Jantung Arka seolah berhenti berdetak saat Devan yang sudah sejak setengah jam yang lalu tak sadarkan diri. Arka juga tak mengerti kenapa secara mendadak, Devan harus anfal lagi.
'Jangan lakuin ini, Dev! Dasar bodoh! Lo harus bangun!'
"Kuasai diri Anda, dr. Arka!"
Jimmy pun berusaha menenangkan Arka agar lebih berkonsentrasi. Di luar sana, Papa Frans, Mama Wendi, Lisa dan Eunha menunggu dengan cemas.
"Devan harus kuat, Ma. Papa nggak mau Devan−"
"Dia akan baik-baik saja. Dia punya seorang malaikat di sisinya," hibur Mama Wendi menenangkan suaminya itu.
Eunha tak bicara, takut dengan kemarahan Papa Frans.
"Ini semua karena Arka! Papa nggak akan maafin dia jika terjadi sesuatu pada Devan !" kecam Papa Frans, menyalahkan Arka atas apa yang menimpa sang sulung.
Pintu terbuka. Setelah melewati waktu panjang, Arka keluar dengan napas lega, hendak memberitahukan kabar baik itu pada mereka. Namun, kehadirannya bagaikan mimpi buruk.
Satu tamparan keras diberikan oleh Frans Wijaya pada putra bungsunya itu.
"Papa!" seru Mama Wendi, lantas menarik bahu Papa Frans.
Pria separuh baya itu mencengkram kerah jas putih Arka dan menyandarkannya di dinding. Arka hanya berusaha tenang menghadapi amarah sang ayah.
"Sudah dari awal aku tau kalau kamu begitu membenci putraku. Ini perbuatanmu, kan?! Kamu cuma berkedok dokter, bertindak seolah-olah kamu malaikat, tapi di sisi lain, sebenarnya kamu itu malaikat pencabut nyawa yang akan sewaktu-waktu mencabut nyawa putraku di saat kami lengah!" kecam Papa Frans.
Mama Wendi segera menarik lengan Papa Frans, menahan beliau agar tak lebih emosional lagi.
"Papa, hentikan! Jangan bicara seperti itu pada Arka!"
Papa Frans menghempaskan tangan istrinya, menatap dengan marah. "Kenapa? Aku sudah muak dengan anak ini! Kapan dia menghilang dari hidupku?!"
Papa Frans kembali menatap Arka. Arka terlihat tenang karena makian ini sudah bertahun-tahun mengusik telinga, ibarat mimpi buruk yang selalu menemani.
"Kapan kamu pergi? Harusnya aku tak perlu melihatmu lagi di dunia ini, Sialan!"
Arka menatap wajah Papa Frans, ada binar kemarahan di sana bersama setetes bening kristal yang mengalir. Dia segera menghapusnya dan berekspresi dingin.
"Maaf, Pak Frans. Aku tak bisa melakukannya. Saat ini, Anda dan Devan sangat membutuhkanku, jadi aku tak bisa pergi. Nanti saat kalian tak membutuhkanku lagi, aku akan pergi. Aku akan mewujudkan keinginanmu itu, Pak Frans."
Seorang dokter yang tak lain adalah Jimmy pun keluar dari ruangan. Dia segera didekati oleh Mama si kembar.
"Bagaimana keadaan Devan, Dok?"
"Dia sudah sadar, dia ingin bertemu kalian."
Papa Frans dan Mama Wendi segera masuk. Tinggallah Eunha dan Lisa yang menatap empati pada Arka.
"Ka," sapa Eunha.
"Gue nggak apa-apa. Ayo masuk!"
Ketiganya pun masuk. Di depan mata Arka, Devan dihujani banyak perhatian dan cinta. Melihat tatapan sendu Arka, Devan justru tersenyum sinis.
'Apa tadi belum cukup sakit buat lo, Ka? Gue punya hal yang lebih baik lagi dari ini. Tunggu aja,' batinnya.
Kesalahpahaman antar saudara kembar ini memang tak ada habisnya. Saling membenci meskipun menyimpan kerinduan.
Malam akhirnya tiba. Arka berjalan gontai di sisi kedua gadis itu saat mereka tadinya menghabiskan waktu di kantin untuk makan malam. Saat ini hanya mereka yang Arka punya. Namun, cinta yang diinginkan Arka bukanlah seperti ini wujudnya.
"Lo udah nggak apa-apa, kan, Ka?" tanya Lisa.
"It's oke."
"Beneran?" sambung Eunha.
"Iya."
Dari kejauhan, Jimmy berlari dengan tergesa-gesa. Arka takut dia membawa berita buruk terkait Devan.
"Kenapa, Jim?" tanya Arka.
"Devan kabur, Ka."
Entah apa lagi ulah Devan saat ini. Yang pasti, mereka harus menemukan Devan dalam setengah jam sebelum Papa Frans datang. Ketiganya berpencar mencari keberadaan Devan.
"Cepat cari!" perintah Jimmy.
Setelah mencari setengah jam lebih, Arka, Lisa, dan Eunha pun kembali ke hadapan Jimmy dengan napas terengah-engah. Tak mereka temukan Devan di mana pun, ponsel-nya juga tak bisa dihubungi.
"Gimana ini? Om Frans udah nelepon kalau dia lagi on the way ke sini. Kita harus gimana sekarang?" keluh Lisa.
"Bikin repot aja si Devan," tandas Eunha.
Sejak tadi ditinggalkan, Jimmy memikirkan rencana alternatif jika tak menemukan Devan. Jimmy tersenyum manis, menatap dengan seksama wajah Arka.
"Otak cerdas gue ini udah mikirin ini sejak gue tau Devan menghilang. Gue rasa, ini satu-satunya cara kalau kita nggak mau dipenggal sama Si Hitler itu," ulas Jimmy.
"Apa maksud lo, Jim?" tanya Eunha.
"Mungkin dalam keadaan sadar, Om Frans dan istrinya bisa mengenali anak kembarnya. Tapi dalam keadaan tidur, wajah keduanya sama persis."
"Hei, to the point aja," seru Arka, penasaran.
Pintu terbuka. Dua orang pria berpenampilan aneh pun datang dengan senyum khas mereka. Sepertinya mereka sudah ada janji dengan Jimmy.
"Nggak perlu banyak poles, cukup make up pucat aja!" pesan Jimmy.
Arka mulai panik saat kedua orang itu segera menyambar lengannya sesuai perintah Jimmy. Arka mencoba melepaskan diri dari mereka.
"Hei! Apa, sih?" pekik Arka.
"Aku sudah kirimkan fotonya, kan? Kutunggu kurang dari 10 menit lagi. Bisa?" pesan Jimmy.
"Baik, Ganteng!"
Lisa dan Eunha bungkam karena mulai paham dengan rencana yang dijalankan Jimmy. Tak ada pilihan lain.
"Eunha, Lisa! Tolongin gue! Jimmy! Ngeri banget nih b*****g. Gue takut!"
Tak peduli, mereka tetap menyeret Arka. Setelah hampir 10 menit berlalu, Lisa, Jimmy, dan Eunha menunggu Arka dari luar.
Mereka mulai kebingungan saat Lisa mendapat kabar bahwa Frans Wijaya sudah hampir tiba di rumah sakit.
"Kita masuk aja, yuk, Eunha!"
"Ya, perasaan gue nggak enak banget, nih. Kasian juga Arka di dalam. Gue takut Arka diapa-apain sama mereka. Ntar jatah gue dipalak pula sama tuh bencong."
Alangkah terkejutnya mereka karena orang-orang tadi berhasil mengubah tampilan Arka benar-benar mirip Devan. Walau dari ekspresi wajah masih dapat dibedakan, tapi tampilan fisik dibuat seperti duplikat.
"Oh My God!" kagum Eunha.
Jimmy meminta Arka untuk berbaring di kasur Devan. Arka sepertinya masih kesal dan tak bicara.
"Cepetan! Baring!"
Arka menurut dan berbaring saja di kasur.
"Apa cara ini berhasil, Jim?" tanya Arka, sedikit ragu.
"Lo akting, dong. Akting tidur. Atau mau gue suntik pingsan?"
"Ntar kalau malpraktek, gue tabok lo!"
Jimmy mulai merapikan selimut. Pandangan Arka justru beralih pada selang infus.
"Jim, ambilin jarum infus!" pinta Arka.
"Kenapa? Nggak usah sampe segitunya, cukup diplester aja pake kapas. Nggak kelihatan juga, kan?"
"Lo udah bikin gue ngerasain jadi Devan. Jadi jangan tanggung-tanggung. Gue juga pengen tau rasanya jadi dia."
Jimmy pun mengambil peralatan dan bersiap menancapkan jarum itu ke pergelangan tangan Arka.
"Pelan-pelan, Jim. Nanti setelah gue hitung satu, dua, tiga, lo−"
Jarum itu tepat menembus kulit hingga mencapai pembuluh darah. Darah segar mengalir dari sana.
"Sialan, lo! Ini tangan gue! Pelan-pelan!" kesal Arka, merasa perih sebab perbuatan usil Jimmy.
"Justru karena ini tangan lo, bukan tangan pasien, makanya gue nggak pelan-pelan." Jimmy tertawa evil dan berkata, "Kapan lagi gue balas dendam karena lo terlalu terkenal di rumah sakit yang notabene-nya milik bokap gue?"
Setelah beres, Arka berbaring. Sesekali, dia menautkan alisnya karena perih saat cairan itu masuk ke pembuluh darahnya.
"Ya udah, cepetan pejamin tuh mata! Kayaknya mereka bakalan datang!" pesan Jimmy.
Tak sampai sepuluh menit, sepasang suami istri itu memasuki ruang rawat Devan. Arka berpura-pura dan menggantikan posisi Devan yang kini tak terlacak keberadaannya.
"Di mana anak itu? Dokter macam apa dia? Nggak bertanggung jawab! Dasar sampah!" maki Papa Frans.
"Maaf, Pak! dr. Arka sedang ada jadwal operasi. Devan dialihkan pada saya untuk saat ini," sambut Jimmy.
"Bagaimana keadaan Devan, Jim?"
"Sudah lebih baik. Mungkin hari ini atau besok, dia bisa pulang, Tan. Dia hanya perlu memulihkan tenaganya, jangan sampai kecapean lagi."
Mama Wendi mendekati kasur, memegang tangan hangat Arka. Walaupun matanya terpejam, Arka sangat bahagia ketika tangannya digenggam oleh mamanya.
Hal yang membuat Arka terkejut adalah ketika Papa Frans mendekati, mengecup perlahan keningnya dengan seluruh cinta yang dimiliki. Rasa hati seperti beban berat menghilang di hatinya.
'Maaf udah mencuri satu kebahagiaan milik lo, Dev. Tapi thanks banget. Ini hadiah terindah dari Tuhan yang dititipkan-Nya ke lo. Makasih, Pa. Aku sayang sama Papa,' batinnya.
Mama si kembar tersenyum dan mengusap rambut di sisi kepala Arka, namun dia terhenti sejenak.
"Papa pulanglah lebih dulu. Mama ingin di sini, Mama kangen sama putra kesayangan Mama ini," ujar Mama Wendi.
"Nanti kalau sudah ada kabar tentang Devan, kabari Papa!"
Papa Frans pergi meninggalkan ruangan. Ketika dia menutup pintu, helaan napas terdengar dari mereka bersamaan.
"Papamu sudah pergi. Bangunlah, Ka!"
Mereka terkejut. Tentu saja, dia adalah ibu mereka, tahu setiap inchi perbedaan putranya. Arka segera membuka mata, duduk di kasur sambil menatap beliau.
"Dasar bodoh! Gimana kalau tadi Papa sadar? Nekat banget," ujar Mama Wendi.
"Kenapa_"
"Kenapa Mama bisa tau? Tadi Mama pegang telinga kamu, tapi kamu nggak respon. Telinga Devan itu sensitif, nggak bisa disentuh. Bahkan sekalipun nggak bangun, dia risih dan terganggu. Lagian, Devan itu nggak punya lubang tindikan begini," usil mamanya sambil mencubit sedikit telinga putranya itu.
Arka terhenyuh saat mamanya memberi pelukan erat.
"Mama kangen sama kamu, Sayang. Maafin Mama."
"Ma, aku-"
Kebahagiaan yang singkat. Dari balik celah pintu ruangan yang terbuka, Devan memperhatikan mereka. Matanya tampak dingin dan senyumnya terlihat kaku. Dia beralih menyoroti si gadis manis yang berdiri penuh untaian senyum manis. Eunha.
'Kalau Papa nggak cukup kuat untuk bikin lo hancur, gimana dengan wanita itu? Eunha itu dunia lo, kan? Lo harus rasain apa yang gue rasain, Ka. Kalau gue hancur, maka takdir lo adalah lenyap dan musnah! It’s show time!' batinnya.