Black Rose - 10

1702 Words
Aku mengaduk-aduk minumanku sembari menunggu makanan kami datang. Aku masih memikirkan pesan Papa tadi. Sebenarnya, seberapa besar pengaruh peneror itu hingga Papa begitu khawatir terhadapku? "Calista!" Aku terpenjat kaget saat Edwin memanggilku dengan nada cukup tinggi. "Dari tadi aku manggil kamu tapi kamu seolah nggak mendengarku. Sebenarnya ada apa?" selidiknya. Aku kembali bimbang. Apakah aku harus cerita? Tapi, memangnya hubunganku dan Edwin sedekat apa hingga ia perlu tahu tentang teror itu? "Kalau memang masalah itu terlalu berat, ceritakan padaku! Aku tidak mau kamu merasa kesulitan sendiri," desak Edwin. Aku menyeruput jus di depanku. Aku masih berusaha menimbang, tentang apa yang sebaiknya aku lakukan. "Cal, kali ini aku benar-benar memaksa. Katakan sendiri atau aku akan menyuruh orang menyelidiki semua ini?" paksanya. Aku berdecak. Tidak bisakah dia memberiku waktu untuk berpikir? Ia pikir ini mudah untuk diungkapkan begitu saja? "Oke, aku akan cerita," putusku pada akhirnya. Aku lihat Edwin bersiap menyimak ceritaku. Tatapan matanya sangat serius. Tampaknya ia sadar jika apa yang aku katakan bukan masalah biasa yang bisa disepelekan. "Jadi, setelah ulang tahunku yang ke-20 kemarin, aku sering mendapat teror," aduku. Edwin menyerit. Ia seolah ragu dengan ceritaku. Benar kan? Tidak akan semudah itu. "Teror seperti apa maksudnya? Apa ada yang mengancammu? Dia bilang apa? Dan, apa kamu tahu siapa pelakunya?" berondong Edwin. "Nggak seperti yang kamu pikir. Sejauh ini aku pikir dia cuma orang iseng. Tapi kata Papa aku harus lebih berhati-hati. Bahkan Papa berniat menyewa pengawal untukku. Bukankah itu artinya jika orang ini cukup berbahaya?" terangku. Edwin tak langsung menjawab. Tapi aku dapat melihat, laki-laki itu menyunggingkan senyumnya meski hanya tipis. "Kamu tenang saja, ada aku di sini. Tidak ada yang bisa menyakitimu selagi ada aku di sampingmu," ujarnya menenangkan. Mendengar kata-katanya, aku benar-benar merasa lebih tenang. Aku merasa aman saat berada di sisinya. Mungkin karena memang aku tahu, jika Edwin bukan orang sembarangan. Dia juga punya power yang cukup untuk melindungiku. "Sekarang kamu jelaskan padaku, teror seperti apa yang selama ini mengganggumu itu! Aku akan berusaha cari tahu siapa pelakunya, dan memberinya peringatan," lanjut Edwin. "Mawar hitam. Dia sering mengirimkan mawar hitam padaku. Terkadang, disertai surat aneh juga," jawabku. "Apa menurutmu dia laki-laki?" tanya Edwin sembari menyeritkan alisnya seperti tidak suka. "Astaga, apa itu penting kita bahas sekarang?" tanyaku balik. Aku tidak menyangka, di saat-saat seperti ini dia masih bisa merasa cemburu. "Tentu saja penting. Akan aku patahkan jari-jari yang membuat kata-kata menggoda itu, jika benar ia adalah laki-laki," ujar Edwin. Aku memutar bola mataku malas. Bisa-bisanya Edwin malah fokus ke arah sana. "Lupakan saja! Sepertinya menceritakannya padamu adalah keputusan yang salah," kesalku bersamaan dengan makanan kami yang datang. "Mana bisa? Cepat ceritakan dulu semuanya! Apa kamu tahu siapa orang itu? Atau kamu punya petunjuk yang bisa membantuku untuk menemukan orang itu?" berondong Edwin lagi. "Please bukan di situ point pentingnya!" rengekku. Tidak tahukah dia kalau aku cukup merasa terancam setelah membaca pesan Papa tadi? "Lalu apa? Aku rasa di situ masalah besarnya. Tidak ada laki-laki normal yang suka kekasihnya diberi bunga oleh pria lain. Apalagi sampai ada suratnya," balas Edwin. "Edwin, aku takut. Masalah besarnya adalah, Papa khawatir denganku. Itu artinya Papa sudah menduga jika orang itu bukan orang sembarangan. Aku takut," cicitku. Oke, ini adalah kali pertama aku menunjukkan sisi lemahku di hadapan Edwin. "Kamu? Takut dengan peneror seperti itu? Bukankah kamu bilang dia cuma seperti orang iseng? Kenapa harus takut?" bingung Edwin. "Aku rasa Papa tahu sesuatu. Dan Papa mengkhawatirkanku. Itu berarti buruk, bukan? Bagaimana kalau orang itu punya rencana jahat padaku? Apa dia-" "Calista Ardiansyah!" potong Edwin. Aku menatap matanya yang masih tampak biasa saja. "Kamu punya aku, kamu punya Hendra Ardiansyah. Lalu, apa yang kamu takutkan? Kamu ragu, kalau kami bisa melindungimu?" tanyanya. Aku menggeleng ragu. Ya. Aku ragu, Edwin! "Tapi dia cukup cerdik. Dia sering mengirimkan bunga mawar merah untukku, tapi dia tidak pernah sekalipun ketahuan atau setidaknya tertangkap kamera CCTV. Oh ya, dan dia juga datang di pesta ulang tahunku," terangku. Aku ingin Edwin tahu, jika pelaku teror ini memiliki akses yang luar biasa baik untuk mendekatiku tanpa ketahuan. Itu artinya dia benar-benar ancaman yang tidak bisa disepelekan. "Bukankah kamu bilang tadi, kemungkinan Papamu sudah berhasil menemukan sesuatu?" tanya Edwin. Aku mengangguk. "Aku rasa begitu. Dan Papa masih berusaha menyelidikinya lagi," jawabku seadanya. "Oke. Nanti aku akan bicara dengan Papamu. Siapa tahu aku juga bisa membantu memecahkan masalah ini," ujarnya. Aku menunduk. Bisakah? Aku terkejut saat merasakan sebuah tangan berada di puncak kepalaku. Edwin mengusap puncak kepalaku lembut, mengisyaratkan jika ia yakin aku akan baik-baik saja. "Jangan terlalu dipikirkan! Habiskan makananmu! Kamu perlu banyak tenaga umtuk menghajar orang itu jika kita berhasil menangkapnya," imbuhnya. Aku tersenyum. Aku merasa lebih baik setelah mendengar kata-katanya.  Ya. Harusnya aku yakin akan kekuasaan Papa dan Edwin. Dua orang yang sangat berkuasa itu berada di sisiku. Lantas, apa yang perlu aku takutkan? Kamu akan baik-baik saja, Calista. Siapapun orang itu, ia tidak akan menjangkaumu dengan mudah. Papa dan Edwin adalah orang yang tidak bisa diremehkan dalam hal apapun. Dan mereka ada di pihakmu. * Sore ini, aku dan Papa duduk di halaman belakang ditemani teh hangat buatan Mama. Ada tiga cangkir teh di atas meja. Yang menandakan jika kami sedang menantikan kedatangan satu orang lagi. Dan yup, tak lama berselang orang itu datang juga.  Edwin, orang yang sejak beberapa menit lalu kami tunggu itu segera mengambil posisi duduk di sebelahku. "Diminum dulu! Ini buatan Mama," ucapku sembari menyodorkan secangkir teh yang masih hangat itu ke hadapannya. Ia mengangguk, lalu mulai mencicipi minuman itu. Jantungku berdebar tak karuan, bukan karena rencana Papa dan Edwin untuk membahas tentang peneror itu. Tapi karena ini adalah kali pertama kami bicara serius bertiga sejak aku dan Edwin resmi menjalin hubungan. "Bisa kita to the point saja?" tanya Papa.  Aku mengangguk. Sementara Edwin sama sekali tak bereaksi apapun. "Calista, kamu benar-benar percaya dengannya? Kamu yakin dia layak untuk tahu semua ini?" tanya Papa. Aku mengangguk yakin. Ya. Aku sudah hampir tiga minggu selalu berada di dekat Edwin. Dan menurutku ia cukup layak untuk dipercaya. Aku percaya padanya. Ia bisa melindungiku dari apapun, seperti Papa melindungiku selama ini. "Baiklah kalau itu mau kamu," ujar Papa. Aku tersenyum. Papa memang yang terbaik. Dia adalah orang yang paling bisa mengerti aku meski aku tidak membicarakannya. "Jadi, apa Calista sudah memberi tahumu kalau beberapa waktu terakhir ia mendapat teror bunga mawar hitam?" tanya Papa memulai pembicaraan. "Ya, saya baru tahu siang ini. Sebenarnya saya sendiri pernah melihatnya, ketika kami makan siang bersama. Dan seseorang memesankan minuman beserta setangkai mawar hitam untuk Calista. Hanya saja saat itu Calista tidak mau membahasnya lebih lanjut," terang Edwin. "Dan itu juga karena sifat over kamu, kalau kamu lupa," imbuhku.  Papa menatapku kebingungan. Ah, ya. Aku lupa. Hubunganku dengan Edwin memang sangat tidak biasa. Akan terlalu panjang jika Papa menuntut penjelasan akan masalah ini juga. "Oke, silakan dilanjut. Aku akan bicara seperlunya saja setelah ini," ujarku. Papa kembali memusatkan perhatiannya pada Edwin. Sementara laki-laki di sampingku itu masih tampak tenang dan dingin. "Lalu bagaimana menurutmu? Apa hal seperti itu mengganggu?" tanya Papa. "Sangat. Tapi sebenarnya, bukan soal teror. Saya lebih fokus mempemasalahkan kenapa ada orang yang berani menggoda kekasih saya dengan cara seperti itu? Itu sangat menjengkelkan," balas Edwin. Aku memutar bola mataku malas mendengar ucapam laki-laki di sampingku itu. "Tapi aku rasa ancaman itu juga cukup berbahaya, Edwin. Kita tidak tahu apa yang dia rencanakan. Dan kita juga tidak tahu sebesar apa kekuasaannya hingga ia berani mengganggu puteriku," ucap Papa. Aku mengangguk setuju. Itu dia masalahnya. Dia tahu aku anak seorang Hendra Ardiansyah, dan ia juga tahu aku adalah kekasih dari Edwin Romi, tapi ia masih berani menggangguku. Itu artinya dia bukan orang yang bisa disepelekan juga, kan? "Tapi, kata Calista Anda sudah mulai menemukan titik terang. Apa saja yang sudah Anda dapatkan?" tanya Edwin. "Iya, Pa. Memang siapa orangnya menurut Papa?" sambungku. "Papa tidak yakin. Tapi akhir-akhir ini Papa sedang punya masalah dengan Irawan Nugraha. Pemilik I.N group. Dan secara kekuasaan, cukup masuk akal jika dia pelakunya," terang Papa. Irawan Nugraha? Aku belum pernah mendengar nama itu. "I.N group? Cukup masuk akal. Apa bukti yang Anda dapat jika memang Irawan Nugraha adalah dalang di balik semua ini?" tanya Edwin lagi. "Tidak ada. Aku hanya merasa, dia lah satu-satunya orang yang sedang bersitegang denganku. Dan yang aku tahu, dia suka bermain wanita muda. Jadi aku pikir-" "Anda tenang saja, saya akan coba membantu menyelidikinya. Dan jika memang benar dia pelakunya, saya tidak akan tinggal diam," potong Edwin. "Memang siapa dia, Pa? Aku belum pernah mendengar nama itu, atau bahkan perusahaannya. Dan memangnya, Papa punya masalah apa dengannya?" berondongku. Tentu saja aku harus tahu sebanyak mungkin tentang siapa yang selama ini menggangguku, bukan? Aku yang selama ini sering ia ganggu. Aku adalah korbannya. Jadi aku harus tahu siapa pengganggu menjengkelkan itu. "I.N group adalah perusahaan pesaing kita. Dan Irawan Nugraha adalah pemiliknya. Beberapa waktu lalu kami bersaing mendapatkan proyek global milik perusahaan Jepang, dan pemenangnya Papa. Setelah itu dia bahkan berani menegur Papa secara langsung, menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Papa. Dan berpesan agar Papa tidak merasa menang, karena ini baru awal dari segalanya. Secara bisnis, perusahaannya lebih besar dari milik kita. Secara kekuasaan ia juga lebih berkuasa dari Papa," terang Papa panjang lebar. Masuk akal. Aku bisa menerima hipotesis Papa itu. Jadi, sekarang kita hanya perlu bukti, kan? "Kamu bisa bantu Papa mendapatkan bukti yang kita perlukan?" tanyaku pada Edwin. Edwin menoleh, lalu mengangguk. "Aku akan melakukan apapun yang aku bisa. Kamu tidak perlu khawatir! Jangan terlalu dipikirkan! Biar kami yang mengurusnya," ujar Edwin. Aku lihat Papa mengangguk setuju. Baiklah, mari kita coba untuk tidak terlalu memikirkan hal ini. Sebesar apapun kekuasaan orang itu, kamu punya Hendra Ardiansyah dan Edwin Romi di sampingmu, Calista. "Permisi, Tuan, Non, ada kiriman dari untuk Non Calista." Perhatian kami langsung beralih ke seorang pelayan yang membawa sesuatu untukku. Buket mawar hitam yang cukup besar. Aku menerimanya dengan ragu. Ada surat kaleng di bunga itu. Aku pun membukanya. 'Selamat menikmati pesta teh terakhirmu dengan orang-orang yang kamu sayangi, My Black Rose,' *** Bersambung... Nahloh. Bahkan dia tahu kalau Calista sedang minum teh dengan orang-orang terdekatnya. Udah mulai berani mengancam lagi. Apakah benar dugaan mereka, kalau pelakunya adalah Irawan Nugraha? Mari susun puzzle ini bersama! Jangan lupa tinggalkan komentar agar aku lebih semangat menulis ya. Terima kasih sudah berkunjung :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD