SUAMI ONLINE 17 C
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Danesh melepaskan pelukan dan mengambil duduk di dekat meja makan. Ia mengambil minum air putih, lalu kembali melanjutkan ucapannya. "Beneran, Sayang ... itu kata nenekku dulu."
Kenes menggeleng beberapa kali. Dia bilang kata nenek? Tapi itu kan, dulu .... Daripada penasaran, Kenes mencicipi sendiri kuah sayur kangkungnya. Dan ....
Tidak asin, pas malah!
Sayur kangkung langsung dipindahkan ke piring dan meletakkannya tepat di hadapan sang suami. Wajahnya kembali cemberut karena telah tertipu oleh rayuan receh di pagi hari. Sedangkan Danesh justru tertawa melihat ekspresi wajah Kenes yang memerah. Ia pasti malu membahas perang tanpa korban semalam.
"Nasinya gimana? Udah dicek? Entar masih beras lagi ...," tanya Danesh mengingatkan.
Seketika Kenes mendekat ke arah rice cooker yang terletak di atas meja dapur. Warna merah sudah berpindah ke tulisan warm, berarti nasi sudah matang. Sebagai orang yang jarang di rumah, Kenes memasak nasi hanya ukuran dua kaleng bekas s**u kental manis. Setidaknya bisa untuk sarapan di pagi hari. Kalau siang, Kenes sering beli makan di warung. Danesh juga kemungkinan makan siang bersama orang tuanya. Jadi, untuk menghindari mubazir, Kenes memasak nasi hanya seperlunya saja.
Sebagai istri yang ingin berbakti pada suami, Kenes mengambilkan nasi sekalian sama piringnya. Lalu memberikan pada sang pria.
"Ini nasinya. Sayurnya mau enggak? Katanya tadi asin?" tanya Kenes lalu duduk dan tangannya sibuk mengambil sayur untuk dirinya dan sang pria.
"Mau lah ... kan, masakan istri tersayang," jawabnya terdengar menggoda.
Mereka sama-sama diam dan sibuk dengan makanannya. Sudah menjadi aturan yang baik kalau makan itu tidak bicara, takut tersedak. Setelah selesai, Kenes bergegas mencuci piring kotor. Kali ini tidak dibantu oleh sang suami. Ia memilih berlalu ke kamar untuk mengganti bajunya sebelum berangkat membantu kegiatan ayahnya.
Kepalanya tiba-tiba merindukan wanita yang telah melahirkannya. Ia mengingat ingin menelepon sang ibu. Dengan langkah cepat, ia menuju kamar dan mengambil ponselnya. Matanya mencari nomor sang ibu dalam kontaknya.
Danesh memperhatikan istrinya yang sedang menunggu suara dari ujung telepon.
"Lagi nelepon siapa?" tanya Danesh saat merapikan kaos di tubuhnya.
"Ibu, Mas. Lupa, belum ngasih kabar dari kemarin."
Ketika menunggu panggilan tersambung, ingatan tentang sang ibu yang selalu melakukan apa pun untuknya waktu kecil menyesakkan dadanya. Bagaimana tidak? Ibu selalu memastikan semua kebutuhan dan kebahagiaan hanya untuk dirinya. Meskipun kadang keputusannya kerap tidak sejalan dengan kemauannya, tetapi pada akhirnya Kenes mengetahui kebaikan yang tersirat di dalamnya.
Ya, seperti pernikahannya.
Kenes masih menunggu dengan sabar, hingga satu suara yang nadanya keras tapi niatnya lembut menyapa rungunya.
"Assalamu'alaikum, Nes ... bagaimana pernikahanmu? Kamu tidak aneh-aneh sama mantu Ibu, kan?" tanya sang ibu dari seberang telepon.
"Astagfirullah ... Ibu, kok, bisa tahu kalau aku bisa melakukan keanehan sama Danesh," batin Kenes. Namun, ia segera menepisnya. Namanya Ibu pasti lah hafal kebiasaan anaknya.
"Wa'alaikusaalam, Bu ... aku enghak aneh, kok. Kami berdua senang, senang sekali malah. Oh, ya, besok weekend mamanya Danesh ingin kumpul keluarga di sini. Ibu sama Bapak mau ke sini enggak? Katanya ingin melihat keadaan rumah tangga kami, mungkin takut kalau aku enggak bisa jagain anaknya," jelas Kenes lagi.
Danesh yang mendengar menjadi ingin tertawa. Ia selalu merasa senang melihat kerakraban ibu dan anak itu dari sejak pertama bertemu.
"Kayaknya bisa, Nes. Kebetulan juga lagi enggak ada kegiatan di sawah. Ya udah, kamu yang baik-baik sama suami. Inget, jadi istri harus menurut kata suami selama itu dalam kebaikan. Jangan lupa, buatin Ibu cucu yang ganteng kayak Danesh." Suara sang ibu terdengar antusias meminta cucu. Padahal itu tidak semudah menanam sawi hidroponik yang bisa cepat tumbuh dalam waktu 3-7 hari.
Kenes menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Memang begini nasib pengantin baru, baru menikah beberapa hari sudah diberondong keinginan punya cucu. Apalagi kalau sudah menikah lama tapi belum dikasih kepercayaan, entah bagaimana perasaan mereka.
"Kenes ... kamu denger suara Ibu, kan?" tanya sang ibu lagi karena tidak mendapat jawaban dari anaknya.
Kenes tersadar dari lamunan lalu menjawab, "Iya ... aku inget pesan Ibu. Ya udah, aku mau siap-siap ke warung. Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikusaalam ...."
Telepon terputus. Kenes mengelus dadanya karena lega sudah tidak mendengar lagi suara sang ibu yang cerewet tapi mengandung nasihat.
Lagi, Danesh akan tertawa melihat wanitanya tidak bisa berkutik jika berhadapan dengan sang ibu.
Ketika telinganya mendengar suara tawa meski lirih, ia tahu kalau prianya pasti akan tertawa.
"Ngetawain istri sendiri ... udah mulai tega." Kenes pura-pura merajuk.
Ia ingin tahu bagaimana cara membujuknya. Kan, tidak ada salahnya sekali-kali dirayu dan dimanja suami sendiri.
Tanpa diduga, Danesh mendekat dan mengusap kepala sang istri begitu lembut. Senyumnya juga tidak pernah lepas dari wajahnya. Manis.
"Anak baik pasti dapat suami yang baik juga, kayak aku," ucapnya sembari mengerlingkan matanya.
Hati yang hampir meleleh berubah keras kembali karena ucapan sang pria mengarah pada rasa percaya level tujuh. Perut seakan menjadi mual tapi hati merasa sehat saat mendengarnya. Jadi, terkesan tidak suka digoda tapi hati berdebar karenanya.
"Kamu memang segitu bangganya menjadi Danesh Emran ya?" tanya Kenes ingin tahu.
"Jelas dong! Apalagi seorang Danesh Emran adalah suami terganteng di desa yang sudah dimiliki oleh Kenes Nismara. Jelas, aku bangga," jawab sang pria sembari mendaratkan satu kecupan di pipi kiri sang istri.
Wajah berkulit tidak hitam, tidak putih itu mendadak kemerahan persis kepiting rebus. Tangan tergoda ingin memberikan cubitan manja, tetapi ia tidak tega melihat sang pria kesakitan.
"Kalau gitu berangkat sekarang aja yuk?" ajak Kenes sembari bergelayut manja di lengan sang pria, biar sekalian tambah bungah. Sebelumnya ia sudah mengambil tas berisi barang yang dibutuhkan.
Mereka keluar bersama menuju garasi. Setelah memastikan keadaan aman, Danesh melajukan motornya keluar area rumah kontrakan. Kenes tidak gengsi lagi untuk melingkarkan tangannya pada sang pria. Ia sengaja biar alam semesta memusatkan perhatian pada dirinya.
Berdua menyusuri jalanan kota Kebumen di pagi hari mungkin akan menjadi hal yang ia tunggu. Kapan lagi bisa menikmati diantar jemput sama pasangan ....
Ketika hampir sampai warung, tiba-tiba Danesh menghentikan laju motornya. Ada seseorang yang cukup dikenalnya berdiri di hadapannya. Dia adalah pria yang sempat mengejar sang istri, Ratan Kaivan.
"Mau apa lagi dia? Apa ucapanku kemarin kurang jelas?" batin Danesh.
Ratan langsung menghampiri Kenes yang masih bingung kenapa motornya berhenti.
"Nes ... kamu bilang sama aku, kalau dia hanya teman bukan suami. Aku cinta sama kamu ... tolong kasih aku kesempatan," ucap Ratan sembari memegang tangan Kenes.
Hatinya mendadak mulai risih dengan sikap Ratan yang tidak pernah lelah berusaha. Memang bagus berjuang untuk meluluhkan wanita pujaan, tetapi dia meluluhkan hati yang sudah mencair untuk orang lain.
Tidak mungkin menampung dalam wadah lain, sedangkan sudah ada wadah yang menampungnya secara penuh.
"Lepas, Tan ... pria ini memang suamiku. Tolong berhenti, di luar sana masih ada wanita yang lebih baik daripada aku. Aku mohon jangan membuat hati ini membenci karena sikapmu yang seperti ini," tolak Kenes selembut mungkin.
Ratan menggeleng, tidak terima.
"Enggak! Dia bukan suami kamu. Aku janji akan buktikan kalau dia bukan siapa-siapa kamu," ucap Ratan tak mau kalah.
Danesh terdiam. Ia mengalah memberi ruang untuk mereka bicara, tetapi jika sudah keterlaluan, maka akan selalu segera siaga.
Kenes semakin dibuat tidak mengerti oleh sikap Ratan. Kenapa ia sekarang menjadi seperti ini?
"Tolong ja-ngan u-bah cintamu jadi ambisi. Ini bukan Ratan yang aku kenal," ucap Kenes sembari menepis tangan pria yang masih mengiba.
Kenes lantas memberi kode pada sang pria untuk melanjutkan perjalanan sampai ke warung, meninggalkan hati yang patah untuk kesekian kalinya.
Ratan menatap kepergian Kenes dengan hati yang mulai menghitam. Penolakan demi penolakan mengubah sebagian rasanya menjadi benci.
"Jika aku tidak bisa memilikimu, maka kamu juga tidak boleh bahagia bersama pria itu "
-----***-----
Bersambung