“Kalau begitu, aku yang keberatan!”
Mahesa dan Kinanti terhenyak. Sontak, mereka melihat kepada Jatayu dengan sorot mata penuh tanya.
“Apa maksudmu, Jat?” tanya Mahesa, spontan. Mimik wajahnya terlihat kaku dan tegang. Kedua alisnya yang lebat bahkan nyaris bertemu. Pernyataan Jatayu yang bernada tegas itu benar-benar di luar dugaannya. Semula ia memperkirakan, sahabatnya tersebut akan meng-iya-kan saja perihal keinginannya, seperti yang sudah-sudah. Namun ternyata …
“Kuharap, kamu tak berniat untuk menghinaku, Sa!” tukas Jatayu lagi.
Mahesa mengernyitkan dahi, “Menghinamu? Apa maksudmu?" Ia tak mengerti. "Mungkin, aku memang suka asal dan kerap bicara ceplas-ceplos, sesukaku. Tetapi, menghinamu adalah hal yang tak akan mungkin aku lakukan, Jat!" tukasnya.
"Jika kamu menjemput Kinanti, tepat di hari berakhirnya kesepakatan kita, lalu mengantarkannya kepada orangtuanya yang sekarang ini adalah mertuaku, maka sama artinya kamu menghina dan melecehkanku, Sa! Melukai harga diriku!”
Hening melingkupi. Mahesa tertegun. Ia sedang mencerna kata-kata Jatayu dan mencoba memahami jalan pikiran sahabatnya itu. Napas berat ia hempaskan dengan kasar.
“Laki-laki macam apa aku, jika sampai membiarkan istriku diantar pulang kepada orangtuanya oleh laki-laki lain? Apa aku memang setakbertanggung jawab itu?” lanjut Jatayu, masih dengan ketegasan yang belum berkurang sedikit pun.
Mahesa menunduk dengan wajah yang memerah. Ibarat anak panah, kata-kata Jatayu itu tak ubahnya Pasopati milik Arjuna yang melesat dan menancap tepat mengenai sasaran. Ia tahu, Jatayu tak bermaksud menyindirnya, namun hatinya sendiri yang merasa tersindir. Seketika, ingatannya melayang pada masa-masa awal kemelut, pasca jatuhnya talaq tiga pada Kinanti.
Jarum jam dinding di kamar Mahesa belum genap menunjukkan pukul enam pagi, saat ia keluar dari kamar mandi dan mendapati Kinanti telah berdiri di ambang pintu kamar dengan mata sembab, membawa dua travel bag besar di tangan kanan dan kirinya. Pandangan keduanya bersirobok, sesaat, setelah itu Mahesa melanjutkan langkah menuju lemari baju.
Mahesa hanya tercenung untuk sepersekian detik lamanya, manakala ia membuka lemari baju dan melihat tak ada satu pun pakaian Kinanti yang tersisa di sana. Namun demikian, ia tidak berbalik badan, apalagi bertanya, meski hanya untuk berbasa-basi saja. Seolah ia memang sudah tak peduli lagi pada perempuan itu. Mau ia pergi atau tetap tinggal, masa bodo amat. Terserah saja!
“Karena sudah jatuh talaq tigamu padaku, aku akan pergi dari rumah ini.” Kinanti memutuskan untuk memulai berbicara. Suaranya serak dan nyaris tak terdengar dengan jelas. Mahesa mendengarnya, namun ia pura-pura tak dengar dan menganggap suara Kinanti itu sebagai angin lalu saja. Karenanya, ia tak menyahut. Langsung disambarnya sebuah kemeja formil biru telur asin dari gantungan, lalu mengenakannya, setelah ia melepaskan piyama mandinya.
“Semua barang-barangku telah ku-packing semalam, jadi kamu tak perlu khawatir ada yang tertinggal. Kalaupun ada, kamu boleh membuangnya,” kata Kinanti dengan suara yang masih serak dan gemetar. Hatinya terasa perih luar biasa, karena keberadaannya tak dianggap ada oleh lelaki yang sangat ia cintai sekaligus yang telah menjatuhinya talaq tiga, beberapa hari yang lalu itu.
Oleh karena tak kunjung mendapatkan tanggapan dari Mahesa, Kinanti berbalik badan, melangkah pelan menuju pintu keluar dengan menjinjing dua tas besar di tangannya. Dalam hati, ia berharap Mahesa akan memanggil. Bukan untuk menahannya pergi, sebab bagaimanapun juga ia sudah tidak bisa lagi tetap tinggal. Menurut Saskia, sahabatnya, di dalam agama, hukum talaq tiga sudah sedemikian jelas dan tegas mengatur, bahwa mereka berdua sudah tidak bisa rujuk kembali. Rumah yang mereka tempati itu adalah rumahnya Mahesa, bukan rumah gono-gini. Sudah dimiliki laki-laki itu, jauh sebelum mereka berdua menikah. Dengan demikian, dirinyalah yang harus keluar. Kinanti hanya berharap, Mahesa memanggil untuk memintanya menunggu sejenak, hingga ia selesai berpakaian, untuk kemudian mengantarnya pulang ke rumah orangtuanya. Ya, hanya mengantar kepada orangtuanya. Sesuai dengan adat Jawa, harusnya Mahesa memang menyerahkan kembali dirinya secara baik-baik kepada ayah-ibunya. Sehingga, sebagai perempuan, dirinya tetap terhormat dan dihargai, meski telah dijatuhinya talaq.
Kinanti berhenti. Tinggal satu langkah lagi, ia akan mencapai ambang pintu. Setelah itu, ia benar-benar akan keluar dari rumah yang telah menjadi saksi bisu bagi kebersamaannya dengan Mahesa selama lima tahun menjalani hidup berumah tangga tersebut. Sedetik-dua detik, hingga lima detik berlalu, namun Mahesa benar-benar tidak terdengar suaranya. Dengan berurai air mata dan langkah berat, Kinanti melangkah lagi, melewati ambang pintu dan … keluar.
Hari demi hari berlalu. Kinanti telah kembali tinggal bersama orangtuanya. Pak Dewo Bumi, ayahnya dan juga Bu Bulan Ryandahani, ibunya, benar-benar shock mendapati kepulangannya itu. Terlebih, putri semata wayang mereka tersebut kembali tanpa diantar oleh Mahesa, suami yang seharusnya menyerahkannya kembali secara baik-baik kepada mereka sebagai orangtuanya, setelah memutuskan untuk berpisah.
“Apakah benar-benar tak ada sedikit saja tersisa itikat baik dari suamimu itu, Kinan?” tanya Pak Dewo Bumi dengan suara geram.
Kinanti tak menjawab. Hanya menggigit bibirnya kuat-kuat. Sekuat tenaga ia berjuang untuk tak menangis.
“Sudah hampir seminggu kamu pulang ke sini, belum juga ia muncul kemari untuk menemui Bapak. Apa suamimu itu pikir kamu itu dilahirkan oleh batu? Sama sekali tak punya rasa hormat kepada orangtua!”
“Meski hanya suami sela atau hanya seorang muhalil, aku berhak, kan, menunjukkan sikap layaknya seorang ksatria, Sa?” lanjut Jatayu, memperjelas maksud kata-katanya semula dengan suara yang sangat tegas.
Mahesa tersentak. Lamunannya pun buyar. Angannya yang mengembara, kembali ke masa beberapa bulan lalu itu pun telah kembali sepenuhnya kepada raganya yang masih duduk lemas di ruang tamu rumah Jatayu.
“Ma—ma—maksudmu?” Kinanti terbata. Ia yang semula hanya diam menyimak obrolan kedua laki-laki di depannya tersebut tak bisa menahan diri untuk tak bertanya. Seperti halnya Mahesa, ia juga sama sekali tak menyangka atas sikap yang ditunjukkan oleh Jatayu itu, mengingat sekental apa persahabatan mereka. Ya, setahu Kinanti, selama mereka bersahabat, Jatayu selalu mengalah dan menuruti apa pun kemauan Mahesa. Bahkan, seolah ia tak pernah memedulikan keinginannya sendiri.
“Laki-laki ksatria itu adalah laki-laki yang bertanggung jawab, mengayomi, dan melindungi, Kinan. Jika aku yang saat ini menjadi suamimu, lalu beberapa hari lagi kita bercerai dan berpisah, kemudian kubiarkan orang lain, terlebih laki-laki lain mengantarkanmu kembali kepada orangtuamu, lantas, bagaimana dengan harga diriku sebagai laki-laki? Itu sama artinya, aku tidak bertanggung jawab. Sebagaimana dulu aku memintamu dengan cara yang baik kepada orangtuamu, maka sebaik itu pula aku harus menyerahkanmu kembali kepada mereka! Itu harga diri, Kinan. Harga diri seorang lelaki ksatria!” tandas Jatayu, tegas.
Kinanti tercekat. Ia tak mampu berkata-kata. Mendadak, lidahnya menjadi sedemikian kaku dan kelu. Ada yang tiba-tiba berdesir di ruang dadanya. Menggelitik-gelitik layaknya sayap ribuan kupu-kupu yang entah dari mana datangnya. Sensasinya tak hanya terasa di dalam rongga d**a, tetapi hingga mencapai perut.
Sejurus kemudian, selaput bening merebak, melumuri kedua bola matanya. Mata perempuan itu memang berkaca-kaca, akan tetapi juga menyiratkan binar-binar, pada sisi lainnya. Di samping rasa haru yang menyeruak memenuhi sanubarinya, lewat sorot mata itu pulalah Kinanti menyampaikan pujian dan kekaguman pada sikap Jatayu.
“Huufth!” Mahesa tiba-tiba menghela napas berat. Terdengar cukup nyaring di tengah keheningan yang berlangsung. Secara bersamaan, Kinanti dan Jatayu menoleh, melihat kepada laki-laki yang sedang bertandang ke rumah mereka itu.