Black Rose - 03

1289 Words
Awalnya aku kira dia waras, tapi ternyata dugaanku salah CALISTA'S POV * Jam mata kuliahku hari ini telah usai. Aku segera menuju gerbang untuk menunggu jemputan. Sebenarnya aku bisa menyetir mobil sendiri, tapi masalahnya aku belum membuat SIM. Jadi sampai saat ini aku masih diantar jemput Pak Joko. Aku menghela napas panjang. Tak biasanya Pak Joko telat menjemputku. Aku meraih handphoneku, berniat menghubungi pria yang sudah aku anggap seperti ayah keduaku itu. "Calista Ardiansyah?" Aku menghentikan kegiatan mengetikku. Aku menolehkan kepalaku ke arah sumber suara. Pria itu.... Dia berjalan ke arahku. Dan aku pun segera berdiri dan membungkuk sopan untuk menyapanya. "Siang, Om," sapaku sopan. Dia terkekeh kecil sembari mengacak-acak rambutku. Jujur, aku risih dengan sikapnya yang terkesan sok akrab ini. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu! Usia kita hanya terpahut sepuluh tahun, Calista," ujarnya lembut. "Tapi Om kan teman papaku," balasku. Dia adalah salah satu kolega Papa yang datang ke pestaku semalam. Edwin. Sang pemberi hadiah berupa jam tangan seharga lebih dari Rp100.000.000 itu. "Ya, tapi aku tidak setua yang kamu pikirkan, Calista," "Lalu, aku harus memanggil Anda apa?" tanyaku. Dia mengulurkan tangannya. Aku sempat menyeritkan alisku, sebelum akhirnya menerima uluran tangan itu. "Edwin. Panggil dengan namaku saja!" pintanya. "Tapi itu tidak sopan, Anda lebih tua dari saya," protesku. "Berhentilah bicara seakan kamu adalah bawahanku, Cal!" Aku menghela napas kesal. Ada apa dengan orang ini? Apa dia mulai tertarik denganku? Cih... PD sekali aku ini. Mana mungkin om-om tajir seperti Om Edwin tertarik pada bocah ingusan sepertiku? "Hmm.. saya tidak bisa melakukannya. Bagaimanapun juga, Anda orang yang harus saya hormati, karena Anda teman Papa." "Anak bandel. Aku ini bukan teman papamu," Om Edwin. Oh, My.... keras kepala sekali sih dia! "Lalu?" tanyaku bingung. "Aku adalah kekasihmu, sayang," jawabnya enteng. Aku sempat tertegun. Namun akhirnya aku hanya tertawa kecil menanggapinya. Oh Tuhan... kenapa Pak Joko belum datang juga? "Kenapa tertawa?" tanyanya. "Hmm.. Om sebentar ya. Aku mau menghubungi Pak Joko dulu. Beliau sepertinya lupa kalau aku pulang lebih awal hari ini," ujarku meminta izin. Ketika aku hendak menghubungi Pak Joko, handphoneku direbut olehnya. "Aku bisa mengantarkanmu pulang," ujarnya serius. "Tidak perlu, Om. Lagian-" "Sudah, ayo! Sekalian membiasakanmu untuk tidak menganggapku orang asing," potongnya. Aku sempat protes, namun percuma. Akhirnya aku memutuskan untuk diam saja. Lagi pula, dia teman Papa. Aku yakin dia bukan orang jahat. Dia hanya.... sedikit aneh. Aku hanya duduk diam di samping kursi kemudi. Aku cukup terpana dengan interior mobilnya. Mobil mewah keluaran terbaru seharga lebih dari delapan miliyar. Bahkan Papa tidak punya mobil semewah ini. "Ini handphonemu, Cal." Aku pun menerima handphoneku kembali. "Kamu mau jalan-jalan atau makan siang dulu?" tawarnya. Aku menggeleng. "Tidak perlu, Om. Aku sudah makan," jawabku. Setelah itu, tak ada lagi percakapan hingga kami sampai di depan gerbang rumahku. "Makasih ya, Om atas tumpangannya," ujarku berterima kasih Dia tak menjawab ucapanku. Namun dia terus menatapku seolah ada yang ingin ia sampaikan. Ketika aku hendak membuka pintu, "Cal!" Benar dugaanku. Ada sesuatu yang ingin ia katakan. "Iya, Om?" sahutku sembari menoleh padanya. Dia menatapku dengan tatapan serius. Aku sempat bergedik melihatnya. Kemudian aku memilih mengalihkan pandanganku ke arah lain. "Aku serius dengan ucapanku tadi," ujarnya. Aku menyerit bingung, "ucapan yang mana?" "Jika aku adalah kekasihmu. Dan kau, adalah milikku," jawabnya sembari menatapku dalam. Aku mendongak menatapnya. Seketika, aku merasa hampir mati melihat tatapan mengintimindasinya. Sungguh, aku tak melihat candaan di sana. Tapi apa maksudnya coba? Masa iya laki-laki dewasa dan mapan seperti dia tiba-tiba mengklaimku sebagai kekasihnya? Aoa dia tidak waras? "Aku ulangi sekali lagi, kamu adalah milikku, Calista Ardiansyah. Mulai hari ini dan seterusnya, kamu hanyalah milikku," ulangnya. Jantungku berpacu dengan sangat cepat. Jujur, aku tidak dapat menolak pesonanya. Terutama wajah malaikat yang ia miliki. Tapi... apa dia gila? Aku hanyalah remaja yang bahkan belum lulus kuliah, dibanding dia yang merupakan bos sebuah perusahaan besar. Dan di luar sana banyak yang lebih baik dariku. "Hmm, Om, aku... ak.. aku.. saya... harus masuk sekarang," pamitku gelagapan. Dia menahan lenganku. Aku memejamkan mataku sebentar. Benar-benar seperti maling yang tertangkap ketika berusaha kabur. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu! Jangan menganggapku orang asing lagi! Karena aku adalah kekasihmu, Calista," ujarnya masih dengan nada yang terdengar begitu serius. Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya berhasil mengumpulkan keberanianku. "Aku masih kuliah dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pacaran sebelum lulus. Lagi pula, kita baru kenal semalam. Bagaimana bisa aku pacaran denganmu, Om?" protesku. Dia hanya menanggapinya dengan senyum kecil. What? Apa ini lucu? Tangannya terangkat untuk memainkan rambutku. Apa saat ini dia sedang mengabaikan kekesalanku? "Sepertinya kamu lelah. Beristirahatlah! Aku akan menghubungimu nanti malam," What? Apa lagi ini? Apakah dia tidak mendengar ucapanku tadi? "Kamu boleh menghubungiku. Tapi tetap saja, kamu bukan kekasihku," tegasku. Dia mendekat. Membuatku terhimpit oleh tubuhnya dan pintu mobil yang masih tertutup. Apa lagi yang akan dia lakukan? Astaga! Tatapannya! Mamaa!! Papa!! Help me!!! "Aku, kekasihmu. Dan kau milikku. Tidak ada bantahan untuk itu," tegasnya dengan nada penuh penekanan. Aku berusaha mendorongnya. Namun gagal. Aku dapat merasakan detak jantungku yang seakan meminta keluar dari tempatnya. "Kamu paham, Calista?" tanyanya. Dari nadanya saja sudah sangat jelas kalau dia sedang memaksa, walau terkesan pelan. Tatapan penuh intimidasi juga ia tujukan padaku. Seakan tak memberiku ruang untuk sekadar bernapas dengan lega. Terpaksa, aku menganggukkan kepalaku. Ingat, ini benar-benar terpaksa. Dan setelah itu, ia menjauhkan tubuhnya dariku. Aku menghirup napas sebanyak mungkin, berusaha menghilangkan kegugupanku. Bisa gila aku lama-lama berada di sini. Aku harus segera pergi. "Beristirahatlah! Kamu nampak lelah. Dan aku tidak mau kamu sakit," ujarnya kembali lembut. "Ba.. baik," balasku kemudian segera turun dari mobil mewah itu. Aku berlari kecil memasuki rumah. Tidak! Pasti dia tidak serius, Cal! Jangan menganggapnya serius! Kau hanya akan sakit jika memikirkannya. "Sweety!" Aku menghentikan langkahku ketika hendak menaiki tangga, dan mendengar panggilan Mama. "Ya, Ma?" sahutku. Mama berjalan ke arahku. "Pak Joko mana?" tanya Mama. Aku menyerit bingung. Pak Joko? "Sepertinya Pak Joko lupa untuk menjemputku, Ma," jawabku. "Loh, terus kamu tadi pulang sama siapa?" Aku diam. Apakah aku harus jujur jika teman Papa yang mengantarku? Tapi Mama pasti akan berpikiran macam-macam. "Lagian, bukannya Pak Joko nungguin kamu ya di kampus?" Deg... Astaga! Aku lupa. Pak Joko pasti sekarang kebingungan mencariku. Aku mengambil handphoneku dari dalam tas untuk menghubungi Pak Joko. Tapi ternyata handphoneku dalam keadaan mati. Apakah Edwin yang mematikannya? "Kenapa, Cal? Kamu meninggalkan Pak Joko di kampus, ya? Lalu kamu tadi pulang sama siapa?" selidik Mama. Apa yang harus aku katakan pada Mama? Tidak mungkin aku berbicara jujur pada Beliau. Apalagi tentang ucapan Om Edwin di mobil tadi. "Ma, Calista capek. Calista istirahat dulu aja ya?" pamitku. Aku melanjutkan langkahku menuju kamarku. Aku merasa tidak seharusnya Mama tahu tentang masalah Om Edwin. Apalagi setelah kejadian Om Edwin yang tiba-tiba mengklaimku sebagai kekasihnya tadi. Dan satu lagi, aku harus segera menyelesaikan masalah ini sebelum keadaannya semakin kacau. * Aku menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Mataku terpejam untuk beberapa saat. "Aku serius dengan ucapanku tadi," "Ucapan yang mana?" "Jika aku adalah kekasihmu. Dan kau, milikku," "Jangan memanggilku dengan sebutan itu! Jangan menganggapku orang asing lagi. Karena aku adalah kekasihmu." "Aku, kekasihmu. Dan kau milikku. Tidak ada bantahan untuk itu" Oh Tuhan.... bisakah bayangan itu menghilang? Aku bisa stress jika harus terus memikirkannya. Aku menutup wajahku dengan bantal dan berusaha untuk tidur. Setidaknya dengan itu aku bisa sejenak melupakan ucapan Om Edwin. Bersambung... Sudah klik love dan pastikan cerita ini masuk ke pustaka, kan? Karena FIX cerita ini akan aku lanjut sampai tamat hanya di sini. Aku akan daily update setelah kontraknya disetujui dan BR mendapat simbol "signed", yaaa... Jangan lupa follow ig riskandria06 dan sss Andriani Riska untuk dapat bocoran cerita-cerita aku  Oh yaa.. Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa ramaikan kolom komentar dan ajak teman/kerabat kalian untuk memecahkan puzzle di cerita ini bersama-sama, yaaa  :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD