Aku tersenyum lega. Tersisa satu PR lagi, setelah masalah ini selesai. Pulang kampung dan menggugat cerai Mas Ramdan di pengadilan agama, di kota tempat kami menikah dulu. Lalu kita akan SELESAI, walau butuh proses dan waktu.
Tanpa terasa waktu bergulir dengan cepat. Hampir seharian aku di luar rumah. Lelah rasanya, apalagi aku masih awam daerah sini, bertanya kesana kemari dan mencocokkannya dengan google map. Naik turun angkutan umum bahkan gojek. Aku mampir sejenak ke minimarket untuk membeli cemilan serta minuman.
Aku segera memesan taksi online, supaya tak menunggu terlalu lama, lalu pulang dan istirahat. Tak dinyana aku justru bertemu Mas Ramdan, orang yang paling aku hindari.
"Risna, tunggu! Jangan pergi!" teriaknya memanggilku.
Buru-buru aku keluar dan melihat sebuah mobil, taksi online pesananku. Aku segera membuka pintu mobil dan duduk di jok belakang.
"Pak, cepat jalan!"
"Pak, cepat! Jalan sekarang!" titahku tak sabar. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang. Aku menoleh ke belakang, syukurlah Mas Ramdan berhenti mengejar.
Aku menghela nafas lega. Tetiba ponselku berdering, nomor dari sopir taksi online. Kuangkat panggilannya.
"Mbak, saya sudah di depan minimarket, Mbaknya dimana? Apa perlu saya menunggu lagi?" ujar suara dari seberang telepon seketika membuatku bingung.
Hah? Kalau sopir online masih di depan minimarket lalu mobil siapa yang kunaiki?
Karena panik, langsung kumatikan panggilan telepon itu.
"Pak, stop, Pak!" tukasku pada orang di depan. Pria itu langsung mengerem mobilnya mendadak, membuat kepalaku terbentur jok.
"Aduh, hati-hati dong!" gerutuku.
Pria itu menoleh ke belakang, hingga terlihat jelas wajahnya.
"Kamu?!"
Aku mengusap dahi pelan dan tersenyum salah tingkah. Aduh, mana kata Awan dia bos galak! Bisa-bisanya aku nyasar kesini.
"Maaf Pak, saya tidak tahu kalau ini ternyata mobil bapak," ucapku gugup. Bisa-bisanya aku bertingkah konyol seperti ini.
"Saya turun di sini saja. Taksi pesanan saya ternyata ada di belakang, hehe."
Aku hendak membuka pintu mobil tapi sayangnya masih terkunci.
"Tidak usah turun. Saya antar kamu."
"Tapi taksi saya--"
"Cancle saja."
Ucapannya padat dan jelas tapi serupa perintah. Bertepatan dengan itu, sang sopir taksi online kembali menelepon. Terpaksa aku membatalkan pesanan taksi itu walau disahuti kata-kata yang tidak mengenakan hati dari sang sopir. Ah, sudahlah ..
Seketika wajahku berubah. Menurutku, ini hari yang cukup sial. Aku menggeleng pelan, tidak, Allah sudah menakdirkan hari ini seperti ini, jadi tidak boleh mengeluh terus Risna!
"Kamu mau kemana?" tanya pria itu setelah hening beberapa saat. Aku masih mengingat namanya, Reyhan Hadiwilaga.
"Pulang, Pak."
"Dimana rumahmu?"
"Jalan Pancasila, Pak. Kompleks kontrakan."
"Oke."
Pria itu mulai melajukan mobilnya kembali, rasanya begitu canggung bisa satu mobil dengan orang yang tak dikenal. Apalagi Pak Reyhan begitu kaku, berkata seperlunya saja.
Tak berapa lama, mobil berbelok masuk ke Jalan Pancasila.
"Pak, kontrakan saya ada di depan sana!"
Mobil melaju dengan pelan.
"Nah, stop di sini, Pak!" tukasku lagi. Setelah sampai di depan rumah kontrakan. Aku membuka pintu mobil dan turun dari mobil mewahnya yang sejuk karena full AC.
Tak dinyana, pria itupun ikut turun. Matanya memperhatikan sekeliling. "Kamu tinggal di sini?"
Terpaksa aku tersenyum. "Iya, Pak. Terima kasih ya, Pak, sudah antar saya kesini. Maaf sudah ngerepotin," ujarku lagi seraya membungkukkan badan. Dia orang kaya, pasti tidak betah berada di lingkungan seperti ini.
"Siapa namamu?" tanyanya lagi. Kali ini kami bersitatap.
"Saya Risna."
Tampak keterkejutan di wajahnya. "Risna? Risna siapa?"
"Risna Prameswari."
"Siapa nama orang tuamu?"
"Memangnya kenapa ya, Pak, kok tanya orang tua saya segala?" tanyaku penuh selidik.
"Saya cuma ingin tau."
"Oh. Ayah saya Pak Winarno dan ibu Wati, tapi mereka sudah meninggal, Pak," jawabku. Ya, aku memberitahunya tentang keluarga angkatku.
Dulu, saat aku kehilangan orang tuaku, Pak Winarno adalah orang pertama yang menemukanku dan membawaku ke rumahnya, beruntung mereka orang baik jadi aku diasuh sampai besar, hingga aku lulus SMA. Kasih sayang mereka tulus meski aku hanya anak hilang. Mereka juga yang memberikan nama Prameswari di belakang nama Risna.
Pak Winarno dan Bu Wati punya dua orang anak kandung, tapi kakak-kakak angkatku tidak menyukaiku. Tak lama setelah kelulusanku, ayah angkatku meninggal karena sakit. Dua bulan kemudian disusul Bu Wati. Dan setelah kepergian Pak Winarno dan Bu Wati, rumah itu bagaikan neraka, kakak angkat selalu marah dan menjadikanku sapi perah. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari sana dan belajar mandiri. Kukuatkan hati untuk melakukan hal semuanya sendiri. Aku yakin, pasti bisa.
Pria itu merenung sejenak seraya menatapku dalam-dalam. Ia menghela nafas panjang. "Baiklah. Kamu tinggal sendiri di sini?"
"Iya, Pak. Lagi pula saya tidak akan lama di sini, hanya sementara saja."
"Maksudmu?"
"Iya, setelah urusan saya di sini selesai, saya akan balik kampung lagi, Pak."
"Dimana?"
"Dimana apanya?" tanyaku lagi seperti orang bego.
"Dimana tempat tinggal asalmu?"
"Sebuah kota kecil di provinsi Jawa Tengah, Pak."
Dia terdiam lagi untuk beberapa saat.
"Maaf Pak, saya masuk dulu ya? Atau bapak mau mampir? Tapi di dalam saya tidak punya jamuan apa-apa."
"Tidak perlu, saya akan pulang."
Aku pun mengangguk pelan. Tak lama pria itu masuk ke mobil.
"Terima kasih banyak, Pak!" Aku setengah berteriak. Lalu melambaikan tangan padanya. Mobil melaju dan semakin menjauh dari pandangan.
Aku tersenyum sejenak. Ah, dia sih bukan galak, tapi kaku! Apa semua orang kaya bersikap seperti itu?
Aku pun masuk ke dalam rumah kontrakan, merebahkan diri sejenak di atas kasur busa. Hari ini sungguh melelahkan, menguras tenaga dan juga pikiran.
Kuraih plastik belanjaanku tadi, mengambil air mineral dan meneguknya hingga tersisa separuh. Rasa haus di tenggorokan seketika sirna.
Alhamdulillah.
Kubuka bungkus roti dan juga memakannya untuk mengganjal perut, sedari siang tadi aku tak sempat makan. Hingga perut terasa perih dan juga lapar.
Tok tok tok ... terdengar pintu diketuk. Kusibak tirai jendela untuk melihat siapa yang datang. Oh ternyata si Awan.
Kubuka pintu pelan. Lelaki itu tersenyum saat menatapku. Dia langsung masuk tanpa kupersilakan.
"Mas Awan, ada apa kesini, Mas?"
"Mau main aja, nengokin temanku yang manis ini," sahutnya santai.
Dia duduk bersila, aku pun duduk tak jauh darinya sembari meneruskan makan roti.
"Oalah, pantes tubuh kamu kurus begini, makannya cuma roti!" celetuknya.
Aku berdecak. "Tadi cuma mampir bentar ke minimarket jadi beli ini aja."
"Berarti kamu belum makan 'kan?"
"Ini lagi makan."
Lelaki itu tertawa. "Maksudnya, kamu belum makan nasi kan? Kan katanya orang jawa kalau belum makan nasi belum makan. Hahaha."
Aku menggeleng sambil mengunyah roti itu. Ckck, dasar lelaki konyol.
"Jangan-jangan kamu emang gak makan dari pagi?"
Aku tersenyum malas. "Tadi gak sempat cari makan, Mas. Makanya aku beli roti aja yang praktis yang penting perut terisi."
"Ya sudah, keluar yuk! Kita cari makan!"
"Gak mau! Aku kan di sini lagi sembunyi, Mas! Biar gak ketahuan Mas Ramdan."