Bab 12. Salah Paham

1678 Words
Siang itu, Arka melepaskan stetoskop setelah memeriksa pasien kecil di ruangannya. "Ini resepnya, Bu. Tolong check up rutin, ya! Nanti saya bisa kangen dengan pasien cantik ini kalau dia males check up!" Gadis kecil itu tersenyum. Riwayat penyakit yang sama dengan Devan. "Dokter suka sama aku, ya?" celotehnya, manis sekali. "Baik, Dok, terima kasih banyak, ya. Ayo, Sayang, salam dulu sama Pak Dokter." Setelah keduanya pergi, Arka mengambil agenda di atas meja. Dia melepaskan kalung yang masih tergantung di lehernya. Kunci pembuka agenda cokelat pemberian Eunha di hari spesialnya. Arka menuliskan isi hatinya sambil tersenyum. Dear, God. Aku mencintai angka 28 ini, karena tahun ini, aku mulai mendapatkan Devan-ku kembali. Jika kebencian dalam hati Devan perlahan hilang, itu akan memperpendek jarak antara hatiku dan Papa. Aku yakin, tahun depan akan terasa lebih indah, sekalipun Devan tak yakin hari itu akan tiba. Arka akan selalu memikirkan Devan. Sementara itu, di perusahaan Wijaya Corp, Devan masih berkutat dengan arsip yang diserahkan Eunha, sekretarisnya. Ponsel Devan bergetar, wajah Devan terlihat gusar. Meski berulang kali dia tolak, tetap saja Arka meneleponnya. "Apa lagi? Ganggu aja!" kesal Devan. "Jangan lupa, CHECK UP!" pekik Arka dari seberang sana. "Nggak!" Eunha cengar-cengir mendengarnya. Kekanakan sekali. Devan yang sangat keras, tapi Arka jauh lebih tangguh darinya. Bisa dia tebak, siapa yang akan mengalah. "Iya-iya! Bawel, lo! Ntar gue ke sana! Gue masih ada meeting dengan klien. Mungkin 2 jam lagi gue check up. Nggak usah cerewet! Sialan, lo!" Devan mengakhiri panggilan. Eunha mendekat saat sang atasan membereskan mejanya. Sekretaris cantik itu pun meletakkan segelas air di atas meja. "Bapak sudah makan siang, kan?" "Sudah!" "Obatnya jangan lupa diminum, Pak!" "Saya nggak bawa obatnya!" "Bapak mencoba membohongi saya, ya?" sergah Eunha dengan memicing sedikit mata, bernada interogasi. Devan terkejut ketika Eunha segera mendekat ke arahnya, mencondongkan wajahnya ke arah Devan. "Kamu mau apa?" tanya Devan. Eunha menyentuh jas hitam Devan. Biasanya obat itu selalu di laci. Akan tetapi, dia tak menemukannya hari ini. Devan selalu berkelit. Dia berpikir, jika Eunha menemukan obatnya, pasti akan sangat cerewet dan memaksanya untuk minum obat. Devan terkejut dan merasakan sensasi yang aneh saat Eunha meraba badannya untuk memeriksa jasnya hingga pahanya. Eunha menemukan tube pil itu di saku celana Devan. Tak sadar, dia berhasil membuat wajah bosnya itu memerah. "Kamu nggak sopan!" ketus Devan. "Seenaknya saja menyentuhku! Kamu pikir apa yang tadi kamu raba? Dasar, Gadis m***m! Saya pecat kamu sekarang!" "Mau pecat apa? Bapak sendiri yang memberikan kontrak kerja pada saya selama sepuluh tahun!" Devan kelabakan menghadapi sikap keras Eunha. Wanita tetap menyodorkan butiran pil dan segelas air. "Bisa, nggak, jangan keras kepala? Kalau kamu sakit, orang-orang yang peduli sama kamu akan merasa sedih dan kecewa. Termasuk aku!" Devan terus menatap Eunha, membiarkan ujung jemari gadis itu singgah di bibirnya ketika beberapa pil berhasil masuk. Saat obat itu sudah tertelan, Eunha menawarkan senyuman manis untuknya. "Good Guy! Saya kerja dulu, Pak!" ucap Eunha sambil menepuk pelan d**a kiri Devan. Devan terus menatap Eunha yang kembali serius dengan pekerjaannya. 'Kenapa Lisa nggak seperti dia? Kenapa kamu nggak pernah peduli sama aku, Lis? Siapa gadis itu? Kenapa kamu malah nyuruh dia untuk merhatiin aku? Yang kubutuhin itu kamu! Aku milikmu sekarang, tapi kenapa aku merasa kamu sama sekali nggak pernah berniat memilikiku? Aku benar-benar cinta sama kamu.' Devan bangkit dari duduknya dan merapikan diri. Sudah saatnya dia pergi memenuhi panggilan Arka. "Bapak mau check up?" "Iya." Eunha beranjak dari duduknya dan mendekati Devan. Merapikan jas hitam dan membetulkan posisi dasi sang atasan. "Baru saja saya dapat telepon kalau meeting dengan PT. Blasters diundur jadi jam 4 sore nanti. Jadi, Bapak bisa check up sekarang. Perlu saya temani?" Devan menepis segera tangan Eunha. "Lakukanlah apa yang jadi tugasmu! Jangan campuri urusan pribadiku!" Eunha hanya menatap Devan yang sudah pergi meninggalkan ruangan. "Cobalah lebih care sama dia, Lis. Dia kangen sama lo." Di tempat berbeda, Lusa mengalami kesakitan sendiri. Dengan tangan gemetar, dia meremuk kertas tes yang baru saja dia dapat. Duduk lemah di depan ruang ginekologi di Raztan Hospital. "Apa yang harus kulakukan?" Arka berlari tergesa mendekati ketika Lisa menghubunginya beberapa menit lalu. Dia duduk di samping si cantik itu binar khawatir. "Ada apa?" Lisa segera berhambur, menangis ke pelukan hangat Arka. "Kamu kenapa, Lisa?" Arka segera meraih kertas yang ada di genggaman Lisa. Hasil tes dengan Ultrasonografi jelas terbaca di sana.tDia terkejut saat mengetahui hasil dari tes dengan nama Lisa sebagai pasiennya. "Cystadenoma?" Lisa menghapus air matanya, mengeratkan jemari pada sisi jas putih Arka. "Aku harus apa, Ka? Itu berbahaya, kan? Aku udah hubungi Mama, mereka minta aku untuk jalani operasi di Taipei. Aku takut nggak bisa jadi seorang wanita yang sempurna." "Jangan menyerah, Lisa! Kamu pasti bisa melalui ini semua. Cystodenoma pada dasarnya cuma tumor jinak yang berkembang dari jaringan ovarium kamu yang berisi cairan lendir. Kalau cepat diangkat, ukuran tumornya nggak akan membesar hingga lebih dari 12 inchi. Pengobatan sekarang juga udah canggih, kan? Jangan menyerah! Mimpi buruk itu nggak akan terjadi. Kamu akan tetap bisa jadi ibu untuk anak-anaknya Devan. Aku yakin Devan bisa nerima kamu apa adanya. Sama seperti kamu bisa nerima apa pun kondisi jantungnya, kan?" "Jika itu kamu, apa kamu masih tetap nerima seorang gadis yang−" Arka meletakkan telunjuknya di bibir Lisa, menimbulkan sedikit ketenangan dalam pancaran sinar matanya. Ibu jarinya mengusap lembut bibir sang gadis. Cinta keduanya terpaut dalam sinar mata berembun. "Jika itu aku, aku nggak akan pernah lepasin kamu. Tapi saat ini, kamu udah jadi milik Devan, kan?" Arka memeluk erat Lisa, gadis yang memang dicintainya sejak 6 tahun yang lalu. Cinta yang akhirnya disadari Devan di sana. Kejadian yang menimbulkan kekecewaan di hati terhadap dua orang yang dia percayai. Devan menahan amarahnya, mengeratkan genggamannya di d**a ketika rasa sakit itu membuat detak jantungnya berdetak begitu cepat. Emosi berbaur dalam deru napas memburu. Devan hampir ambruk. Disanggahnya tubuh di sebuah pilar putih. Baru saja hubungannya mulai membaik dengan Arka. Akan tetapi, Si Bungsu itu menyulut api perang yang lebih besar lagi. 'Gue akan balas ini, Ka. Apa hanya karena lo punya hidup yang bebas, lo bisa sesuka hati merebut kebahagiaan orang lain? Nggak, gue akan buat lo ngerasain apa yang gue rasain sekarang. Pengkhianat!' Devan menyeret langkahnya, berjalan tertatih sambil memegang d**a kirinya. Kekecewaan yang tak pernah dia harapkan lagi, kini singgah di detak jantungnya. Adiknya itu mengkhianatinya dengan menjalin hubungan terlarang bersama Lisa yang tak lain adalah calon iparnya sendiri. * Devan mengabaikan rasa sakit dan pergi meninggalkan Raztan Hospital. Dia masih harus meeting dengan sang sekretaris. Mobilnya tiba di depan PT. Blaster. Eunha bingung sebab Devan hanya diam dan belum keluar dari mobil. Wajahnya terlihat dingin. "Bapak baik-baik saja?" "Jangan ganggu gue!" bentak Devan, sedikit kesal. "Kalau Bapak sakit, sebaiknya meeting-nya kita undur saja. Saya yakin, CEO Blasters akan mengerti. Kesehatan Bapak sangat berharga sekarang." Devan tertawa lirih dan meletakkan kepalanya di stir. 'Berharga? Buat siapa? Kalau memang berharga, nggak mungkin rasanya mereka tega ngelakuin ini sama aku, Eunha.' Dikhianati orang yang paling dicintai tentu rasanya lebih sakit daripada ditikam seorang musuh. Kebencian mulai hadir di hati Devan. Kejadian di rumah sakit itu masih bernaung di pikirannya. 'Apa yang bisa bikin lo hancur, Ka? Kebencian Papa, kan? Gue akan buat lo merasakan luka itu lagi. Seumur hidup lo, gue akan buat lo nikmati kebencian Papa sampai lo merasa kematian itu jalan terbaik,' gumamnya, mengutarakan serapah dan ancaman karena kecemburuan sebab Lisa. Devan keluar dari mobil dan masuk ke gedung menjulang tinggi di hadapannya. Saat berjalan membuntuti, Eunha terkejut saat Devan lebih memilih naik melalui tangga. "Kenapa lewat tangga, Pak? Itu ada lift." "Apa lo tau kalau orang yang punya penyakit jantung, nggak boleh naik lift?" "Bapak bohong. Selama ini Bapak selalu naik lift, walau paling jauh sampai lantai 15 dan baik-baik aja, kok. Kalau Bapak naik tangga darurat, Bapak nggak akan sanggup, kita meeting di lantai 25. Nanti Bapak bisa collaps." Meski Devan mulai merasakan sesak di dadanya, dia tak berhenti. Eunha terus membuntutinya menapaki tangga dengan udara sedikit panas di sekitar. Peluh keringat pun terus mengucur di dahi, wajahnya kian memucat. Eunha sungguh mencemaskan atasannya ini. "Pak, tolong berhenti! Jangan lakukan ini!" Eunha menarik lengan Devan, memaksa presdirnya itu berhenti dari langkah lambatnya. "Lo tau rasanya jadi gue? Ini benar-benar sakit. Kalau lo tadi di sana, mungkin lo juga akan sama terlukanya kayak gue. Di satu sisi, dia kayak malaikat dengan terus perjuangin hidup gue. Tapi di sisi lain, dia lebih seperti Dark Angel, malaikat pencabut nyawa yang perlahan-lahan akan merenggut kebahagiaan gue. Itu sama aja dia minta nyawa gue, kan?" Devan terlihat mengerutkan alis, napasnya terdengar berat. Dia bersandar di dinding dengan wajah yang pucat. "Dev, lo baik-baik aja, kan?" tanya Eunha, berbicara tak formal karena situasi sudah semakin darurat. Devan memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. "Dan wanita itu, dia sebenarnya wanita seperti apa? Kenapa dia sekejam ini? Sewaktu kami remaja, buat gue, dia itu satu-satunya peri cantik yang mau temenan sama cowok cacat kayak gue. Sekarang di saat gue yakin gue bisa merasa seperti orang normal lainnya, dia akhirnya menyadarkan gue untuk nggak terlalu bermimpi." Hati Eunha terhenyuh. Ikut pilu dengan luka yang terlihat jelas di sinar mata Devan. "Di saat dulu, dia berusaha menerima semua detak cinta di jantung gue, tapi sekarang, dia berusaha menyadarkan gue dari mimpi indah ini. ‘Kenapa aku harus bertunangan sama cowok cacat itu? Kenapa aku nggak bisa dapatkan cinta saudara kembarnya yang jauh lebih sempurna?’ Dia pasti akan terus mengutuk diri." "Berhenti bicara lo, b******k!" Eunha memegang lengan Devan saat pria itu hampir jatuh dari pijakannya. Devan hanya menggigit lower lip-nya agar dia tak mengerang kesakitan di depan sekretarisnya ini. "Kalau aja gue-" Air mata Eunha bergulir di pipi menangis. Selama ini, dialah saksi semua yang terjadi dalam hidup Devan, juga bagaimana perlakuan Lisa pada Devan beberapa tahun terakhir. Dia merasa sangat kasihan karena Lisa selalu mengabaikan tunangannya sendiri hanya demi mengejar perhatian dari Arka yang dia cintai. "Dev-" Eunha segera memeluk Devan. Walau tak terlalu membantu, tapi dia tak ingin merasa Devan hanya seorang diri sekarang. Kecemasan Eunha semakin meraja ketika dia ikut ambruk karena tak sanggup menahan bobot Devan lagi. Devan anfal dan tak sadarkan diri lagi. "Devan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD