaja cepat-cepat pulang karena mau ngajak kamu lunch bareng sama Mama." "Aku lagi ada urusan, Pa." "Kamu datang ke acara wisudanya Arka?" "Nggak, Pa!" "Papa dengar suara berisik dari sana." "Aku ada seminar manajemen, Pa. Udah, aku tutup dulu." Devan terpaksa pergi karena Papa Frans sudah mulai mencurigai. Itu hanya akan membebankan Arka pada masalah. Di sisi lain, Arka menoleh ke arah sisi pilar di sudut. ‘Gue ngerasa tadi ada Devan.’ Meskipun sulit, tapi perasaan keduanya menjadi sumber kekuatan untuk melalui semuanya. Akan ada hari di mana keduanya bisa berdiri berdampingan untuk mengutarakan kasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD