Percikan Api Cemburu

1260 Words
Menyadari semua mata tertuju kepadanya, Mahesa melengos, membuang pandangannya ke luar jendela. Ia sedang tak ingin berkontak mata dengan siapa pun, terlebih dua orang yang ada di hadapannya—Jatayu dan Kinanti. Sebab, perasaannya sedang tidak kondusif. Mood-nya kacau balau, bukan saja oleh kata-kata Jatayu yang terasa menohok baginya, tetapi juga karena ia sempat menyaksikan bagaimana Kinanti memandang Jatayu penuh kekaguman. Sesuatu yang memantik suhu ruang dadanya melonjak drastis. Ada perasaan tidak suka dan tidak terima di dalam hatinya. “Ada yang mau kamu katakan, Hesa?” Jatayu bertanya dengan suara yang tenang. Senyumnya terkulum. Rasa geli yang menggelitik hatinya terpancar pada sorot mata elang itu. Lebih dari sepuluh tahun menjadi sahabatnya, Jatayu cukup hafal dengan tabiat Mahesa. Ia tahu, sahabatnya tersebut sedang tidak suka hati. Sebab ia bukanlah orang yang bisa ditentang kemauannya. “Hmm?” gumam Mahesa, bernada tanya, seraya kembali melihat pada Jatayu, “Apa?” Laki-laki itu balik bertanya. “Apakah ada yang mau kamu katakan? Sanggahan atau pendapat lain, barangkali?” Mahesa mencebik sembari menggelengkan kepala. Baru saja ia hendak kembali membuang pandangan ke luar jendela, ketika tiba-tiba, sebuah ide hinggap di kepalanya, “Eh, tapi …,” tukasnya, menggantung. “Apa?” tanya Jatayu. “Bagaimana dengan pendapat Kinanti? Bukankah tidak ada salahnya, jika kita dengarkan pendapatnya juga?” Pandangan Mahesa beralih kepada mantan istrinya dengan sorot mata penuh arti. "Bahkan, menurutku justru harus. Sebab ini menyangkut kehidupannya juga. Jadi, pendapatnya mesti didengarkan dan diperhitungkan." “Hmm? A—aku?” Kinanti menunjuk dirinya sendiri dengan perasaan gugup yang tak sempat ia sembunyikan. “Ya!” tegas Mahesa, seraya menatap lekat wajah yang berubah-ubah air mukanya itu. Pandangan keduanya bertemu. Sekonyong-konyong, Kinanti bergidik. Sebagai orang yang pernah hidup bersama dalam naungan satu atap, bahkan tidur di ranjang yang sama, Kinanti tahu betul, apa makna dari sorot mata laki-laki yang pernah menikahinya tersebut. “Bagaimana menurutmu, Kinan? Apa kamu setuju dengan rencanaku yang ingin langsung menjemputmu, esok lusa, lima hari lagi itu?” Mahesa kembali bertanya. Sembari menunggu jawaban, ia sedekapkan kedua tangan di depan dadanya. Kinanti terkesiap. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang. Ia yang tak menyangka akan turut ditanyai, benar-benar tak siap dengan jawaban. “Pastinya, kamu pun sama tidak sabarnya denganku, ingin segera kembali bersama-sama, bukan? Mahesa kembali bertanya. Kali ini dengan nada yang multi makna. Ingatlah, betapa kita saling mencintai!” imbuh Mahesa, seraya melirik penuh arti pada Jatayu. “Aku akan langsung mengantarkanmu pada Ibu dan Ayah, sekaligus ingin meminta dirimu kepada mereka. Seperti dulu, sebelum kita menikah lima tahun yang lalu.” Kinanti menggigil, tubuhnya serasa panas dingin. Ia menelan ludah dan menoleh kepada Jatayu untuk meminta pertimbangan. Jatayu yang juga tengah melihat kepadanya, menyambut pandangan perempuan itu dengan senyum bijak dan sorot mata mempersilakan. Sesungguhnya ia sangat paham dengan apa yang terjadi dengan Mahesa, sahabatnya. Oleh karena itu, gestur dan kata-kata mantan suami Kinanti yang menyebalkan tersebut sama sekali tak membuatnya terpancing emosi. “Bagaimana, Kinan?” tanya Mahesa lagi, “Tadi Jatayu sudah mengemukakan pendapatnya. Sekarang giliran pendapatmu. Murni pendapatmu, tanpa harus terintervensi oleh siapa pun!” tandas laki-laki itu, dengan penekanan pada beberapa kata yang diucapkannya. “Emm … baiklah!” tukas Kinanti, setelah beberapa saat lamanya terdiam dalam kebimbangan. Perempuan itu menarik napas panjang terlebih dahulu, lalu mengembuskannya perlahan. Dilakukannya itu hingga beberapa kali, untuk mengumpulkan nyali, menghimpun kekuatan dan keberanian. “Karena kamu terus mendesak, baiklah, akan kukemukakan apa pendapatku, Sa.” Kinanti mulai bicara. “Menurutku, ada baiknya kita mempertimbangkan pendapat Jatayu. Sebab, bagaimanapun, ia telah sangat berjasa padamu, eh … pada kita.” Kinanti cepat-cepat meralat. “Rasa-rasanya, tidaklah etis, jika untuk semua yang sudah ia korbankan, tiba-tiba kita melakukan sesuatu yang bersifat menyinggung atau melukai harga dirinya.” Mahesa tersenyum sinis. Pandangannya tertuju pada Kinanti dan Jatayu secara bergantian. Sorot matanya menguliti. “Apakah ada yang salah dengan pendapatku?” tanya Kinanti dengan nada tak suka, sebab merasa tak nyaman, bahkan terganggu dengan cara mantan suaminya itu memandang. “Tidak juga!” tukas Mahesa, seraya menggelengkan kepalanya hingga beberapa kali. “Aku hanya ingin tahu saja, apa pendapatmu. Sekaligus ingin melihat, apakah perasaanmu padaku masih sama seperti dulu ataukah …” Mahesa sengaja menggantung kata-katanya. “Atau apa?” sambar Kinanti cepat dengan nada tajam menukik. “Tidak! Tidak apa-apa!” Mahesa menggelengkan kepalanya dengan sorot mata sinis. “Tapi sorot matamu itu jelas tidak demikian!” sanggah Kinanti. “Sorot mataku?” tanya Mahesa dengan ekspresi wajah tanpa dosa. “Ha … ha … ha ….” Laki-laki itu pun tertawa keras, hingga berderai-derai. “Memangnya sorot mataku kenapa, Kinan?” Kinanti yang kian jengah, memilih untuk tak menjawab. Karena tak ingin semakin kesal dan muak, serta-merta, perempuan itu bangkit berdiri dari tempat duduknya. Ia merasa lebih baik pergi dan tidak melihat lagi tampang Mahesa yang tampak menyebalkan dalam pandangannya. Jatayu yang untuk sementara waktu hanya menjadi penonton, tanggap situasi. Cepat-cepat, ia meraih tangan Kinanti untuk menahannya, agar perempuan itu tidak jadi pergi. “Duduklah, Kinan!” pintanya, dengan suara yang tetap tenang. Kinanti geming. Sepasang suami-istri untuk sementara waktu itu bertautan pandang. Keduanya menyampaikan permohonan masing-masing lewat sorot matanya. Kinanti tampak bimbang. Sebab ia sudah merasa sangat tak nyaman berada di tempat itu. Sementara di sisi lain, ia juga tak ingin menentang keinginan suami muhalilnya tersebut. “Ayolah, Kinan, duduklah. Kita masih ada tamu. Tidak baik meninggalkan tamu begitu saja, bukan?” pinta Jatayu lagi, dengan suara dan sorot mata arif. “Wow!” celetuk Mahesa, tiba-tiba, sembari bertepuk tangan. “Hebat … hebat … luar biasa! Lihatlah, kalian ini sudah seperti suami istri saja!” Pandangan Jatayu yang semula tertuju pada Kinanti, serta-merta beralih kepada laki-laki yang duduk di hadapannya itu. “Apa maksudmu, Sa?” “Maksudku?” Mahesa balik bertanya. “Aku hanya berpendapat, menanggapi apa yang aku lihat.” “Memangnya, apa yang kamu lihat?” “Yang kulihat, ya, kalian berdua itu. Sudah seperti suami istri sungguhan saja!” tukasnya dengan nada tak suka. “Apa menurutmu, kami bukan suami istri sungguhan?” tanya Jatayu, cepat. Mahesa terdiam, tak menjawab. Laki-laki yang di dalam dadanya sedang terpantik api cemburu itu hanya menatap sahabatnya sembari menggedikkan bahu. “Apa kamu lupa, bahwa aku telah mengikrarkan akad pernikahan atas Kinanti di depan penghulu?” Jatayu melanjutkan. “Ada mahar, ada saksi, dan juga ada wali. Itu artinya, pernikahan kami sah. Jadi, kami memang suami istri sungguhan.” Jatayu menegaskan. “Tetapi, aku harap kamu juga tidak lupa, Jat, bahwa pernikahan kalian itu bisa terjadi karena adanya kesepakatan di antara kita!” sergah Mahesa, mengingatkan. “Tidak! Aku tidak lupa!” tandas Jatayu. “Adanya kesepakatan yang terjadi di antara kita, bukan berarti menjadikan pernikahan yang terjadi di antara kami sebagai sebuah pernikahan bohongan, kan?” imbuh Jatayu. Ruang tamu kembali hening. Lagi-lagi Mahesa terdiam. Mimik wajahnya terlihat serius dan tegang. Ada banyak kata yang sebenarnya ingin ia lontarkan. Akan tetapi, kata demi kata itu terhalau di ambang tenggorokan. Sehingga alih-alih meluncur keluar, apa yang ingin ia samaikan tersebut terdorong turun kembali, hingga ke dasar dan menggema di dalam ruang dadanya sendiri saja. “Jika pernikahan ini bohongan, Sa, maka pernikahan ulang yang akan kalian lakukan nantinya juga tidak akan sah!” Mahesa tersentak. Seolah petir di siang terik baru saja menyambar pendengarannya. Sejurus kemudian, lelaki tampan itu tampak diam tertegun. “Sebab telah tegas dikatakan dalam hukum agama yang sama-sama kita anut, bahwa syarat agar sepasang suami istri yang bercerai lantaran talaq tiga bisa rujuk kembali adalah apabila sang istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain dan lalu dicerikan oleh suami barunya tersebut!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD