2. Bukankah kalian masih saling cinta?

1007 Words
Part 2 "Ini, kukembalikan suamiku padamu, Mbak!" Mas Tiar dan Elvina terbengong mendengar ucapanku. Mereka saling berpandangan lalu kembali menatapku dengan heran. "Lho, apa maksudnya ini?" tanya Elvina lagi. "Arini, apa-apaan maksudmu seperti ini? Memangnya aku barang pinjaman sampai dibalikin segala?!" tukas suamiku. "Bukankah kalian masih saling cinta? Aku hanya menyatukan dua hati yang terpisah untuk kembali bersama lagi, kalian rujuk saja, aku yang mundur," jawabku. "Ini gak lucu, Arini!" tukas Mas Bachtiar. "Ya, emang! Dan aku lagi gak ngelawak, Mas!" Nada suaraku mulai meninggi. "Ayah, Tante, kenapa bertengkar?" celetuk si kecil Aqilla. Bocah cantik itu bertanya dengan polosnya membuatku menghela nafas berkali-kali. Ah, kenapa aku jadi susah mengontrol emosi seperti ini. Mas Tiar menatap putrinya lalu kembali menatap wanita yang sudah pernah menjadi istrinya itu memberi kode supaya Aqilla masuk ke dalam rumah. "Ayo sayang, kita masuk!" ucap Elvina dengan nada lembut. Wanita berambut sebahu itu menggandeng putrinya masuk. Kunyalakan kembali mesin motor, lebih baik pulang saja, pasti ibu mertua khawatir karena aku pergi gak pamit. Mas Tiar menahan bagian depan motorku, menghalauku pergi. "Tunggu, Dek! Apa-apaan kau ini?! Kenapa kau malah membawaku kesini? Kau malu-maluin mas saja!" dengusnya kesal. "Seharusnya kau tanya pada dirimu sendiri, Mas! Kau berbagi kebahagiaan dengannya, tapi kau berbagi kesusahan denganku. Harusnya kau mikir dong, Mas, aku ini masih resmi istrimu, dan aku masih punya perasaan! Tapi kamu lebih mementingkan dia dari pada aku! Selama ini kau anggap aku ini apa?" "Dek, aku gak--" Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, gegas kustater kembali motorku hingga Mas Tiar menyingkir memberikan jalan. Sepanjang jalan aku hanya bisa mendumel kesal. Bagaimana tidak, setiap hari aku berusaha bersabar hati dengan sikapnya. Tapi makin kesini dia makin tak menghargaiku sebagai seorang istri. Apa dia hanya menganggapku sebagai perawat ibunya saja? Kenapa dulu dia mencari istri? Bukannya mencari seorang suster saja?! Apalagi status-status Elvina yang sepertinya sengaja memojokkanku, membuat imej buruk untukku, rasanya hatiku makin jengah. [Memang enak jadi perebut, nggak butuh ijazah. Cuma modal senyum, sapa, nempel, dan pamer badan saja bakalan langsung keterima] [Untuk orang ketiga dalam kisah cintaku, ketahuilah bahwa di balik kebahagiaanmu ada hati yang sangat terluka] Dan masih banyak statusnya yang lain gak kuhafal, memang sengaja ditujukan padaku. Satu hal yang membuatku tidak terima, aku bukanlah perebut laki orang. Mas Tiar datang padaku saat statusnya sudah resmi bercerai. Kalau dulu aku tahu mereka masih saling cinta aku takkan mau menerimanya. Aku tak ingin menjadi duri dalam kisah cinta orang lain. Tapi lagi-lagi Mas Tiar meyakinkanku, kalau dia sudah tak ada perasaan apapun dengan mantannya. Meski dia tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang ayah, memberi nafkah pada si kecil Aqilla. "Percayalah Dek, hubunganku dengan Elvina sudah berakhir. Aku sudah tak mencintainya lagi. Kalaupun bertemu itu hanya soal Aqilla saja. Aku mencintaimu, Dek. Ayo menikahlah denganku." Untuk ke sekian kalinya dia melamarku hingga akhirnya aku luluh. Aku mungkin yang terakhir datang dalam hidupnya, tapi bukan berarti aku adalah perebut kebahagiaan orang lain. Dan mungkin aku saja yang kurang beruntung, walaupun yang terakhir tapi tetap menjadi yang kedua, bukan prioritas utama. Memang, kehadiranku baru enam bulan saja dalam hidupnya, nyatanya tak cukup membuat keberadaanku berarti, walaupun sudah ada benih di rahimku ini. Rasa kesalku makin menguat ketika dua hari yang lalu menemukan berkas-berkas jual beli perumahan yang baru. Rumah dengan DP seharga empat puluh jutaan itu lalu cicilan tiap bulan yang tidak sedikit, baru acc sebulanan yang lalu. Dan Mas Tiar menyembunyikan semuanya dariku. Hati istri mana yang tidak sesak mengetahui kenyataan ini? Kuparkir motor di halaman. Sebelum masuk, kuredam segala gejolak emosi di d**a dengan mengembuskan nafas panjang berkali-kali. Setidaknya aku harus tetap tenang saat bertemu dengan ibu. "Mbak Arini, untunglah mbak Arini cepat pulang!" tegur seseorang. Aku menoleh mendapati Mbak Ulfah--tetangga sebelah kami berjalan tergopoh menghampiriku. "Tadi ibu nyariin Mbak Arini," ujarnya kembali. Aku mengangguk. "Terima kasih ya Mbak, udah bantu jagain ibu." "Iya, Mbak. Sama-sama." Gegas aku ke dalam menengok ibu mertua di kamar. "Arini ...!" panggilnya pelan. "Ya, Bu." "Kamu habis dari mana? Ibu panggil-panggil kamu gak ada." Aku tersenyum lalu duduk di sampingnya. "Maaf ya Bu, Arini pergi gak pamit. Tadi ada keperluan sebentar." Ibu mengangguk sambil tersenyum. "Ibu perlu apa? Ibu mau BAB?" Wanita renta itu menggeleng. Ya, sehari-hari beliau buang air kecil dan besar di pampers dewasa karena memang ia sudah tak bisa berjalan maupun menggerakkan tubuh bagian bawahnya. Sudah mati rasa katanya. "Ibu hanya tenang kalau ada kamu di rumah. Tadi perasaan ibu gak enak." Aku menghela nafas dalam-dalam. Bagaimana perasaan ibu kalau tahu aku sedang bermasalah dengan putranya? Bagaimana nanti kalau aku benar-benar pisah dengan Mas Tiar? "Bu, apapun nanti yang terjadi, ibu ikut Arini saja ya?" usulku dengan nada pelan. "Apa maksudnya, Nak?" Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Tolong tetap dukung aku ya, Bu. Aku sayang sama ibu." "Ibu juga sayang sama kamu, Nak. Ibu jadi ingin sembuh, biar gak ngerepotin kamu terus." "Aku tidak merasa direpotkan kok, Bu. Ini kan sudah kewajiban aku. Oh iya Bu, aku mau siapin air hangat dulu buat ibu mandi ya," kilahku saat melihat jam yang bertengger di dinding sudah menunjukkan angka empat sore. Aku tak ingin melihat wanita yang sudah sepuh itu menitikkan air matanya. Ibu mertuaku mengangguk dan tersenyum. Selagi menunggu air hangat, aku langsung memasukkan baju-baju Mas Tiar ke dalam kopernya, lalu meletakkan koper itu di depan teras. Persetan kalau dia komplen. Kalau kamu mau kembali dengan Elvina silakan saja mas, sekalian bawa juga baju dan cicilan hutangmu! Usai memandikan ibu dan memakaikan baju untuknya, mendadak kudengar suara pintu digedor dengan keras dan berulang-ulang. "Arini, buka pintunya!" teriaknya dari luar. "Ibu aku keluar sebentar ya, sepertinya Mas Tiar sudah pulang." Ibu mengangguk sambil membenarkan bajunya yang belum dikancing. Ceklek ... Perlahan pintu terbuka. Terlihat Mas Tiar tampak kacau. "Berisik amat! Ada apa sih, Mas?! Ganggu orang aja!" "Arini, ini kenapa koper dan baju-bajuku ada di luar?!" protesnya. Pandangannya seolah shock dan tak mengerti. "Lho apa ucapanku kurang jelas, Mas? Kan aku sudah bilang, kembali saja sama mantan istrimu itu! Nih, aku sudah siapkan semua. Bawa sekalian baju dan juga cicilan hutang-hutangmu itu?! Dan jangan pernah libatkan aku lagi!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD