POV Silvi
Mas Ibra datang mendekat padaku. Ia melempar senyum pada Mas Gama yang tampak agak kaget lalu melambaikan tangan pada si kembar.
"Om Ibaa!" pekik Tania dan Tara senang. Mereka meletakkan mainan dari Mas Gama lalu meluncur turun dari kursi untuk memeluk Mas Ibra. "Kok, Om bisa ke sini? Om mau main juga sama aku dan Adek?"
"Wah, Om Iba juga mau makan di sini?" Tania tak mau ketinggalan bertanya pada Mas Ibra.
Aku tersenyum sementara Mas Gama semakin masam saja. Entah bagaimana, aku merasa agak puas melihatnya seperti ini. Pasti Mas Gama sangat cemburu karena anak-anak lebih dekat dengan Mas Ibra. Mau bagaimana lagi? Memang kenyataannya Mas Ibra lebih banyak hadir dalam hidup anak-anakku.
"Om mampir ke sini," jawab Mas Ibra sambil membelai kepala si kembar bersamaan. "Nanti Om mau ajak kalian sama ibu kalian ke rumah Om."
"Benelan? Jauh nggak?"
"Ada mainan, nggak?"
"Naik mobil Om?"
Mas Ibra tersenyum tipis. "Kalian duduk aja lagi. Kalian baru ketemu sama papa kalian?"
"Ya, telnyata papa aku udah pulang," kata Tara seraya menoleh pada Mas Gama.
Mas Gama berdehem dan tersenyum. Ia menarik lengan Tara untuk lebih dekat dengannya. "Salam kenal." Ia lalu mengulurkan tangan pada Mas Ibra. "Gama."
"Ibrahim, panggil aja Ibra," sahut Mas Ibra ketika ia menjabat tangan Mas Gama.
Aku menatap mereka bergantian. Entah bagaimana, aku bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Remasan tangan mereka bahkan terlihat menguat hingga otot mereka terlihat. Jadilah aku berdehem.
Mas Ibra lebih dulu melepaskan tangan Mas Gama lalu ia tersenyum padaku. "Gimana, Sil? Semua baik-baik aja?"
"Ya, alhamdulillah, Mas," jawabku.
Mas Ibra kini duduk di sebelahku. Tania dengan manja meminta pangku padanya sementara Tara duduk di sebelah Mas Gama.
"Sejak kapan kalian kenal?" tanya Mas Gama.
Aku mengerutkan kening. Kurasa kehidupan pribadiku bukanlah hal yang perlu aku ceritakan padanya. Ataukah mantan suamiku sedang cemburu? Kenapa wajahnya semakin muram saja?
"Udah cukup lama, ya, Sil," jawab Mas Ibra. "Kayaknya sejak anak-anak masih mau dua tahun."
"Ya, udah lama," jawabku.
"Oh, jadi kalian udah lama juga pacarannya?" tanya Mas Gama. Aku bisa mendengar nada kecewa dari bibirnya.
"Kami nggak pacaran," koreksi Mas Ibra. "Kami cuma kenal dan jadi relasi aja. Aku sering order kue di tempat Silvi buat acara kantor."
"Oh, gitu," sahut Mas Gama.
Tania menarik-narik ujung kerah Mas Ibra. "Pacalan itu apa, Om?"
Mas Ibra tersenyum. "Pacaran itu untuk orang dewasa, Tan."
"Oh, anak-anak nggak boleh pacalan?" tanya Tania lagi.
Mas Ibra menggeleng gemas. "Mana boleh, kalau orang udah nikah baru boleh pacaran."
"Ibu sama Om bental lagi mau pacalan, dong. Kan udah mau nikah," tukas Tania.
Mas Ibra tersenyum lagi sementara aku hanya nyengir. "Masih rencana, Tan. Semoga bisa secepatnya."
Tania mengangguk-angguk dengan senyuman di wajahnya. Aku membelai pelan kepala putriku lalu kutatap Tara. Ia tampak nyaman juga dengan Mas Gama dan memainkan mobil kecil yang dibawakan oleh Mas Gama.
"Tara mau makan lagi?" tanyaku.
"Nggak, Buk. Aku kenyang," jawab Tara.
"Oke."
Mas Ibra membiarkan Tania turun dari pangkuannya lalu ia berdehem pelan. "Kamu udah lama tinggal di Jogja, Gam?"
Mas Gama mengulum bibir. "Udah mau dua tahun ini."
"Oh, udah lumayan juga ternyata," tukas Mas Ibra.
Aku menelan keras atas jawaban Mas Gama. Sudah dua tahun ia ada di sini, tak jauh dariku. Namun, kami baru bertemu. Aku menyesap cangkir kopi dengan sedikit kecewa karena mungkin jika Mas Gama masih mengingatku dan mencoba mencariku di rumah orang tuaku, mungkin kami akan bertemu lebih cepat. Mungkin anak-anakku akan bertemu dengannya lebih cepat.
Mungkin. Aku jadi tahu bahwa ia memang telah melupakan aku selama ini. Yah, kenapa aku harus heran? Setelah bercerai, ia langsung memblokir nomorku dan menikah lagi. Tidak cinta dengan Lina? Pasti itu hanya omong kosong. Jangan-jangan mereka telah menjalin hubungan sebelum aku dan ia bercerai?
Ah, kenapa aku harus memikirkan hal itu? Aku menoleh pada Mas Ibra yang masih mengobrol ngalor-ngidul dengan Mas Gama. Lebih baik aku fokus dengan kehidupanku sendiri.
"Mas, kita jadi pergi?" tanyaku pada Mas Ibra.
"Ya. Tentu, kalau kamu udah siap, kita bisa pergi," ujar Mas Ibra. "Tadi kamu naik taksi, kan?"
"Ya," jawabku. Aku menoleh pada si kembar. "Kita ikut Om Ibra dulu, ya. Lain kali kalian bisa main lagi sama papa kalian."
"Kenapa cepet banget, Sil?" tanya Mas Gama tak senang.
Aku melirik jam di pergelangan tanganku. "Udah hampir dua jam, Mas. Mas juga pasti ada yang nungguin di rumah. Bukannya Lea baru demam."
Mas Gama membuang napas panjang. "Lain kali, aku mau ajak mereka jalan-jalan. Atau ke rumah aku."
"Ya, lain kali," sahutku cepat. Kutatap Tara dan Tania bergantian. "Kalian simpan mainannya, kita ke rumah Om Ibra sekarang."
"Tapi, Buk ... aku masih mau sama Papa," ujar Tara.
"Ya, minggu depan lagi," kataku.
Tara tampak agak kecewa, tetapi aku mengangguk padanya. Ia lalu memasukkan mainan dari Mas Gama ke dalam tasnya. Lantas, kulihat Mas Gama memeluk Tara. Begitu erat. Tara juga tidak canggung lagi berada di pelukan Mas Gama.
"Pamit dulu sama Papa," ujarku pada Tania.
Tania mengangguk. "Makasih hadiahnya, Pa. Aku mau main lagi sama Papa besok."
"Tentu, Sayang." Mas Gama memeluk Tania lalu mendaratkan kecupan di keningnya.
Aku bersyukur hari ini pertemuan kami baik-baik saja walaupun aku sempat kesal pada Mbak Lina. Semoga saja Mas Gama bisa memberinya pengertian.
"Hubungi aku kalau ada apa-apa sama mereka, Sil. Aku ayah kandung mereka, ingat itu," ucap Mas Gama ketika kami keluar dari restoran. Si kembar telah digandeng Mas Ibra ke mobilnya.
Aku melipat kedua tanganku di depan d**a. Selama ini aku bisa menjaga mereka sendiri. "Mereka baik-baik aja, Mas. Tenang aja."
Mas Gama mendengkus. Ia kelihatan tidak senang sekali melihat si kembar justru bersama Mas Ibra. "Aku tahu mereka baik-baik aja. Tapi, aku cuma bilang kalau misalnya ... yah, aku harap kamu bisa memberitahu aku apa pun yang berhubungan dengan mereka."
"Oke. Dan jangan lupa, kasih tahu istri Mas kalau aku bukan pelakor. Aku nggak mau balikan sama Mas dan aku udah punya kehidupan sendiri, jadi tolong jangan bicara ngawur lagi," kataku.
Mas Gama mengangguk tipis. Ia harusnya malu dengan ulah istrinya. "Kamu mau pergi ke mana sama Ibra?"
"Ke rumah orang tuanya," jawabku tersenyum.
Lagi-lagi aku melihat guratan kekesalan di wajah Mas Gama. Ia menyugar rambut lalu mendekati mobil Mas Ibra. Ia menundukkan badan di depan kaca belakang mobil yang baru saja diturunkan. Kedua anakku melambaikan tangan padanya.
"Kami pergi dulu," ujar Mas Ibra seraya merangkulku.
Mas Gama mengangguk. "Ya. Aku juga harus pulang. Sampai jumpa, anak-anak Papa."
"Ya, bye!" Si kembar menyahut dengan keras.
Aku segera naik mobil setelahnya. Mas Ibra menyetir dengan santai sambil sesekali melirik si kembar.
"Mas, nggak apa-apa aku ngajak mereka?" tanyaku tak enak. Tadinya, kami berencana untuk pergi berdua saja dulu. Namun, Mas Ibra berkata bahwa tidak masalah sekalian mengenalkan Tania dan Tara pada orang tuanya. Ya sudah, aku menurut saja.
"Nggak masalah, dong. Mereka tahu kalau aku mau ajak kamu sama anak-anak," kata Mas Ibra. Ia menoleh pada si kembar. "Kalian mau kenalan sama Mbah Kung dan Mbah Putri, kan?"
"Ya!"
Aku tertawa pelan. Aku jadi rindu dengan orang tuaku. Aku belum bercerita pada mereka kalau aku sudah bertemu dengan Mas Gama. "Semoga mereka nggak rewel di sana."
"Nggak bakal, ada banyak mainan keponakan di sana. Mereka nggak bakalan bosan," kata Mas Ibra. Ia menatapku dalam-dalam ketika berhenti di lampu merah. "Gimana perasaan kamu setelah ketemu Gama, Sil?"
Aku membuang napas panjang. "Yah, kayak gini, Mas. Aku mencoba untuk berlapang d**a dan memaafkan. Semuanya demi mereka. Tapi, kalau boleh jujur, aku masih susah untuk melupakan rasa sakit itu. Apalagi istri Mas Gama nggak suka dan malah ngatain aku pelakor yang suka ganggu suami orang."
"Abaikan aja. Yang penting kamu bukan wanita kayak gitu," ujar Mas Ibra.
Aku mengangguk. Kami terus mengobrol hingga beberapa menit. Si kembar telah tertidur karena perjalanan yang agak lama ini. Dan kini, aku sangat gugup karena aku telah sampai di depan rumah dengan halaman yang luas. Ada pendopo di tengah-tengah halaman, dan ada taman serta kolam ikan di sisi halaman.
"Mas, ini rumah orang tua Mas?" tanyaku gugup.
Mas Ibra mengangguk. "Ya, ini rumah mereka, Sil. Aku dibesarkan di sini."
"Ya, ampun," desisku.
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Rumahnya besar dan mewah, Mas." Aku menatap Mas Ibra yang tertawa pelan seolah ucapanku konyol. Yah, aku tahu ini rumah dengan arsitektur Jawa, tetapi aku tahu ini adalah rumah milik orang kaya-raya.
"Nggak masalah, Sil. Mereka baik, aku yakin kamu akan cepat akrab dengan mereka. Dan anak-anak pasti akan betah di sini. Kamu turun dulu," ujar Mas Ibra.
Aku turun dengan gelisah. Aku menggenggam tasku erat dan mulai merasa bodoh. "Mas, harusnya tadi aku beli oleh-oleh buat orang tua Mas. Bego banget, aku lupa."
"Aku udah beli di belakang," ucap Mas Ibra. "Jangan gugup gitu, Sil. Aku jadi gemes liat kamu."
Aku tertawa pelan.
"Aku bangunin dulu si kembar," kata Mas Ibra seraya membuka pintu belakang mobil.
Aku mencoba tenang dan menatap pendopo yang besar itu. Dan saat itu seorang pria dengan setelan batik berjalan ke arah kami. Pasti itu ayah Mas Ibra. Aku menelan keras karena kaget karena wajah pria itu tak asing.
"Lho, kamu?" Pria itu juga menatapku terkejut.