Bab 14. Ketemuan

1454 Words
POV Gama Lina tampak dua kali lebih kecewa saat ini. Ia menggeleng dengan air mata mengalir di pipinya. Aku membuang napas panjang lalu menyugar rambut dengan kasar. "Tega kamu, Pa! Kamu nggak mikir gimana perasaan aku sama Lea?" Lina mulai terisak-isak lalu berjongkok di depanku. Aku terduduk di tepi ranjang, menatap istriku yang sedang menangis keras. Perlahan, aku duduk di depannya. Kuraih tubuh istriku lalu memeluknya dengan lembut. "Kita nggak akan bercerai kalau kamu kasih aku kesempatan untuk ketemu sama anak-anak aku dan memberikan apa yang menjadi hak mereka," kataku pada Lina. Lina masih menangis. Bisa kutebak ia masih tidak mau menerima apa yang aku katakan padanya. "Aku mohon, Sayang," pintaku. "Aku udah bilang aku tuh beneran nggak tahu kalau Silvi melahirkan anak-anak aku." "Kamu yakin mereka anak kamu?" tanya Lina sengit. Aku melepaskan pelukan. "Kamu lihat sendiri mereka mirip sama aku, Ma." Lina merengut. "Tapi Silvi sengaja pergi dari kamu, Pa. Mereka bukan urusan kamu lagi!" "Silvi pergi karena ... semua itu salah aku. Masa lalu kami ... semua itu karena aku yang salah, Ma. Aku tahu. aku bersalah sama Silvi," kataku penuh sesal. Lina menggeleng pelan. "Apa kamu mau kembali sama Silvi, Pa? Apa kamu akan menemui wanita itu karena kamu mau balikan sama dia?" "Nggak," jawabku. Padahal, tadi aku sangat ingin mengembalikan semuanya seperti dulu. Aku ingin hidup bersama Silvi dan anak-anak kami. "Silvi udah punya calon suami." Kedua mata Lina membulat. Ia tampak jauh lebih lega sekarang. "Jadi ... Papa cuma mau ketemu sama anak-anak itu?" "Ya, mungkin nggak setiap hari. Sesekali, Sayang. Kamu juga harus kenal mereka dan menerima mereka dengan baik," ujarku. Lina mendengkus keras. Ini mungkin yang berat baginya. Namun, aku tidak ingin membedakan si kembar dan Lea. Ketiganya anakku. "Bisa kamu menerima mereka, Sayang?" tanyaku seraya membelai dagu Lina. Lina mengangguk pada akhirnya. "Jangan sampai kamu terpikat kembali dengan mantan istri kamu, Pa! Aku nggak akan ikhlas!" "Kamu nggak usah khawatir, aku ngelakuin ini hanya demi tanggung jawab aku sebagai seorang ayah." *** POV Silvi Seminggu berselang sejak aku dan Mas Gama bertemu. Kami sudah mencapai kesepakatan. Ia akan bertemu Tania dan Tara setiap akhir pekan. Aku akan menemani mereka di awal pertemuan karena aku ingin memastikan mereka baik-baik saja bersama Mas Gama. Dan hari ini, kami janjian bertemu di sebuah restoran untuk makan siang. Si kembar sangat tidak sabar untuk bertemu dengan ayah mereka, sejak pagi mereka sudah bertanya kapan mereka bisa bertemu dengan Mas Gama. Entah bagaimana, itu membuatku agak waswas. Aku cemas jika mereka akan terluka suatu hari. Aku tidak bisa sepenuhnya mempercayai Mas Gama. Aku bahkan tak tahu apakah mantan mertuaku masih hidup atau tidak. Aku tidak tahu bagaimana reaksinya jika tahu aku melahirkan anak-anak Mas Gama. "Buk, Papa mana?" tanya Tara padaku. Ia yang paling antusias dengan pertemuan ini. Bahkan, ia berharap agar Mas Gama bisa datang ke sekolah untuk perlombaan Selasa nanti. Aku jadi tidak enak pada Mas Ibra karena ia sudah berjanji akan datang. Namun, Mas Ibra juga sudah berkata akan mengalah jika memang ayah kandung mereka yang akan datang ke sekolah. "Ehm, mungkin masih di jalan," jawabku seraya membelai kepala Tara. "Kok, lama? Katanya jam satu, ini udah jam satu lebih," kata Tara lagi. "Coba Ibu telepon," kataku seraya mengeluarkan ponsel. Sebenarnya aku sangat malas berbicara dengan Mas Gama. Jika itu tidak demi si kembar, aku tak akan melakukannya. "Iya, Buk. Aku mau ketemu Papa," kata Tania ikut-ikutan. Aku tersenyum lalu menekan tombol panggil di kontak Mas Gama. Aku menunggu beberapa saat hingga aku mendengar panggilanku dijawab, tetapi alih-alih suara pria, aku justru mendengar suara wanita. Aku tahu wanita itu adalah Mbak Lina. "Ngapain kamu telepon Mas Gama?" tanya Mbak Lina. Aku mengerutkan keningku. Dari Mas Gama aku tahu bahwa ia telah memberi pengertian pada istrinya, tetapi kenapa justru Mbak Lina bersikap seperti ini? "Maaf, Mbak. Hari ini Mas Gama janjian mau ketemu sama anak-anak," kataku setenang mungkin. "Ketemu anak-anak atau ketemu kamu? Nggak usah gatel sama suami orang, tolong kamu jangan ganggu dan usik suami aku!" kata Mbak Lina ketus. Seketika darahku mendidih. Apa-apaan ini? Kenapa ia mengataiku seperti itu? "Mbak, Mbak tahu aku nggak punya maksud kayak gitu." "Alah, semua pelakor mah kedoknya sama. Alasan anak, padahal dalam hati mau balikan sama mantan suami. Ingat, ya, Sil, Mas Gama itu udah punya istri. Jadi, kamu jangan ganjen jadi cewek!" Wah, aku benar-benar tidak terima saat ini. "Bilang aja, Mas Gama jadi ke sini atau nggak? Kalau nggak, aku bakal pulang sama anak-anak." "Mas Gama nggak akan pernah kembali sama kamu! Titik!" Aku mendesis kesal ketika panggilan telepon kami terputus dengan obrolan yang sangat tidak masuk akal. Aku mengatur napas ketika sadar aku ada di depan anak-anak polosku. Keduanya saling menatap lalu mengangkat bahu bersamaan. Pasti ekspresi marahku membuat mereka sama-sama bingung. "Kayaknya papa kalian nggak jadi datang," ujarku yang masih jengkel. "Hah? Kenapa, Buk?" tanya Tara. "Ehm ... mungkin ...." Ucapanku belum selesai karena dari pintu depan sosok yang kami tunggu akhirnya datang. Aku mengepalkan tangan, menahan segala amarah yang membuncah di hatiku. "Hei, kalian lama nunggunya? Maaf, Papa agak telat." Mas Gama mendekat lalu duduk di kursi yang kosong. Ia langsung menatap anak-anakku dengan senyuman penuh. "Tara dan Tania udah dari tadi?" "Ehm, aku kila Papa nggak datang," ucap Tara. "Aku seneng Papa ke sini," ujar Tania. Senyuman Mas Gama semakin melebar saja. Ia pasti senang karena telah diakui oleh anak-anak kami sebagai seorang ayah. "Sebaiknya kita pesen makanan," ujarku seraya membuka buku menu. "Kalian mau makan apa?" "Nasi goyeng," jawab Tania. "Oke." "Tara mau makan apa?" tanya Mas Gama. "Ehm, sama. Nasi Goleng," jawab Tara. Mas Gama melirikku, tetapi aku terlalu kesal dengan ucapan Mbak Lina tadi. Aku menebak ponselnya ketinggalan dan yang menjawab kebetulan adalah Mbak Lina. "Kamu mau makan apa, Sil?" tanya Mas Gama padaku. "Aku nggak usah," jawabku ketus. "Kenapa kamu bicara kayak gitu?" bisik Mas Gama padaku. Aku mendengkus. "Tadi aku telepon dan yang jawab istri Mas. Kayaknya dia salah paham sama hubungan kita." Mas Gama meraba kantong celananya. "Ponsel aku ketinggalan, Sil. Maaf. Lina ngomong apa sama kamu?" Aku hanya menatapnya sinis. "Kita pesen makanan dulu aja." Mas Gama mengangguk. Ia melambaikan tangan pada pramusaji dan kami diminta menunggu makanan. Mas Gama juga tidak memesan makanan, tetapi ia membeli dua cangkir kopi s**u untuk kami berdua. "Kalian udah pinter makan sendiri?" tanya Mas Gama ketika makanan kami dihidangkan dan si kembar langsung mulai makan masing-masing. "Ya," jawab keduanya dengan ceria. "Pinter banget anak Papa," ujar Mas Gama. Ia mengulurkan tangannya ke kepala mereka. "Papa kenapa tadi lama?" tanya Tara dengan mulut penuh nasi goreng. "Ehm, tadi ... tadi adek kalian sakit. Dari kemarin demam, jadi agak rewel," jawab Mas Gama. Aku membuang napas panjang. Aku harap ia tidak sedang membual. "Adek?" Tara tampak tak mengerti. "Ya, adek. Kalian ingat waktu beli mainan kemarin, kalian ketemu sama Lea, itu adek kalian juga," kata Mas Gama. "Wah! Tania jadi kakak dong," celetuk Tania dengan nada senang. Mas Gama mengangguk. Aku mendengarkan obrolan mereka yang terkesan seru. Tania terkadang bosan menjadi adik. Ia sering bertanya padaku apakah ia bisa menjadi kakak seperti teman-temannya yang memiliki adik kecil. "Kamu mau main bareng Lea? Kapan-kapan kalian bisa ketemu sama Lea," kata Mas Gama. Tania melirikku. "Boleh, Buk?" Aku tersenyum kaku. Entah apa yang akan dikatakan oleh Mbak Lina yang kalau marah sudah mirip nenek sihir itu jika anak-anakku dibawa ke sana oleh Mas Gama. Aku tidak mau mereka kenapa-kenapa. "Kapan-kapan aja, jangan sekarang," ujarku. Si kembar kini mulai sibuk makan. Sesekali mereka mengobrol dengan Mas Gama. Dan setelah selesai makan, mereka berdua bermain dengan mainan baru yang dibawakan oleh Mas Gama. "Tadi Lina bilang apa sama kamu?" tanya Mas Gama padaku. Aku menyesap kopi s**u dari cangkir yang telah dingin. "Dia bilang aku udah gangguin Mas. Dia nganggep aku sebagai pelakor. Gimana, sih, Mas? Mas nggak jelasin semuanya ke Mbak Lina? Aku nggak mau terlibat masalah kayak gini, tahu nggak? Aku cuma mau anak-anak kenal sama ayahnya, udah cukup. Aku nggak berhasrat mau balikan sama Mas. Harusnya Mas jelasin itu ke dia." "Udah, Sil. Aku udah jelasin sama Lina. Mungkin dia belum terlalu bisa terima aja," kata Mas Gama. "Tapi aku nggak mau dianggap kayak w************n, Mas. Tolong, ya, jelasin ke dia. Aku udah mau nikah dan aku nggak mau dianggap ganggu suami orang," kataku. Mas Gama mengangguk. Ia terdiam selama beberapa detik dan hanya menatap si kembar. "Kamu mau nikah dengan pria seperti apa, Sil?" Aku menoleh ke pintu depan, ketika itu Mas Ibra masuk ke ruangan. Aku memang sengaja bertemu dengannya hari ini. Aku akan diajak ke rumah orang tuanya untuk berkenalan. Dan aku tidak mau ada kesalahpahaman yang berkelanjutan di antara aku, Mas Gama dan Mbak Lina. "Itu calon suami aku, Mas." Aku menunjuk Mas Ibra yang tengah tersenyum padaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD