12. Kenyataan pahit

1549 Words
Part 12 Awan memandangku dengan tatapan penuh tanya. "Sekarang Mbak Risna tinggal dimana?" "Di hotel Matahari. Tapi nanti saya mau cari kontrakan aja supaya lebih hemat. Sepertinya saya akan lebih lama berada di sini." "Tunggu sebentar." Lelaki di hadapanku ini meraih tas kerjanya, lalu mengambil sebuah kunci. "Ini kunci rumah saya, Mbak pulang dulu ke rumah saya, nanti sore setelah pulang kerja, kita bicarakan hal ini lagi. Sekaligus saya akan bantu Mbak Risna untuk mencari kontrakan baru." "Tapi--" "Mau dibantu atau tidak?" Aku mengangguk meski agak ragu. Tapi mau minta bantuan siapa lagi, aku tak mengenal siapapun di sini. "Benarkah? Apa tidak merepotkan? Takutnya nanti dikira--" "Tidak merepotkan. Kamu bisa istirahat dulu di rumahku. Di rumah juga ada makanan, kalau mau makan tinggal ambil saja, tidak usah sungkan." "Terima kasih, Mas." Aku mengangguk lagi. Terpaksa aku menerima uluran bantuan lelaki itu, hanya dia sekarang yang kini berada di pihakku. Walau kutahu, pasti ada imbalan yang harus kubayar. Aku menggeleng pelan, akan kupikirkan nanti setelah masalahku dengan Mas Ramdan selesai. "Ya sudah, aku tinggal masuk kerja dulu ya, kamu bisa pesan taksi atau ojek online saja." "Makasih banyak, Mas Awan." Lelaki itu mengangguk dan berlalu masuk ke dalam kantor. Tak membuang waktu, aku bergegas pulang ke hotel untuk check out lebih dulu, mengambil barang bawaanku di kamar hotel dan menuju rumah Awan, naik taksi tentu saja. Rumah Awan melewati rumah Mas Ramdan, masih satu kompleks dan hanya beda blok saja. Rumah itu kemarin jadi saksi bisu pertengkaranku dengannya. Bahkan satu langkah kaki pun aku tak pernah diperbolehkan masuk ke dalam sana. Pintu tertutup dengan rapat, pasti si wanita jalang itu masih tidur nyenyak di rumah itu. Ah, bila mengingat hal itu, seketika hati terasa begitu perih. Tidak Risna! Ingat, kau tak boleh terpuruk. Aku harus segera lepas dari lelaki itu meski prosesnya sedikit berbelit-belit. Taksi berhenti di depan rumah minimalis bercat abu-abu. Sopir taksi membantuku mengeluarkan koper. "Terima kasih, Pak." Meski ragu, aku membuka pintu rumah itu. Untuk ukuran rumah seorang laki-laki yang tinggal sendiri, rumah ini tampak bersih dan juga rapi. Saat siang hari, kompleks perumahan tampak sepi, mungkin karena mayoritas yang tinggal di sini adalah pekerja kantor. Kuaktifkan kembali ponselku. Banyak sekali notif pesan dan panggilan tak terjawab. Dari Mas Ramdan, Mbak Jumiroh, Mitha, bahkan Mas Dewangga. Mereka menanyakan keberadaanku ada dimana. Pesan dari Mas Ramdan sengaja tidak kubuka sampai ada puluhan chat. [Ini aku, Dewangga. Kamu dimana, Ris? Ibu khawatir, beliau selalu menanyakan keberadaanmu. Apa kau baik-baik saja?] Usai membaca pesannya, mendadak kakak ipar menghubungiku. Sepertinya dia standbye dengan ponselnya. Hingga saat pesannya berubah jadi centang biru, dia menelepon. "Hallo." "Hallo Ris, ah syukurlah akhirnya nomormu aktif juga. Kamu baik-baik saja bukan?" Terdengar nada khawatir dari pertanyaan kakak iparku. "Kamu dimana sekarang? Share lokasimu, biar aku yang menjemputmu langsung kesana," lanjut Mas Dewangga. "Hah? Maksud Mas?" "Aku akan kesana menjemputmu. Share lokasimu ya!" "Oh, itu tidak perlu, Mas. Aku belum ingin pulang, aku masih ada urusan di sini." "Urusan apa?" Aku masih diam. Haruskah kubilang semuanya pada Mas Dewangga mengenai sikap adiknya? "Kau tidak kenal siapa-siapa di sana. Ibu khawatir sekali padamu, Risna. Ibu selalu menanyakan kabarmu," sahutnya lagi di ujung telepon. "Aku baik-baik saja, Mas. Tapi aku gak mau pulang dulu. Oh iya maaf, mana ibu? Bisakah aku bicara sebentar dengan ibu?" "Ya, tunggu sebentar." Kuhirup udara dalam-dalam untuk menetralisir rasa di hati. Terbesit rasa bersalah karena sudah meninggalkan ibu mertua. Ibu mertua yang sudah kuanggap layaknya ibu kandung sendiri. Aku sangat menyayanginya. Biarpun beliau tengah sakit, tapi aku merasa ibu juga sangat sayang padaku. Kami terbiasa bercengkrama bersama. Karena sedari kecil aku kehilangan orang tua kandungku dan hidup bersama keluarga angkat walau begitu singkat. Kehilangan disini bukan berarti kedua orang tuaku meninggal, tapi kami terpisah sejak aku masih kecil. Entah mereka masih hidup ataukah sudah mati. Biarpun masih hidup aku tak tahu mereka berada dimana. Tak ada satupun jejak atau petunjuk yang bisa mempertemukanku dengan ayah dan ibu. Sejak kecil dulu, yang kuingat hanya nama ayah, Hadi dan ibuku, Amah, dan satu kakak laki-lakiku. Bayangan wajahnya seperti apa pun sudah samar dalam ingatan. "Hallo Ris, kamu masih disana?" ucapan Mas Dewangga membuyarkan lamunan. "Iya, Mas." "Ini ibu mau bicara, aku ubah ke panggilan video saja ya. Ibu pasti ingin sekali melihatmu." Tak menunggu lama, panggilan itu berubah ke video call. Akupun segera mengangkatnya. Tampak di layar ponsel, ibu langsung menangis saat melihatku. Wajah rentanya terlihat begitu kuyu. "Ris-na ..." lirih ibu bersuara. "Bu, apa ibu baik-baik saja?" Ibu mengangguk pelan. "Ibu, Risna minta maaf ya, gak bisa pulang dulu. Nanti kalau urusan Risna disini selesai. Risna akan pulang. Ibu gak usah khawatir dan cemasin aku lagi ya," sahutku agar ibu tenang. Belum saatnya aku mengatakan sejujurnya mengenai Mas Ramdan, aku justru takut ibu akan shock dan ... Ah, aku tak bisa membayangkannya. "Se-ka-rang ka-mu di-ma-na, Nak?" Aku tersenyum. "Aku di rumah teman, Bu." "Ke-ma-rin Ram-dan pu-lang, ke-na-pa gak sa-ma ka-mu?" Ibu menjeda ucapannya. "Se-ka-rang di-a su-dah ba-lik ke-sa-na la-gi. Ka-mu su-dah ke-te-mu?" Aku tersenyum. "Bu, maaf ya sudah membuat khawatir. Ibu tenang saja ya gak usah pikirin aku. Istirahat saja yang cukup, jangan lupa makan ya, Bu. Obatnya juga harus rutin diminum. Risna tutup dulu teleponnya ya, Bu. Assalamu'alaikum." Kuakhiri video call itu, sungguh aku tak sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya. Ibu, maafkan aku. "Assalamu'alaikum. Hei, sorry menunggu lama." Awan masuk dan menaruh tas kerjanya di sofa. Ia tersenyum ramah. Sejak kedatanganku tadi siang, aku hanya duduk di ruang tamu saja. "Jenuh ya?" tanyanya lagi. "Ya, menunggu adalah hal yang melelahkan apalagi harus berakhir sia-sia." Awan justru tertawa. Dia berlalu ke dalam dan keluar lagi membawa dua gelas serta pitcher / teko kaca yang berisi air dingin. "Minumlah dulu, kamu pasti haus." "Makasih, Mas." Dia mengangguk lalu meneguk air dalam gelas itu. "Oh iya, aku ada info kontrakan. Lokasinya nyaman dan cukup strategis. Apa kamu mau lihat kesana?" "Ya, Mas. Tapi tolong beri tahu dulu tentang foto-foto perselingkuhan suamiku." "Ohoho, kamu sudah gak sabar rupanya." "Aku gak punya banyak waktu lagi, Mas. Aku ingin masalahku cepat selesai, itu saja." "Oke, tunggu sebentar. Kukirimkan fotonya ke nomor wa kamu ya." "Ya ampun, Mas, kenapa gak bilang dari tadi pagi, aku kan gak perlu datang ke sini kalau memang bukti perselingkuhannya ada di hp. Kamu kan bisa langsung kirim lewat WA." Awan justru tertawa lagi. Ah dasar aneh lelaki ini! Aku merasa dikerjai olehnya. "Ini gak lucu, Mas. Kamu niat membantu apa mengerjaiku?" "Sorry, sorry. Maaf ya Ris. Ehemm! Kita gak usah bicara formal ya, anggap aja kita sudah temenan." Aku mendengus kesal. "Maaf Ris, bukan bermaksud untuk mengerjaimu. Tapi, aku cuma ingin lihat sampai mana usahamu untuk menuntut keadilan. Haha." Aku masih cemberut. Apalagi Awan terus saja tertawa. "Nanti aku kirim ya, foto-foto suamimu bersama dengan wanita. Maaf sebelumnya, Risna, sebenarnya Alya bukan satu-satunya wanita yang dia pacari." "Apa maksudmu, Mas Awan?" "Sebelum dia menikah diam-diam dengan Alya, suamimu, Ramdan pernah beberapakali dekat dengan perempuan, pernah berhubungan juga dengan teman sekantor. Tapi memang mereka tak sampai menikah, tidak seperti yang dilakukannya sekarang." Aku mengerutkan kening, benarkah yang dikatakan Awan? Sangat sulit mempercayainya. Tapi, aku benar-benar ... Ah sudahlah. Kalau memang benar, tekadku untuk berpisah dengan Mas Ramdan semakin bulat. "Rasanya aku sungguh tidak percaya, selama ini dia pria baik-baik." "Tau dari mana kalau suamimu pria baik-baik? Kalian kan hubungan jarak jauh, kebaikan yang selama ini dia tunjukkan saat pulang itu hanyalah topeng saja," ujar Awan, kali ini wajahnya terlihat serius. "Kenapa kamu berkata seperti itu, Mas? Ada masalah apa kamu sama Mas Ramdan? Apa ada dendam pribadi?" Awan tersenyum masam. "Kamu tidak perlu tahu, masalah itu sudah lewat. Aku juga tak ingin menambah beban pikiranmu." Ting Ting Ting Awan mengirimiku foto-foto mesra Mas Ramdan bersama seorang wanita. Mataku terasa begitu pedih melihat foto-foto itu. Ada yang saling berpelukan, bergandengan tangan, makan bersama. Seketika hatiku berdenyut nyeri. Bahkan Awan pun mengirimkan video pernikahan Mas Ramdan dengan Alya. "Kau baik-baik saja, Risna?" tanyanya pelan. Kuhapus embun yang menggenang di sudut mata. "Ya, aku tidak apa-apa, Mas. Terima kasih sudah kirim bukti foto dan video suamiku. Aku akan segera mengurus ini semua." "Aku akan membantumu, aku siap jadi saksi bila diminta. Dan, aku juga akan bantu kamu untuk mengerjai si Alya." Aku mengerutkan kening. Awan justru tersenyum miring. "Sekali-kali memberi pelajaran pedas untuk dia, tidak masalah kan?" cetusnya lagi. Setelah selesai, Awan langsung mengantarku ke rumah kontrakan yang dia rekomendasikan. Aku langsung bertemu dengan pemiliknya. Hanya rumah petak yang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk kutinggali sementara waktu. Sudah tersedia kasur dan juga lemari plastik. Tanpa pikir panjang, aku langsung membayar sewa itu selama sebulan. Ada tetangga kanan dan kiri, semuanya sudah terisi. "Mas, terima kasih sudah mengantarku. Tolong jangan beri tahu Mas Ramdan bahwa aku tinggal di sini." "Iya, kau bisa percaya padaku. Sudah ya, aku langsung pulang. Istirahat yang cukup. Dan ini ada makanan untukmu." "Terima kasih." Detik itu juga, lelaki itu pergi. Aku segera masuk ke dalam kontrakan. *** Keesokan harinya, aku segera pergi ke kantor polisi membuat laporan tentang kasus perselingkuhan Mas Ramdan dan juga Alya. Bukti-bukti sudah dikantongi. Rasanya sudah tak sabar melihat mereka kena hukuman. Minimal di penjara meskipun hanya sebentar, tapi nama baik yang akan jadi taruhan. "Baik, laporan Anda sudah kami terima. Kami akan segera memproses kasus ini ya. Terlapor akan segera kami panggil untuk proses penyelidikan," ujar petugas polisi itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD