Bab 6. Kehangatan Keluarga

1372 Words
Sementara itu, Agus telah masuk ke rumah Riri yang besar. Ia diminta duduk di ruang tamu oleh salah satu pelayan. "Saya akan panggilkan nona Riri dulu," ujar pelayan itu. "Ya." Pelayan bernama Ani itu segera menaiki anak tangga. Di lantai dua, ia berpapasan dengan Siska dan Arman. "Pagi, Nyonya, Tuan. Di bawah ada tamu yang nyariin nona." "Apa?" Siska mendekati pagar lantai dua. Ia menatap ke sosok Agus yang duduk di sofa ruang tamu. "Siapa dia, Bi?" "Katanya teman nona," jawab Ani. Siska dan suaminya bertukar tatap. Teman-teman Riri memang terkadang datang ke sini, tetapi baru kali ini ada teman pria yang datang pagi-pagi seperti ini. "Panggil Riri turun, biar kami yang menemui pria itu lebih dulu," kata Arman. "Baik, Tuan." Ani segera mendekati pintu kamar Riri. Ia mengetuk dengan hati-hati. "Nona! Apa Nona sudah bangun? Di bawah ada tamu yang nyariin Nona." Riri baru saja menggeliat dari tidurnya. Ia merengut karena merasa terganggu dengan ketukan pintu Ani. Dan ketika ia membuka mata, Ani sudah berdiri di dekat ranjangnya. "Ada apa, Bi?" tanya Riri malas-malasan. "Di bawah ada teman Nona." "Teman?" Riri mencerna ucapan Ani hingga ia teringat Agus akan datang mengembalikan ponsel dan bukunya. Ia terduduk seketika. "Cowok, Bi?" "Iya, cowok, Non." Riri menutup bibirnya. "Ganteng? Tinggi? Terus ... orangnya dingin?" Ani tampak berpikir sejenak. "Ya. Namanya Agus, Non." "Ya, ampun! Aku belum mandi!" Riri menurunkan kakinya ke lantai. Ia berlari ke kamar mandi lalu membalik badan. "Bi, suruh Mas Agus nungguin aku, ya!" "Baik, Non." Riri tak punya waktu untuk mandi. Ia memang sudah sangat segar dan lebih sehat setelah semalam demam. Namun, ia cemas Agus akan segera pergi. Padahal, ia ingin membujuknya lagi agar mau jadi guru masak. Jadi, Riri lekas membasuh wajahnya, menggosok gigi lalu mengganti baju tidurnya dengan baju rumahan yang lebih sopan dan rapi. Tak lupa, ia menyemprotkan parfum mahal untuk menutupi bahwa ia belum mandi. Riri terkikik sendiri melihat penampilannya di cermin. Ia terlihat cantik dan tak akan ada orang yang tahu ia belum mandi. "Jadi kamu kerja di kafe?" Riri mendengar suara ayahnya ketika ia menuruni anak tangga. Ah, pasti mereka lebih dulu menemui Agus. Entah apa yang diobrolkan oleh mereka, ia agak cemas jika Agus menceritakan semua yang terjadi kemarin. "Ehm!" Riri berdehem. Ia melihat bukunya sudah tertumpuk rapi di atas meja. Ada ponsel di dekat tumpukan buku itu dan ada paper bag juga di sana. Pasti itu bajunya. "Mas udah dari tadi?" Agus menggeleng pada Riri. "Baru aja. Ini baju dan buku kamu. Ponsel juga." "Makasih." Riri mengulurkan paper bag berisi baju milik Cinta. "Ini baju adek Mas. Makasih udah pinjemin kemarin." Agus mengangguk. Ia menerima paper bag itu lalu menatap kedua orang tua Riri. "Saya harus pergi sekarang." "Lho, kok, buru-buru?" Riri mencebik. "Aku harus ke kafe," jawab Agus. "Kamu sarapan di sini aja, Gus," kata Siska. Agus meringis. Ia tak ingin sarapan di rumah mewah seperti ini. "Iya, kamu sarapan bareng kami aja. Kami harus berterima kasih karena kamu udah bantuin Riri kemarin," kata Arman. Riri mengulum bibirnya. "Iya, Mas makan di sini aja, yuk!" Agus memutar bola mata. Karena tiga suara memintanya untuk sarapan bersama, ia pun mengangguk. "Nah, gitu, dong. Kami beneran berutang budi sama kamu karena kamu udah menyelamatkan Riri," kata Siska. Ia merangkul bahu putrinya. "Kenapa kamu nggak jujur sama Mama?" "Hah?" Riri menatap ibu dan Agus bergantian. Entah apa yang dikatakan oleh Agus pada orang tuanya, ia berharap itu bukan bagian ketika ia ditelanjangi oleh Agus untuk diganti baju. "Mas ngomong apa sama Mama?" bisik Riri waktu mereka berjalan menuju ruang makan. Agus mengangkat bahunya hingga Riri merasa kesal tak mendapat jawaban. "Mas! Mas nggak cerita kalau kemarin aku bugil di sana, kan?" tanya Riri yang semakin berbisik. Agus langsung melotot. Tentu saja ia tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. "Kamu tenang aja. Aku cuma bilang kamu pingsan liat orang kecelakaan. Itu aja." "Oh, bagus." Riri merasa lega. "Makasih, ya." Agus kembali mengangkat bahunya. Mereka baru saja tiba di ruang makan. Agus duduk di seberang Riri dan ibunya sementara Arman di kursi utama. Sembari makan, Arman sesekali bertanya soal pekerjaan Agus yang hanya dijawab sekenanya oleh Agus. Agus melirik Riri, gadis itu terlihat manja pada ibu dan ayahnya. Ia maklum, Riri pasti putri tunggal keluarga ini. Keluarga ini terasa sangat hangat. Sesekali, Siska akan membelai rambut Riri dengan penuh kasih. "Beruntung sekali dia punya keluarga yang sempurna," batin Agus. Usai sarapan, Agus tak membuang waktu. Ia segera berpamitan dan Riri mengekor hingga ke halaman. Agus menyandarkan tubuhnya di motor, setengah duduk di jok motor besarnya. "Kamu nggak perlu nganterin aku nyampe ke sini," kata Agus. Ia bersedekap dengan kedua mata memindai Riri. "Lebih baik kamu mandi sana." Riri langsung melotot. Ia sudah merias diri secepat mungkin, tetapi ia ketahuan belum mandi? Agus mendengkus pelan. Padahal, ia hanya menebak. Dari parfum Riri yang mencolok, ia yakin gadis itu sedang menutupi sesuatu. Kini, ia yakin Riri memang belum mandi. Mungkin, Riri masih mendengkur ketika ia datang tadi. "Aku mau ngomong!" kata Riri mengabaikan rasa malunya. Ia takut akan kehilangan kesempatan bicara dengan Agus. "Apa lagi? Aku udah anter semua barang kamu. Nggak ada yang ketinggalan," ujar Agus. Riri menggeleng. "Ini soal yang kemarin. Aku mau belajar masak!" Agus mendengkus lagi. "Kamu punya puluhan pelayan di sini yang pasti pinter masak. Kamu juga punya orang tua yang kaya raya, kamu bisa meminta mereka mencarikan guru masak untuk kamu. Kenapa harus aku?" "Karena aku nggak mau ketahuan belajar masak dari ahlinya!" gerutu Riri. Ia sudah pernah belajar memasak dari ibunya. Dan ia hanya diledek Abian karena hasil memasaknya yang buruk. Kedua mata Agus menyipit. "Jadi, kamu mau kita diam-diam?" Riri mengangguk. "Kita bisa temenan, dan selain itu Mas bisa ngajarin aku masak juga. Nggak bakal ketahuan sama mas Abian." "Abian. Cowok yang kemarin?" tanya Agus sinis. Riri mengangguk. "Aku udah lama banget naksir mas Abian. Dari kami masih kecil. Dia tinggal di depan rumah aku. Jadi ... aku mau dapetin hatinya." "Dia dokter?" tanya Agus. "Ya. Dia dokter residen sekarang. Dia bakal jadi dokter spesialis penyakit dalam di masa depan," kata Riri dengan nada penuh kebanggaan. Agus mengangguk pelan. Tampaknya itu adalah profesi yang sangat menjanjikan. "Keluarganya baik?" Riri mencebik. Ia menunjuk rumah besar yang ada di seberang jalan. "Tentu aja baik. Orang tua Mas Abian di luar negeri, dia tinggal sama kakeknya. Kakeknya direktur rumah sakit tempat dia bekerja sekarang." Kedua mata Agus membola. Direktur rumah sakit. Itu luar biasa. Keluarga mereka pasti sangat kaya dan jika adiknya bisa menikah dengan Abian, itu pasti merupakan sebuah keberuntungan. "Jadi, gimana? Kapan kita bisa mulai belajar?" tanya Riri memecah lamunan Abian. Agus berdehem. "Kamu yakin mau belajar masak sama aku? Kamu nggak ngerasa salah orang. Kamu tahu pacar Abian adalah adik aku sendiri." Riri mengangguk. Ia mengenal Abian sejak dulu. Dan ia tahu Abian berpacaran hanya untuk menghindarinya. Dan ia merasa masih memiliki harapan untuk menggaet hati Abian meskipun itu artinya ia harus bersaing dengan adik Agus. "Kalau aku berusaha keras buat belajar masak, aku yakin mas Abian bisa suka sama aku. Aku lebih dulu kenal sama mas Abian dibandingkan Cinta, jadi itu bukan masalah," kata Riri sepenuh hati. "Oke. Kita bisa belajar setelah kamu sembuh," ujar Agus seraya mengenakan helmnya. "Apa?" Riri terkejut. Semudah itu? "Mas nggak bohong?" Agus menggeleng. Ia nangkring di atas motornya lalu memutar anak kunci. Ia akan mengajari Riri memasak, tetapi tak akan membantu Riri mendapatkan hati Abian. Abian harus menjadi milik Cinta, hanya itu yang ia pikirkan saat ini. Dan tentu saja tujuan Agus adalah menjauhkan Riri dari Abian. "Aku nggak bohong. Kamu bisa telepon aku kalau kamu udah sembuh beneran." Agus mengulurkan kartu namanya pada Riri. "Kamu bisa datang ke kafe aku. Kita bisa belajar di sana." Riri menerima kartu nama itu dengan mata berbinar-binar. Ia mengira Agus tulus padanya dan akan membantunya. "Makasih, Mas! Aku bakalan cepet sembuh dan datang ke sana!" Agus tersenyum miring. "Aku pergi dulu." Riri mengangguk. "Nanti aku chat!" Agus hanya mengangkat alisnya. Ia menurunkan kaca helm lalu kembali menatap Riri. "Jangan lupa mandi!" Riri mencebik. Ia hampir protes, tetapi motor Agus sudah lebih dulu berlalu dari hadapannya. "Ah, mas Agus, bikin malu aja!" Riri menangkup pipinya yang memerah. Tak ada gunanya malu, ia akan segera menjadi murid pribadi Agus! Dan ia sangat senang tanpa tahu tujuan utama Agus!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD