Aku menatap gamang ke arah si kembar. Sebenarnya, aku juga ingin mereka mengenal ayah kandung mereka. Mereka memiliki hak untuk tahu siapa ayah mereka. Namun, setengah hatiku masih sangat terluka dengan masa laluku. Bagaimana tidak, aku dituduh selingkuh tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan. Aku bahkan diusir setelah ditalak.
Dan yang paling menyakitkan adalah, aku selalu dikatai sebagai wanita mandul. Astaghfirullah, itu sungguh membuat hatiku remuk. Apalagi ketika aku tahu ternyata aku hamil.
"Aku nggak tahu, Mas. Aku masih sakit hati," jawabku pada Mas Ibra.
Di depanku, Mas Ibra mengangguk. "Ya, aku tahu kamu pasti terluka, Sil."
"Selama ini, aku berjuang mati-matian untuk membesarkan mereka, Mas. Aku hamil dan melahirkan sendiri tanpa Mas Gama tahu. Di luar sana ... entah di mana, dia menikah lagi dan menikmati hidupnya. Sekarang setelah anak-anak besar, dia seenaknya mau mengenal mereka?" Aku menggeleng dengan tangan terkepal. "Semudah itu dia ngomong. Dia nggak tahu perjuangan aku!"
Aku menahan isak tangisku pecah dan kembali mengaduk-aduk nasi dengan tangan.
"Aku tahu kamu masih sakit hati, Sil, tapi mereka juga berhak tahu siapa ayah kandung mereka, Sil," ujar Mas Ibra.
"Ya. Aku juga kepikiran gitu, Mas." Aku mencoba untuk makan lagi meski sekarang selera makanku telah raib. "Menurut Mas gimana? Apa aku biarin aja Mas Gama ketemu sama anak-anak? Tapi, aku cemas itu bakal bikin masalah. Istrinya kayak nggak suka sama aku dan anak-anak."
"Kalau sebatas saling mengenal antara ayah dan anak, aku rasa nggak apa-apa, Sil," kata Mas Ibra lagi. Ia menatapku penuh makna. "Suami-istri bisa berpisah, tapi hubungan anak dengan orang tua nggak bisa dipisahkan begitu aja."
Aku mencerna ucapan Mas Ibra. Yah, itu benar. Bagaimanapun mereka adalah anak kandung dari Mas Gama. Sebatas mengenalkan mereka mungkin tidak apa-apa. Si kembar pasti akan mengerti bahwa aku dan Mas Gama tidak akan pernah bersama kembali. Kami memiliki kehidupan masing-masing.
Namun, untuk saat ini aku masih ingin bersikap egois. Lagipula, belum tentu aku akan bertemu Mas Gama lagi. Benar, dia tinggal di Jogja—katanya—tapi Jogja juga sangat luas. Mungkin dia tinggal di kota sedangkan aku di perbatasan.
"Kamu masih bimbang?" tanya Mas Ibra.
"Ya. Aku kadang mikir, lebih baik aku nggak pernah ketemu Mas Gama lagi," jawabku.
"Pasti, Sil. Kamu udah dibuat terluka sama dia," sahut Mas Ibra. Ia membuang napas panjang. "Tapi kalian udah terlanjur ketemu dan menurut aku kamu nggak bisa terus mengindar. Pasti akan ada masa anak-anak ketemu sama Mas Gama. Di usia segini mereka pasti udah makin kepo, Sil."
"Ya, mereka udah tanya-tanya, Mas. Mereka pengen kayak temen mereka yang lain punya ayah," ujarku sedih.
Mas Ibra tersenyum tipis. "Kamu tahu, aku selalu siap untuk peran itu."
Aku menatap Mas Ibra dengan berdebar. Ia terlalu baik untukku. "Mas, aku janda."
"Aku juga duda," sahutnya dengan nada serius.
Yah, aku tahu itu. Mas Ibra pernah bercerita. Ia menikah ketika berusia 24 tahun. Usia yang sama denganku ketika pertama membina rumah tangga dengan Mas Gama. Bedanya, aku menikah selama 3,5 tahun dan ia hanya sebulan. Istrinya sudah sakit keras ketika mereka menikah dan akhirnya istri Mas Ibra meregang nyawa.
Mas Ibra tak pernah menikah lagi hingga sekarang di usia 37 tahun. Ia tiga tahun lebih tua dariku. Kami sudah kenal selama hampir empat tahun sejak aku merintis usaha toko kue. Dan kabarnya, ia hanya pernah dekat denganku.
"Aku pengen serius bukan hanya untuk kamu, Sil. Tapi juga untuk mereka," kata Mas Ibra dengan tatapan tertuju pada si kembar. "Aku ingin melindungi kamu dan anak-anak. Kamu pasti khawatir mantan suami kamu akan datang mengusik, dan kalau ada aku ... Gama pasti tahu batasannya."
Kedua mataku bergetar karena ucapan Mas Ibra. Dan tiba-tiba ia merogoh sesuatu dari kantong kemeja batiknya. Ia mengeluarkan kotak kecil berwarna merah. Oh, tidak! Apakah ia menyiapkan lamaran?
"Aku mau menikahi kamu, Sil," katanya seraya membuka kotak itu.
Sebuah cincin berkata berlian tersaji di depanku. Aku hanya bisa ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Mas Ibra melamarku!
"Aku janji akan menjaga kamu dan anak-anak sepenuh hati aku, Sil," ujar Mas Ibra lagi.
Aku mengerjap. "Mas ... ini ...." Mendadak aku malu, aku sedang mengaduk-aduk nasi dengan ayam krispi geprek. Tentu saja sangat tidak pantas jika aku menerima cincin itu sekarang. Oh, tidak! Apakah aku harus menerimanya?
"Kamu nggak harus jawab sekarang, Sil." Mas Ibra tersenyum. "Yang penting, aku mau kamu tahu kalau aku emang serius sama kamu. Aku nggak mau kamu galau apalagi merasa sendirian menghadapi mantan suami kamu yang mungkin akan datang lagi di kehidupan kamu. Ada aku, Sil."
Kedua mataku basah sekali saat ini. Aku tentu ingin menerima lamarannya, ya, Tuhan! "Aku harus bicara sama anak-anak, Mas."
Mas Ibra tersenyum lagi. "Tentu aja. Aku juga nggak mau mereka mikir kalau aku mau mengambil ibu mereka."
Kami berdua tertawa. Dan ketika itu si kembar berlari mendekat. Mas Ibra menutup kotak cincin dan memasukkannya ke tasku yang tergeletak di atas meja. "Aku nggak bisa romantis, maaf, Sil."
Aku tertawa lagi. Bagiku, semua kata darinya sangat romantis.
"Ibuuk! Ayo pulang, aku mau main lakit keleta!" kata Tara.
"Iya, aku udah capek pelosotan. Mau main masak-masak di lumah. Sama Om!" teriak Tania.
Aku dan Mas Ibra bertatapan. Selera makanku langsung meningkat. "Ibu habisin nasi dulu, bentar. Abis itu kita pulang."
***
Dengan mobil masing-masing, kami akhirnya tiba di rumahku. Tara dengan semangat membuka kotak mainan kereta miliknya. Ia dan Mas Ibra duduk di atas karpet, tak jauh dari aku dan Tania yang sedang menyiapkan mainan masak-masakan.
"Ibuk, aku masak bakso," kata Tania. "Nanti Ibuk beli, ya!"
"Iya, Sayang." Kulirik Mas Ibra dan Tara yang begitu serius merakit kereka hingga relnya. Aku tersenyum, mereka berdua memang perpaduan yang cocok. Sesekali mereka tertawa jika rakitan mereka tidak tepat.
Setelah bosan dengan kereta, Tara mengajak Mas Ibra bermain bola di luar hingga hari mendekati Maghrib. Aku lantas meminta anak-anak untuk mandi lalu bersiap sholat berjamaah lagi.
Mas Ibra yang menjadi imam. Setelahnya kami makan malam bersama. Jika membayangkan bisa menjalani kehidupan seperti ini bersama setiap hari, pasti aku akan sangat bahagia. Namun, aku tahu menjalani biduk rumah tangga tidak selalu manis seperti yang dibayangkan. Terkadang, aku masih merasa trauma.
"Om, tanggal 20 Om ada acara, nggak? Hali Selasa," kata Tara.
Aku berdehem pelan. Aku tak ingin merepotkan Mas Ibra jika itu soal sekolah anak-anak.
"Om kerja kayak biasa, kenapa? Kamu mau ngajak Om jalan-jalan?" tanya Mas Ibra.
"Oh, Om kelja. Jadi, Om nggak bisa datang ke sekolah Tala, dong."
Mas Ibra menatapku sejenak, ia lalu tersenyum pada Tara lagi. "Di sekolah emang ada acara apa?"
"Ada lomba. Anak-anak sama ayah," jawab Tara.
Mas Ibra membulatkan bibirnya. Aku menggeleng pelan karena tak enak.
"Kamu mau Om datang?" tanya Mas Ibra.
"Iya. Aku nggak punya ayah, tapi kalau Om datang pasti bakalan selu. Tania juga mau lomba ditemani Om," ujar Tara.
"Ibu yang bakal datang," kataku.
Tara mencebik. "Tapi Ibuk bukan ayah!"
Mas Ibra membelai kepala Tara dengan lembut. "Om pasti akan datang. Kamu tenang aja. Nanti biar Om tanya jadwal pastinya sama ibu kamu."
"Benelan?" tanya Tara dengan mata membulat.
"Ih, aku seneng Om ikutan lomba!" seru Tania ikut-ikutan.
Mas Ibra nyengir padaku. "Ya. Om nggak bohong."
"Holeee! Holeee!" Kedua anakku bersorak dengan senang. Sementara aku hanya bisa berdebar-debar.
"Kalau Om ikutan lomba, belalti Om jadi ayah Tania, dong!" ujar Tania meringis.
"Iya! Aku mau punya ayah, Buk. Om Iba bisa jadi ayah Tala, nggak?"
Aku membuang napas panjang. "Kalian ini jangan ngomong aneh-aneh," tegurku.
Mas Ibra justru tersenyum lebar. Ia menatap si kembar penuh makna. "Ehm, emangnya kalian mau kalau Om jadi ayah kalian?"
Si kembar sontak mengangguk dengan mantap. "Mau! Mau!"
"Bisa main baleng."
"Diantel sekolah kayak temen-temen."
"Bisa bobo sama ayah. Makan baleng."
Kami mendengar celotehan di kembar yang isinya macam-macam. Mas Ibra masih tersenyum di sebelah mereka.
"Kalau gitu, Om juga mau banget jadi ayah kalian. Tapi ...."
"Tapi kenapa, Om?" tanya si kembar kompak.
"Om harus menikah dulu dengan ibu kalian," jawab Mas Ibra.
Si kembar bertukar tatap lalu bertanya dengan kompak. "Menikah itu gimana?"