Bab 5 : Pemilik Cincin

1239 Words
Bianca meraih tangan Zayn dengan lembut, "Zayn, dengar. Aku tahu, aku bukanlah seseorang yang dapat memberikanmu nasihat seperti ini, tapi aku adalah perempuan, dan aku tahu persis apa yang Fiona rasakan." Zayn terdiam, mendengarkan apa yang Bianca katakan. Bianca menghela napas pelan sebelum berbicara lagi, "Zay, jika kamu mencintaiku, kamu harus bisa merelakanku. Aku sudah tiada, dan kamu berhak mendapatkan kebahagiaanmu." ucap Bianca berbicara seperti Fiona. Zayn menatap Bianca dengan mata penuh kesedihan. Dia mencoba memahami kata-kata Bianca, namun sulit untuk menerima kenyataan bahwa wanita di depannya bukanlah Fiona. "Bianca..." gumam Zayn dengan suara parau. Bianca tersenyum lembut, "Zayn, aku tahu kamu sangat mencintai Fiona. Tapi kamu harus ingat bahwa kehidupan ini terus berlanjut, dan kebahagiaanmu juga harus berlanjut. Aku tidak bisa menjadi pengganti Fiona. Aku hanya bisa membantumu untuk melepaskan kehilangan dan memulai lembaran baru." Zayn terdiam, merenung dalam. Bianca merasa perlu menambahkan, "Kamu adalah orang yang sangat baik, Zayn. Aku yakin, di luar sana, masih banyak wanita yang dapat membuatmu bahagia. Mereka mungkin tidak bisa menggantikan Fiona, tapi mereka bisa membantumu merasakan kebahagiaan lagi." Bianca merasa ada tanggung jawab moral untuk membimbing Zayn agar tidak terlalu terpaku pada masa lalu dan membiarkan kehidupan barunya berkembang. Meskipun awalnya pekerjaan ini hanya karena tentang uang, Bianca merasa terdorong untuk memberikan dukungan emosional kepada Zayn. "Bianca, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa Fiona," ucap Zayn perlahan. Bianca tersenyum, "Zayn, kamu harus mencari kebahagiaanmu sendiri. Aku hanya bisa membantu sebatas ini. Jangan biarkan kehilangan Fiona merenggut hidupmu sepenuhnya. Dia pasti ingin kamu bahagia." Zayn mengangguk perlahan, dan suasana mereka menjadi hening. Setelah beberapa saat, Zayn memutuskan untuk berbicara, "Terima kasih, Bianca. Aku tahu kamu hanya melakukan pekerjaanmu, tapi kata-katamu mengobati sedikit lukaku. Aku akan mencoba melanjutkan hidup." Bianca tersenyum mengerti, "Itu yang seharusnya kamu lakukan, Zayn. Hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dalam kesedihan dan kehilangan." Zayn mengangguk, "Aku akan mencoba." Setelah pembicaraan itu, Zayn mengantar Bianca kembali ke apartemennya. Tidak ada yang Zayn katakan selama perjalanan, dia terlihat menyelam dalam pikirannya sendiri. Zayn menghentikan mobilnya di depan lobi apartemen Bianca. Dia melirik ke arah Bianca yang tengah mengambil paper bag pakaian yang digunakan sebelumnya. "Ah ya, cincin ini.." Zayn menggeleng sambil tersenyum, "Untukmu. Aku rasa cincin itu sudah menemukan pemiliknya." Bianca tersenyum, "Terima kasih. Aku harap kita bisa bertemu lagi nanti." Zayn mengangguk dan menatap Bianca keluar dari mobilnya. Rasa lega memenuhi hati Zayn setelah sekian lama. "Perempuan itu benar-benar mirip dengan Fiona." ucap Zayn perlahan seraya meninggalkan lobi apartemen. *** "Cincin ini, dia benar-benar memberikannya?" tanya Farah saat Bianca memberitahu Farah. Bianca mengangguk sambil mengambil snack yang ada dihadapannya, "Ya, dia bilang itu untukku." Farah menggeleng, "Kehidupan orang kaya terlihat mudah, ya? Ini mahal sekali." "Oh? Benarkah?" tanya Bianca tidak percaya. Sekilas cincin itu terlihat biasa saja, bahkan menurut Bianca desain cincin itu terlihat murah. Farah memutar bola matanya, "Aku kenal betul model cincin seperti ini. Ini brand Cartier." Bianca melirik ke arah Farah yang terlihat mengetik sesuatu di ponselnya, "Cartier?" Farah mengangguk lalu menunjukkan layar ponselnya, "Etincelle De Cartier Bracelet." Bianca membulatkan matanya, "Apa?! 121 juta?!" teriaknya terkejut. Bianca tercengang melihat harga yang tertera di ponsel Farah. Pikirannya langsung melayang pada Zayn dan pertemuan mereka di mobil. Cincin itu, yang dia anggap biasa saja, ternyata memiliki nilai yang sangat tinggi. Farah tersenyum puas, "Inilah alasanku selalu menjadi teman baikmu. Kamu selalu membawa keberuntungan." "Far, aku benar-benar tidak tahu cincin ini semahal itu. Apakah tidak masalah jika Zayn memberikannya padaku?" tanya Bianca ragu. Farah menggeleng, "Tenang saja. Terlepas dari itu," Farah mendekati Bianca, "Ca, mungkin Zayn memiliki perasaan untukmu." Bianca terkekeh, "Gila! Itu tidak mungkin. Dia sedang berduka dan butuh dukungan." Farah mendekatkan wajahnya ke Bianca, "Tapi, lihatlah. Dia memberikanmu cincin seharga 121 juta rupiah. Itu bukan sesuatu yang biasa." Bianca menghela napas. Sejujurnya, Farah selalu berpikiran terlalu jauh saat seseorang memberikan barang mahal padanya. Pada kenyataannya, orang-orang kaya itu memberikan hadiah karena Bianca pantas menerimanya. "Itu sesuatu yang biasa," Bianca menunjuk walk-in closet yang penuh dengan beberapa hadiah mahal dari pada klien, "seperti barang-barang itu." Farah mengedikkan alisnya, "Tapi, aku yakin kali ini berbeda." Bianca menghela napas, "Apa kamu lupa? Dia tidak membayar tambahan sewa, seharusnya dia membayar uang sewa tambahan sekitar 24 juta." ucap Bianca kesal. Ya, perjanjian sewa yang awalnya hanya untuk 4 jam, berakhir dengan 8 jam. Farah mengangkat bahunya, "Zayn sudah menggantinya dengan cincin ini." "Ah! Come on!" protes Bianca. Farah mengguncang kepalanya, "Kamu tidak mengerti orang kaya, Ca. Kadang-kadang mereka melakukan hal-hal yang sulit dijelaskan oleh logika biasa. Mungkin Zayn melihat sesuatu yang istimewa padamu." Bianca menutup kedua telinganya dengan airpods, "Terserah." Apa yang dikatakan Farah memang masuk akal, tapi dia tahu bahwa dia hanya pemeran figuran dalam kisah orang-orang kaya itu. Jika kalian berpikir bahwa Zayn akan menjadi pemeran utama cerita ini, sayangnya tidak. Bianca tidak tertarik dengan kisah cinta yang ada seperti di n****+-n****+ romantis. Baginya, uang adalah segalanya, dan tujuannya mengambil pekerjaan seperti ini karena dia ingin membalaskan budinya pada panti asuhan yang telah merawatnya sejak kecil. Ngomong-ngomong soal panti asuhan, Bianca membuka salah satu airpods nya, "Far, apa kamu sudah tahu siapa donator anonim itu?" Farah menggeleng, "Aku tidak mencarinya. Untuk apa mencari donatur itu?" ucap Farah heran. Bianca terdiam sejenak, "Aku hanya penasaran." "Mencari donatur itu tidak memberikan uang. Aku tidak bekerja jika tidak ada uang." ucap Farah realistis. "Sial! Dasar matre." sindir Bianca. Farah tertawa, "Aku sama denganmu, Ca. Uang itu penting, dan kita berdua tahu betul betapa sulitnya hidup tanpa uang." Bianca tidak menyangkal, "Iya, tapi tetap saja, aku ingin tahu siapa orang itu." "Ah, ya!" Farah baru ingat sesuatu, "Bicara tentang panti asuhan, minggu depan ada acara amal di sana. Mungkin kamu bisa bertemu dengan donatur itu." Bianca berpikir sejenak, "Mungkin kamu benar. Kita bisa datang ke sana minggu depan." Farah mengangguk, "Kita bisa datang ke sana jika kamu bekerja lembur." "Lembur?" tanya Bianca kebingungan. Farah tersenyum penuh arti. Bianca tahu senyum itu, "Tidak. Aku tidak ingin pergi ke sana." "Ah, Come on! Hanya satu hari saja." ucap Farah memohon. Farah, teman baiknya ini, mengajaknya berulang kali untuk pergi ke klub malam. Bukan tanpa alasan, tujuan Farah mengajaknya ke sana karena Farah akan melatih Bianca dalam minum alkohol. Ya, alkohol. Sebuah fakta mengejutkan bahwa Bianca sampai detik ini tidak bisa minum alkohol. Jika sedikit saja Bianca meneguk alkohol, dia bisa kehilangan kesadarannya dan mulai mabuk. "Tidak. Aku tidak suka minum alkohol." ucap Bianca menolak. "Tapi ini demi kebaikan klien kita kedepannya! Beberapa klien mengeluhkan jasamu yang tidak bisa minum alkohol. Ayolah!" Farah memohon. Bianca menghela napas, "Tidak. Sekali tidak tetap tidak." Farah memutar bola matanya, "Jika terus seperti ini, aku tidak akan memberikan klien baru lagi." ucapnya mengancam. "Apa? Kamu mulai mengancamku sekarang?" tanya Bianca kesal. Farah bangkit dari kursinya, "Sepertinya aku akan pulang. Mungkin aku akan mencari perempuan lain yang terlilit hutang agar dia mau menjadi sepertimu." Bianca memperhatikan Farah yang berjalan menuju pintu keluar apartemennya, Farah, selalu saja memaksakan hal-hal yang tidak bisa Bianca lakukan. Ya, walaupun sebenarnya, melatih kadar toleransi alkohol Bianca bukanlah hal yang buruk. "Baiklah, baiklah. Aku akan ikut denganmu ke sana." ucap Bianca menyerah. Farah berbalik dengan senyuman kemenangan di wajahnya, "Itu keputusan yang tepat, Ca. Aku janji kamu akan bersenang-senang di sana!" Bianca hanya mengangguk tanpa berkomentar lebih lanjut. Dia tahu Farah selalu memiliki alasan di balik setiap usahanya untuk membujuk Bianca. Meskipun terkadang agak maksa, Bianca juga menyadari bahwa Farah hanya ingin melindungi Bianca agar memiliki toleransi alkohol yang lebih baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD