Part 14 "Kamu kenapa? Kok diem terus dari tadi?" Aku menoleh ke arah dokter Ardhy yang tengah fokus menyetir. Entah kenapa pria ini mau membantuku. "Maaf dokter, kalau dokter merasa terganggu. Saya hanya kepikiran dengan ibu mertuaku. Tadi nangis-nangis, rasanya gak tega ninggalin beliau." "Hidup adalah pilihan. Dan kamu harus bisa terima konsekuensinya." Aku mengangguk. "Terima kasih, dokter, sudah mau membantu saya." Lelaki berlesung pipit itu tersenyum kecil. "Tidak perlu sungkan begitu, kita ini kan teman. Dan Arini ..." "Ya, dok?" "Emmh tolong jangan panggil saya dokter, kalau kita sedang tidak bekerja." "Tapi dok--" Dia menggeleng lagi. "Panggil nama saja, biar gak terlalu formal." Aku hanya mengangguk. Rasanya benar-benar sungkan. "Nah, sudah sampai. Kita turun dulu,