Black Rose - 13

1463 Words
Sepulang dari kampus, Calista segera membersihkan diri, kemudian beristirahat di kamarnya. Baru sekitar lima menit ia berbaring, ponselnya berbunyi. Ada sebuah telepon dari Kenny. 'Cal, jadi kapan kita mau makan mie depan komplek bareng?' tanya laki-laki itu. "Ah iya aku lupa. Malam ini aku nganggur kok. Gimana kalau nanti malam aja?"  'Boleh. Nanti jam enam aku jemput kamu, ya! Ini aku juga lagi mau main game sama abangku,' Calista sempat mendengar Kenny menyapa kakaknya yang baru saja datang. "Oh, oke. Kalau gitu aku juga mau puas-puasin rebahan dulu mumpung nggak ada tugas buat besok," Setelah itu, Calista memutuskan sambungan teleponnya. Ia mulai membuka akun sosial medianya dan melanglang buana ke dunia maya. Pukul enam lebih seperempat, Kenny datang. Saat itu Calista juga sudah siap. Bahkan ia sudah berpamitan dengan kedua orang tuanya. Jadi, ia dan Kenny pun bisa langsung pergi. Mereka pergi hanya dengan jalan kaki, mengingat jarak rumah Calista dengan penjual mie yang akan mereka datangi cukup dekat. "Mang, mie ayamnya dua, yang satu tanpa sawi ya! Minumnya teh anget dua," ujar Kenny memesan makanan untuk dirinya dan Calista. Setelah itu, dua anak muda tersebut duduk berhadapan. Suasana petang itu tidak terlalu ramai. Sangat cocok untuk mengobrol sambil bercanda gurau. "Jadi gimana Mas pacar? Masih sensian ya?" tanya Kenny.  Calista tertawa kecil, "dia sensi sama kamu aja. Sama aku mah baik," jawab Calista. "Tapi serius deh, Cal. Dia kelihatan over protective banget. Jangan-jangan besok dia melarang kamu bergaul sama aku lagi," ujar Kenny.  Calista menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bisa pas sekali tebakan Kenny. Bukan hanya "akan", tapi Edwin memang sudah melarang Calista untuk dekat-dekat dengan Kenny. "Kok diam? Jangan-jangan-" Calista mengangguk hingga Kenny menghentikan ucapannya.  Laki-laki itu membulatkan matanya. Ia sangat paham dengan apa maksud anggukan sahabatnya tadi. "Sudah? Sejak kapan?" kaget Kenny. "Sudah berhari-hari yang lalu. Tapi kamu tenang aja ya, aku akan berusaha bicara lagi sama dia biar dia bisa ngerti untuk masalah yang satu ini," terang Calista. Kenny menghela napas panjang. Sebenarnya ia tidak keberatan sama sekali jika Calista punya kekasih. Tapi, ia tidak suka ketika orang itu berusaha memonopoli Calista untuk dirinya sendiri, apa lagi sampai menjauhkan Calista dari orang-orang terdekatnya. "Mau aku bantu buat bicara sama dia?" tawar Kenny. "Eh? Nggak usah deh. Aku bisa ngatasin ini sendiri kok," tolak Calista. Lagi, Kenny menghela napas panjang, kemudian mengangguk. Toh ia memang tidak pernah bisa memaksakan kehendaknya pada Calista. Ia bukan tipe orang yang pemaksa. Ia hanya akan menawarkan bantuan saat dirasa perlu, dan akan membantu ketika Calista meminta. "Ini pesanannya." Si Mamang penjual mie menyajikan dua mangkuk mie dan dua gelas teh ke hadapan Calista dan Kenny. "Makasih, Mang," ujar Calista dan Kenny serentak.  Mereka pun mulai menikmati makanan pinggir jalan kesukaan mereka itu. Rasanya masih nikmat. Sama persis dengan yang terakhir Calista makan sekitar dua bulan lalu. Ah... dia baru sadar, ternyata sudah cukup lama ia tidak makan di sini. Padahal dulu, hampir setiap minggu ia dan Kenny membeli mie di sini. "Enak?" tanya Kenny sembari tersenyum. Ia sangat senang melihat Calista tampak begitu lahap memakan mie di depannya. "Enak. Kalau nggak enak aku nggak akan selahap ini," jawab Calista dengan mulut penuh makanan. Kenny tertawa melihat ekspresi sahabatnya itu. Calista memang tampak sangat menggemaskan saat makan makanan kesukaannya. Apalagi itu dilakukan di depan Kenny, sahabat baiknya. Dia terlihat begitu leluasa dan bebas sehingga tidak perlu jaga imej. "Neng, ini ada titipan dari mas-mas yang di- loh... tadi masih di sana," ujar Mamang penjual mie. "Siapa, Mangv? Bapak kenal sama orangnga? Ini beneran buat saya?" tanya Calista. "Saya nggak kenal sih, Neng. Cuma tadi nitipin ini buat Eneng," jawab penjual mie itu. Calista menatap kotak di atas meja itu dengan ragu. "Dari siapa sih?" tanya Kenny. Calista mengedikkan bahunya. 'Apa jangan-jangan dari orang itu? Peneror black rose?' pikir Calista. "Bapak beneran yakin ini buat saya?" tanya Calista sekali lagi. "Iya, Neng. Tadi masnya nunjuk ke arah Eneng kok," jawab penjual mie itu. Calista menatap Kenny seolah meminta pendapat. Ia tidak tahu harus menerima, atau melakukan apa ke kotak itu. "Terserah kamu. Tapi nggak ada salahnya sih kalau kamu terima dan cek dulu isinya. Kalau kamu merasa ini memang bukan buat kamu, baru deh kembaliin ke Mamang,' ujar Kenny. Calista merasa, ucapan Kenny ada benarnya. Toh ia tidak akan tahu apakah kotak itu benar untuknya atau bukan jika ia belum membuka isinya. "Oke deh," putus Calista. Ia menerima kotak itu dan membiarkan penjual mie melanjutkan pekerjaannya. Dengan ragu, ia mulai membuka kotak itu pelan-pelan. "Aaaaahhhh!" 'Brakkkkk' Calista kaget bukan main. Bahkan ia sampai terjatuh dari kursinya saat melihat bangkai ayam yang berdarah-darah, dengan taburan mawar hitam, dan bagian atap tutup kotak itu bertuliskan "DAN SELANJUTNYA, KAMU". Kenny meneriakkan nama Calista. Ia bangkit dan secepat kilat menghampiri sahabatnya yang tersungkur itu. Calista merasa pusing. Ia benar-benar merasa kalau setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh psikopat gila itu. Sebenarnya, siapa orang itu? Dan apa masalahnya dengan Calista? "Kenny aku takut," lirih Calista dalam dekapan Kenny. Tubuh gadis itu bergetar hebat. Air matanya terus mengalir. Ia benar-benar merasa terancam. Sepertinya, peneror itu memang memiliki niat buruk untuknya. "Iya, aku di sini. Kamu tenang ya! Aku akan tetap menjagamu. Kamu jangan takut," bisik Kenny. "Aku takut. Dia gila. Dia mau mencelakaiku," isak Calista. "Aku di sini, Calista. Aku akan selalu jagain kamu. Kamu tenang dulu ya!" Calista menggeleng. Dan ia masih terus menangis dalam dekapan sahabatnya itu. Hingga akhirnya, ia kehilangan kesadarannya. "Cal! Calista! Hey!" Kenny menggoncangkan tubuh sahabatnya itu. "Sepertinya Si Eneng pingsan," ucap Mamang penjual mie. Kenny melebarkan bola matanya. Cepat-cepat ia memeriksa keadaan sahabatnya itu. Dan benar saja, gadis itu sudah memejamkan matanya. Kenny mengeluarkan selembar uang berwarna biru, kemudian meletakkannya di atas meja. Setelah itu, ia membopong tubuh lemas Calista dan membawanya pulang secepat yang ia bisa. "Nggak, Cal! Please bangun! Jangan bikin aku khawatir! Bagaimana caranya aku menjelaskan ini ke kedua orang tuamu? Cal, please bangun!" Kenny terus berusaha memanggil sahabatnya itu. Tapi percuma, Calista tetap enggan membuka matanya. Dan seperti yang Kenny duga, kedatangannya dengan membawa Calista yang tidak sadarkan diri membuat kediaman gadis itu mendadak menjadi heboh. Ibu Calista sampai menangis histeris melihat puterinya yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Tapi Kenny tetap berusaha tenang. Ia masih harus menaiki puluhan anak tangga untuk membawa Calista ke tempat tidurnya. "Panggil dokter! Cepat panggil dokter!" teriak Mitha histeris. "Calista, kamu kenapa, Sayang? Kenny anak Tante kenapa? Calista ku kenapa?" tanyanya. "Iya, Tante. Kenny akan jelaskan semuanya. Tapi nanti, ya! Kita harus segera merebahkan Calista dulu," ujar Kenny. "Astaga, Calista!" Itu suara Hendra. Ia langsung bergegas menghampiri Kenny yang baru saja masuk ke dalam kamar puterinya. "Kenny! Apa yang terjadi dengan Calista?" tanya Hendra. Setelah membaringkan Calista, Kenny segera menghadap ke ayahanda sahabatnya itu. Sementara Mitha memilih duduk sembari terus menggenggam tangan puterinya yang masih tak sadarkan diri. "Kami tadi sedang makan mie di depan komplek, Om. Tapi Si Mamang penjual mie ngasih kotak ke Calista dan bilang kalau ada Mas-mas yang nitipin. Pas dibuka, ternyata isinya ayam mati dan berdarah-darah, dan ada tulisan ancaman," terang Kenny dengan suara menggebu. Antara marah, lelah dan takut. "Apa? Jadi ada yang mengerjai Calista? Dia ketakutan dan akhirnya pingsan?" tanya Mitha. Kenny mengangguk. "Apa isi tulisan ancaman itu?" tanya Hendra cepat. "Kalau tidak salah, 'DAN SELANJUTNYA KAMU'," jawab Kenny seadanya. Hendra tampak akan mengatakan sesuatu, namun ia ragu. "Apakah ada bunga mawar hitam yang datang bersamaan dengan kotak itu?" tanyanya pada akhirnya. "Saya tidak yakin. Tapi sepertinya, yang ada di sekitar bangkai ayam itu tadi ada beberapa benda berwarna hitam legam. Mungkinkah itu mahkota bunga mawar hitam?" Tampak wajah Hendra memerah. Tangannya terkepal kuat menahan amarah. "Pa! Papa jangan pergi dulu! Saat ini kondisi Calista yang paling penting, Pa. Mama tidak bisa menunggunya sendirian di saat seperti ini," ujar Mitha mengingatkan. "Apa sudah ada yang memanggil dokter?" tanya Hendra pada siapa saja yang bisa menjawabnya. "Sudah, Tuan. Dokter sedang menuju kemari," jawab seorang maid. Hendra mengangguk. Kemudian ia bergabung dengan istrinya. Duduk di samping puterinya yang masih tidak sadarkan diri. "Kamu tidak perlu takut, Sayang. Sayangnya Papa tidak akan kenapa-kenapa. Papa akan lebih dulu menghancurkannya sebelum ia berani menyentuhmu," lirih Hendra. Baginya, Calista adalah orang yang paling berharga dan paling ia cintai. Calista adalah segalanya. Ia akan melakukan apa saja untuk melindungi dan membahagiakan puteri sematawayangnya itu. "Panggil Pandu dan bawa dia menghadap ke ruanganku secepatnya!" teriak Hendra hingga para maid berlarian keluar untuk melaksanakan apa yang Tuan-nya titahkan. Pandu adalah tangan kanan Hendra. Memanggil Pandu, itu artinya Henda tengah bersiap untuk berperang. *** Bersambung.... Masih dengan teror Black Rose. Setelah ini, akan balik ke sudut pandang Calista.  Bocoran next part: Calista akan bermimpi (lagi).  Penasaran? Masih bersediakah kalian bermain puzzle denganku? Jangan lupa ramaikan kolom komentar. Dan kalian bisa lebih mengenalku dan tahu info-info seputar ceritaku jika kalian follow ig riskandria06 atau sss Andriani Riska.  Terima kasih sudah berkunjung :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD