Bab 9. Kebimbangan Gama

1382 Words
POV Silvi Aku menggigit bibirku sementara Mas Ibra tampak berpikir bagaimana menjelaskan konsep pernikahan pada si kembar. Kedua anak itu menatap penasaran padanya hingga aku pun tertawa pelan. "Ehm, menikah itu adalah proses menyatukan laki-laki dan wanita dewasa dalam ikatan sah secara agama dan negara," jawab Mas Ibra. Si kembar kini menatapku. "Menikah itu gimana, Buk?" Tania yang bertanya. "Ya, kayak yang dijelasin Om Ibra. Hanya orang dewasa yang bisa menikah," jawabku. "Harus laki-laki dan perempuan. Setelah orang menikah, mereka bisa tinggal bareng dan hidup bersama." Tara tersenyum senang mendengar jawabanku. "Jadi Ibuk bisa menikah sama Om Iba?" Aku meringis. Tak tahu harus menjawab apa. "Aku nggak ngelti gimana olang nikah," celetuk Tania sambil memainkan sedotan minumannya. Mas Ibra tersenyum tipis. "Itu, lho, Tan. Kamu pasti pernah diajak kondangan sama ibu kamu ke acara pernikahan." "Oh ... jadi kalau Ibuk nikah, Ibuk bakal didandanin cantik?" tanya Tania dengan senyuman polos di wajahnya. Mas Ibra mengangguk. Aku tertawa. "Telus, kita bisa buat pesta lame-lame?" tanya Tania lagi. "Banyak makanan dan tamu?" Tara ikut-ikutan bertanya. "Ya, tentu aja," jawab Mas Ibra. Ia melirikku sekilas. "Yah, Ibuk nikah aja sama Om Iba!" tukas Tania seraya mengguncang lenganku. "Aku mau liat Ibuk didandani cantik-cantik." "Iya, kita bisa makan-makan dan pesta juga," timpal Tara. "Om mau nikah sama Ibuk, kan?" tanya Tania lagi pada Mas Ibra. "Hus, udah, ah," kataku pada Tania. "Kalian baru makan. Habisin dulu." Tania dan Tara merengut. Rasanya obrolan ini belum memuaskan mereka. "Om," panggil Tania. Ia masih terlihat penasaran. "Kalau Om nikah sama Ibuk, Om bisa jadi ayah Tania sana Kak Tala?" Mas Ibra mengangguk. "Tentu aja. Tapi, orang menikah nggak semudah itu. Banyak yang harus dipikirkan, jadi ... kalian harus sabar. Semoga ibu kalian mau nikah sama Om." Tania dan Tara menatapku penuh harap. Astaga, sekarang Mas Ibra benar-benar memiliki sekutu yang tak lain adalah anak-anakku sendiri. Dan di dapur Mbok Surti yang diam-diam mendengarkan obrolan ini—ia sedang membersihkan dapur—pun tersenyum penuh makna padaku. Aku membuang napas panjang. Ini bukan keputusan yang mudah bagiku meskipun aku tahu Mas Ibra adalah pria yang sangat baik. Setelah makan malam, kami menonton TV sebentar, tetapi si kembar justru jatuh tertidur. Satu di pangkuanku dan satu di pangkuan Mas Ibra. Ia membantuku memindahkan mereka ke kamar lalu ia berpamitan pulang. "Ehm, Sil, aku harap kamu bisa mempertimbangkan yang tadi," kata Mas Ibra ketika aku mengantarnya ke teras. Aku mengangguk. "Pasti, Mas." Dan jawabanku sebenarnya sudah ada di ujung lidah. Aku hanya malu, aku juga agak takut. "Tapi, gimana pendapat orang tua Mas? Aku belum kenal sama mereka." Mas Ibra tersenyum. Ia tahu aku juga punya trauma dengan yang namanya mertua. Aku percaya, tidak semua mertua jahat seperti mantan ibu mertuaku. Hanya saja, masa laluku terasa menghantui. "Mereka senang kalau aku bisa menikah lagi. Apalagi itu dengan kamu. Aku udah sering ngasih lihat foto kamu ke mama dan papa. Mereka udah sepuh, Sil. Jadi harapan mereka adalah ngeliat aku nikah lagi," kata Mas Ibra. Aku mengangguk. "Mas yakin mereka bisa menerima aku?" "Tentu aja, Sil." "Dan ... anak-anak?" tanyaku ragu. Mas Ibra tertawa pelan. "Ya, pasti. Aku cerita semua soal kamu dan anak-anak ke mereka. Jadi, kamu nggak usah khawatir status kamu. Mereka baik, Sil. Aku bisa kenalin kamu ke mereka secepatnya kalau kamu nggak keberatan. Atau ... kamu mau aku datang langsung ke orang tua kamu untuk melamar kamu?" Kedua mataku melebar sempurna. Tampaknya Mas Ibra benar-benar serius dengan kata pernikahan. Kutatap dirinya yang kini tertawa kecil. "Maaf, Sil. Kok aku kesannya jadi kayak menggebu-gebu banget, ya," ujar Mas Ibra seraya menyugar rambut. "Aku nggak mau memaksa kamu kalau kamu masih mau mikir lagi, Sil." Aku mengangguk. Rasanya hatiku semakin mantap. "Kayaknya ... aku nggak perlu mikir lagi, Mas." Kedua mata Mas Ibra membola. "Kamu ... kamu udah punya jawaban?" Aku mengeluarkan kotak cincin dari sakuku. Sudah kupindahkan benda itu dari tas sejak tadi. "Aku terima lamaran Mas." "Serius? Kamu nggak bohong?" Mas Ibra tampak senang. Kedua matanya berkaca-kaca, tetapi ia juga tersenyum. "Aku nggak bohong, Mas. Kalau anak-anak menerima pernikahan ini, bagi aku ... udah cukup. Dan tentu aja, harus dengan restu orang tua kita," kataku. Mas Ibra mengangguk. "Nanti secepatnya aku datang ke rumah kamu. Aku bakal ngelamar kamu secara resmi di depan keluarga kamu." Ia membuka kotak cincin merah itu lalu mengambil isinya. Aku berdebar luar biasa. "Aku mau kenalan sama orang tua Mas dulu, boleh?" tanyaku. Mas Ibra mengangguk lagi. "Tentu aja boleh. Mereka nggak sabar mau lihat calon istri aku." Aku tertawa kecil dan ia pun demikian. Ia lantas menyematkan cincin berlian itu dengan tangan yang agak gemetar. Ia menatapku penuh cinta dan pastinya aku juga telah jatuh cinta padanya. Mas Ibra adalah pria yang luar biasa baik. Dan aku adalah wanita yang paling beruntung sedunia. "Aku nggak bisa romantis, Sil. Maaf." Ia melepaskan tanganku setelah selesai memasangkan cincin di jari manisku. "Ini romantis banget." Aku tersenyum menatap cincin itu. "Makasih, Mas." "Aku yang harus berterima kasih sama kamu. Aku janji aku bakal jadi imam yang baik untuk kamu. Aku juga bakal jadi ayah yang terbaik buat anak-anak kita," kata Mas Ibra. Kami berdua kembali tersenyum canggung. Ia lalu berdehem dan menunjuk mobilnya dengan jempol di atas bahu. "Aku harus pulang. Udah malam." "Ya, hati-hati, Mas." "Nanti, minggu depan aja kita ke rumah mama sama papa. Aku jemput," kata Mas Ibra. "Ehm, oke." Aku benar-benar gugup. "Assalamualaikum, Sil." "Waalaikumsalam, Mas." *** POV Gama Aku bertengkar dengan Lina di depan toko mainan usai kami bertemu dengan Silvi. Aku berusaha menjelaskan semuanya pada Lina, tetapi ia masih cemberut hingga kami tiba di rumah. Kami bahkan batal makan malam di luar dan Lea menangis karena kami harus pulang lebih cepat daripada yang kami janjikan. "Bik, tolong jaga Lea. Saya mau bicara dengan istri saya," kataku pada Intan, baby sitter Lea. "Baik, Pak." Lea masih rewel, merajuk ingin makan pizza di luar. Namun, aku yakin Intan bisa membujuk Lea. Dan aku harus bicara empat mata dengan Lina sekarang juga. Aku menyusul Lina ke kamar. Ia duduk di bibir ranjang dengan tangan cekatan mencopot perhiasan di tubuhnya. Wajahnya masih terlipat dan ia sama sekali tidak menoleh padaku. "Ma, jangan gini, dong," kataku padanya. Lina masih tak mau menatapku. Jadi, aku pun duduk di kursi riasnya. "Ma, ayo bicara baik-baik," ajakku. "Papa bohong sama aku! Papa bilang Papa nggak ada hubungan sama mantan istri kamu! Dan Papa bilang, kalian nggak punya anak!" teriak Lina penuh amarah. Aku muak dengan semua ini. Aku sudah menjelaskan soal ini di depan toko mainan tadi. Namun, karena tak ingin memperpanjang masalah, aku harus menjelaskan lagi padanya. "Aku udah bilang, aku nggak tahu kalau Silvi hamil anak aku. Kami cerai dan ... kami nggak pernah berhubungan lagi. Silvi nggak ngasih tahu aku," kataku. Lina mendengkus keras. "Ya, udah. Anggap aja emang Papa nggak tahu apa-apa sampai sekarang." Kedua mataku menyipit. Yah, aku tak pernah peduli dengan Silvi lagi sejak kami bercerai. Aku memblokir nomornya, aku tak tahu ia ada di mana—aku tak mencarinya—dan aku hidup bahagia dengan Lina. Lina bahkan segera hamil Lea setelah kami menikah. Hidup kami sudah sangat sempurna. Hingga tiba-tiba, hari ini aku melihat Silvi yang jauh berbeda dengan Silvi yang terakhir aku lihat. Tubuh Silvi dulu sangat berisi, sekarang ia begitu ramping dan tidak ada tanpa penuaan di wajahnya yang cantik. Ia juga memiliki dua anak kembar. Astaga! Anak-anak itu mirip denganku! "Aku tahu mereka anak-anak aku, Ma. Aku nggak bisa lepas tanggung jawab gitu aja," ujarku setenang mungkin. Lina menggeleng. "Terus Papa mau apa? Mau nemuin mereka gitu?" Aku mengangguk. "Aku harus ketemu lagi dengan mereka." "Aku nggak akan kasih izin, Pa! Aku nggak mau Papa berhubungan sama mantan lagi!" teriak Lina. "Kamu nggak bisa gini, Lin. Mereka anak aku! Dan aku punya hak untuk ketemu mereka," sahutku. "Dan ketemu Silvi?" Lina berdiri. Tatapannya mencemooh ke arahku. "Bukan Silvi tujuan aku, tapi anak-anak," kataku. "Udah, deh, Pa! Kita udah punya anak sendiri. Jadi, lupakan mereka berdua apalagi si Silvi itu. Kamu lupa ... dulu dia selingkuh!" seru Lina. Aku menelan keras. Itu pasti tidak benar. Sekarang aku baru sadar. Silvi tak mungkin melahirkan bayiku jika ia berselingkuh. Astaga, hatiku terasa tidak tenang. Aku tak mau tahu, aku harus bertemu dengan Silvi dan anak-anakku lagi. Aku tak peduli jika itu berarti aku harus melakukannya secara diam-diam di belakang Lina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD