Pagi dimulai dengan sarapan bersama keluarga yang masih tersisa dan memang menginap di tempat yang sama.
" Pengantin baru lesu amat." celetuk Mbak Ana, sepupu Vincent yang mulutnya memang rada kurang filter.
" Berisik aja. kayak nggak pernah aja." Jawab Vincent enteng yang membuat telingaku sakit.
" Sasi, sini nak, duduk dekat Mama saja." panggil tante Velia yang sejak kemarin terpaksa ku panggil mama.
Aku berjalan menuju kedua mamaku yang terlihat kian lengket saja.
" Mau makan apa?" tanyanya.
" Sasi lihat- lihat dulu." jawabku setelah menyalami keduanya lalu meletakkan pouch hp serbaguna yang sejak tadi aku tenteng. Dari tempatku berdiri bisa kulihat diluar sana, diarea terbuka, Papaku dan juga papanya Vincent sedang sarapan bersama. Selain keduanya dimeja yang berbeda juga ada Damar dan beberapa sepupu laki- laki kami.
Aku memilih beberapa kue dan potongan buah sebagai sarapan. Jelas seleraku menguap sejak beberapa hari yang lalu dan puncaknya tentu saja kemarin, dimulai dari ijab kabul dibacakan hingga pesta bertabur bunga dan lampu kerlap kerlip.Maka pagi ini, bukan hanya kantuk dan penat saja yang aku rasakan tapi juga perasaan tidak nyaman dibagian perut.
Selain piring berisi kue dan secangkir kopi tidak ada lagi yang aku bawa kemeja tempat Mamaku berada.
" Kamu cuma mau makan itu saja?" tanya Mamaku sembari mengernyitkan sedikit dahinya.
Aku mengangguk dan segera duduk.
" Dari semalam kamu belum makan nasi, ntar sakit perut lagi."ujarnya.
" Mau Mama ambilkan nasi goreng?" kali ini Mama Velia yang bertanya.
Belum sempat aku menjawab dia kembali bertanya," Bihun gorengnya juga enak, kamu mau apa biar mama saja yang ambil?" tawarnya lagi.
Aku menggeleng sungkan," ini saja dulu, ntar kalau masih lapar Sasi ambil sendiri."
Ya kali aku membiarkan Mama Velia sampai melakukannya padaku, bisa-bisa ntar taring nyonya Kamala keluar. Lagipula aku memang benar- benar kehilangan selera makan. Bukan karena sedang malu -malu kucing apalagi sedang jaga image!
Aku menghirup kopiku perlahan. Rasa hangat seketika terasa menjalar, menghantarkan perasaan nikmat dan nyaman.
Moodku sedikit membaik jadinya.
" Makan, kamu suka inikan."
Sepiring nasi goreng sudah terletak didepanku.
Siapa lagi yang berani mengeluarkan nada seperti itu padaku kecuali bocah kurang ajar itu.
Aku jadi tidak bisa mengatainya langsung demi melihat dua ulas senyum sumbringah di depanku. Aku hanya sempat tersenyum pura-pura pada janda kurang kerjaan di dekatku. Dari tadi aura dan tingkahnya ngajak gelut saja jadi jelas aku tidak akan sudi untuk bersikap tulus padanya. Entah apa salahku padanya. Untuk kami yang sangat baru kenal rasanya belum ada kesalahan fatal yang mungkin aku lakukan padanya. Tentu saja aku tidak mengerti dengan sinyal permusuhan yang sudah diberikannya.
Tbc