29 Matahari menjelang siang sudah bertahta di atas kepala kala aku dan Isna keluar dari rumah toko itu dan berboncengan menuju rumah Rahma, tempat di mana Arman sudah menunggu. Beberapa kali jemari Isna mampir di pinggang bila aku tanpa sengaja mengerem dan membuatnya menabrak punggungku. Meskipun aku sudah mengatakan maaf, tetapi dia tetap gemas untuk mencubit. Kalau dihitung-hitung, mungkin sekitar tiga belas sentuhan mesra itu menyentuh pinggangku. Makin aku menjerit, maka Isna makin semangat menancapkan kuku runcing itu dalam-dalam. Penyiksaan itu baru berhenti setelah kami tiba di pekarangan rumah Rahma yang banyak motor parkir berderet. Isna turun dan membuka helm. Jalan mendahuluiku yang tengah melepaskan penutup kepala dan menyugar rambut. Tanpa sadar mataku terus mengekori da