Bab 5. Mengantarkan Ponsel

1377 Words
Begitu tiba di rumah, Riri disambut oleh kedua orang tuanya yang sangat cemas karena Riri pulang dalam keadaan pucat dan demam. Melihat hal itu, Abian menjadi semakin bersalah saja pada Riri. "Apa yang terjadi?" tanya Siska, ibu Riri. "Riri kenapa bisa sakit gini, Yan?" "Ehm, tadi kehujanan, Tante." Abian menjawab. Ia menggendong Riri yang dengan manja melingkarkan lengan di lehernya. "Aku nggak apa-apa, Ma," kata Riri. Ia tak ingin Abian kena omel ibu atau ayahnya. "Cuma pusing." Siska bertukar tatap dengan Arman, suaminya. "Ya, udah. Tolong bawa naik aja, Yan." Abian mengangguk. Ia dan Riri bertetangga. Rumah Riri hanya ada di seberang rumahnya. Jadi, ia sudah sering datang ke rumah Riri sejak mereka masih kecil. Dan kini, Abian baru saja membaringkan Riri di atas ranjang. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh Riri yang gemetaran. Dari arah pintu, Siska muncul dengan baskom berisi air hangat dan handuk kecil. "Aku udah beliin obat buat Riri, Tante. Tapi dia belum mau makan, jadi ... ehm, maaf, Tan. Harusnya aku bisa jagain Riri," kata Abian menatap wajah cemas Siska. "Makasih, kamu udah mau anterin Riri. Ini udah malam, Yan. Kamu pulang aja, biar Tante yang urus Riri," ujar Siska. Riri merengut. Ia meraih tangan Abian dan mengguncangnya. "Mas, jangan pergi." Siska menggeleng pelan. Ia tahu betul putri semata wayangnya sangat menyukai Abian. "Kamu ini liat jam, dong. Udah malem, nanti Abian dicariin kakeknya. Besok pasti Abian juga harus kerja." Riri semakin mencebik. "Aku mau diperiksa mas Abian. Dia kan dokter. Aku sakit dan aku harus diperiksa." Siska dan Abian bertukar tatap. "Kamu cuma demam, Ri. Tenang aja, dikompres, makan dikit terus minum obat. Besok pasti udah sembuh." "Abian benar. Sini, kamu Mama kompres dulu. Itu papa baru siapin nasi anget buat kamu," kata Siska. Ia mengedikkan dagunya pada Abian. "Yah, aku pulang dulu, Tan, Ri." Abian berpamitan pada ibu Riri. Riri melambaikan tangannya dengan lemah dan mendadak ia mengernyit karena handuk hangat baru saja menempel di keningnya. "Ma, aku tuh nggak suka dikompres." Riri menarik selimut hingga ke lehernya. Ia tak ingin ketahuan tidak memakai bra oleh ibunya. Bisa-bisa ibunya bertanya panjang lebar karena penasaran. "Gimana ceritanya kamu bisa kehujanan dan pulang malam?" Siska menatap putrinya lekat. "Dan kenapa kamu ganti baju?" Riri memutar bola mata hingga ia merasa semakin pusing. Ia jadi kepikiran dengan bajunya yang masih tergeletak di lantai rumah Agus. Bukan cuma itu, ada buku-buku barunya! Ketinggalan! Ah, sungguh sial. Ia bahkan tak ingat di mana rumah Agus tadi. "Tadi ... aku mau pulang sendiri," kata Riri asal. Ia tak ingin Abian disalahkan oleh ibunya. "Tapi, aku nyasar dan kehujanan. Udah." Ia juga tak ingin menceritakan perihal kecelakaan yang ia lihat. Selain karena terlalu menakutkan, ia juga tak ingin ibunya cemas. "Lalu baju kamu?" tanya Siska lagi. "Yah, ketinggalan di rumah temen. Aku basah, jadi pinjem temen," jawab Riri. Siska mendesahkan napas panjang. "Apa kamu ditinggal Abian lagi?" "Hah?" Riri ternganga. Tebakan ibunya benar. Ibunya tahu ia selalu mengejar-ngejar Abian dan Abian juga terus menolaknya. "Sampai kapan kamu mau ngejar cowok yang bahkan nggak mandang kamu sebagai wanita, Ri? Kamu ini hanya dianggap adik sama Abian, jadi Mama harap kamu jangan terlalu keras berusaha," kata Siska tepat ketika Arman masuk. Ia menerima baki berisi nasi dan sop hangat lalu mulai menyuapi Riri. "Kenapa kamu pulang-pulang malah sakit?" tanya Arman pada Riri. "Katanya kamu mau belanja buku? Mana bukunya? Kamu ini pergi ke mana sebenarnya, Ri?" Kedua mata Riri membulat. Karena ia anak tunggal, mereka memang selalu mencemaskannya. "Di rumah temen, Pa. Aku tinggal tadi. Tapi, besok ... aku ambil. Aku telepon ...." Riri baru sadar, ponselnya masih ada di rumah Agus! Ini benar-benar gawat! "Mama udah kasih Riri wejangan, Pa. Biar makan dulu dan minum obat," kata Siska yang tak ingin Riri dimarahi dalam keadaan sakit. "Oke. Kamu buruan minum obat dan jangan sakit lagi." Arman memijat pelan kaki Riri sebelum akhirnya berdiri dan meninggalkan kamar. "Ma, aku pinjam ponsel Mama, dong." Riri menatap ibunya penuh makna. "Buat apa?" "Buat nelpon ponsel aku. Ketinggalan juga!" seru Riri. "Astaga. Kamu ini ada-ada aja hari ini!" Siska menggeleng pelan. "Makan dulu baru minum obat. Nanti Mama ambilin ponsel Mama." *** Di tempat lain, Agus baru berbaring di ranjangnya. Ia melirik-lirik ponsel Riri yang kini telah terisi daya penuh. Ia yakin Riri akan mencari ponsel ini. Dan ia akan bisa mengembalikan ponsel serta barang-barang Riri. Ia juga bisa mencari tahu soal pacar Cinta dari Riri. Setelah bosan menunggu, Agus memutuskan untuk tidur saja. "Mungkin cewek itu nggak nyadar ponselnya ketinggalan." Ia hanya membatin. Belum genap lima menit sejak Abian memejamkan matanya. Ia mendengar dering ponsel yang asing. Sontak, ia terduduk dan melihat nama Mama di layar ponsel Riri. Ia tersenyum miring. "Halo," sapanya. "Mas! Ponsel aku ketinggalan!" Agus menjauhkan ponsel itu dari telinganya karena teriakan keras Riri di seberang. "Halo? Halo! Mas!" Riri kembali berteriak. Agus membuang napas panjang. "Halo, kamu nggak perlu keras-keras kalau ngomong." Terdengar tawa pelan Riri di seberang. "Aku baru nyadar ponsel aku ketinggalan, Mas. Buku aku juga dan ... baju." "Ehm, kamu bisa ambil barang-barang kamu besok. Baju kamu udah aku cuci," kaya Agus. Riri mendesahkan napas panjang. "Aku meriang gara-gara kehujanan, Mas. Aku nggak bakal dibolehin besok. Gimana kalau Mas anterin semua itu ke rumah aku?" Agus memutar bola mata. Baginya Riri sangatlah aneh. Baru bertemu sekali sudah memintanya menjadi guru dan kini Riri ingin ia datang ke rumahnya. "Di mana rumah kamu?" tanya Agus. Karena ia penasaran dengan Riri dan Abian, maka ia pun bertanya. "Perumahan Berlian. Nanti aku share loc," kata Riri. Ia berharap Agus mau mengantarkan semuanya karena jelas ia tidak akan diperbolehkan keluar jika sedang sakit. "Oke. Besok pagi-pagi aku ke sana." Riri mengangguk senang. "Ya! Sekalian Mas bisa ambil baju adek Mas. Aku udah minta pelayan buat nyuci." Agus mengangguk saja. Riri memiliki pelayan, ia yakin gadis itu memang anak orang kaya raya. Dan kini, setelah mematikan panggilan itu, ia menatap ke lokasi rumah yang dikirimkan oleh Riri. *** Keesokan harinya, Agus memasukkan semua barang Riri ke dalam ransel lalu dengan motornya, ia segera melaju ke alamat Riri. Kedua mata Agus mengedar ketika ia melewati gerbang besar perumahan Berlian. Jelas, Riri adalah putri keluarga kaya karena tinggal di perumahan elit. Agus berhenti di tepat di depan rumah Riri lalu memencet bel yang ada di gerbang. Pintu gerbang itu dibuka oleh satpam bernama Kliwon. "Pagi, Pak. Saya nyari Riri," ujar Agus. "Oh, teman non Riri?" tanya Kliwon. Tentu saja Agus tidak merasa bahwa ia berteman dengan Riri, tetapi ia mengangguk saja supaya dibiarkan masuk. "Ya, monggo, silakan masuk, Mas." Agus hampir membelokkan motornya ke halaman rumah Riri ketika ia mendengar gerbang rumah seberang jalan bergeser. Terlihat sebuah mobil keluar dari sana. Mobil itu tidak lantas meluncur di jalanan, tetapi si pengendara yang tak lain adalah Abian baru saja menurunkan kacanya. "Pagi, Mas Abian!" sapa Kliwon dengan nada hormat pada Abian. Abian. Kedua mata Agus menyipit. Tatapannya dengan Abian bersiborok. Keduanya sama-sama penasaran akan eksistensi masing-masing. Tentu saja Abian tidak menyangka Agus akan berada di tempat ini. "Sebenarnya apa hubungan Riri sama cowok itu? Apa benar mereka pacaran?" Abian bertanya-tanya dalam hatinya. "Oh, jadi ini rumah Abian." Agus juga membatin. "Ternyata Abian juga tajir. Tentu aja, dia dokter." "Mau dines, nih, Mas?" Kliwon menyapa Abian lagi. Abian mengangguk di dalam mobilnya. "Iya, Pak. Gimana Riri? Udah kelihatan belum?" "Belum, Mas. Mungkin masih sakit," jawab Kliwon yang juga tahu bahwa Riri sedang sakit. Abian kini mengalihkan tatapannya pada Agus. Andai saja ia tidak ada jadwal pagi di UGD, ia pasti akan turun dan menjenguk Riri lebih dulu. "Kamu ngapain ke sini?" tanya Abian pada Agus. Agus mengangkat bahunya. "Ponsel Riri ketinggalan. Jadi aku anter." "Sepagi ini?" tanya Abian menyelidik. Ia semakin curiga dengan Agus dan Riri. Karena ini masih terlalu pagi untuk seseorang bertamu. "Ya. Sekalian berangkat kerja," jawab Agus. Abian membulatkan bibirnya. Itu masuk akal. Jadi, ia segera melirik kamar Riri yang ada di atas. Ia akan membawakan Riri cokelat nanti sore. Ia akan meminta maaf lagi pada Riri. "Mari, Pak!" Abian menaikkan kaca mobilnya lalu mulai meluncur. Kedua matanya masih menatap sosok Agus dari kaca spion. Entah bagaimana, ia punya firasat yang tidak baik mengenai Agus dan ia tak suka jika Riri dekat dengan Agus. Apakah itu hanya perasaannya? Ataukah ia sedang cemburu. Abian menggeleng. "Itu nggak mungkin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD