Bab.3 Madu Dan Racun

1686 Words
Dirga duduk menghadap laptopnya di atas meja makan. Dengan ditemani secangkir kopi, dia mengerjakan tugas kantor yang dikirim sekretarisnya. Namun, bagaimana dia mau fokus sedang mata dan pikirannya terus tertuju ke Key yang masih tertidur pulas di kamar. Dirga sudah seperti orang gila yang sejak bangun tidak bisa berhenti tersenyum, karena mendapati Key di pelukannya. Apalagi kalau ingat ciuman mereka semalam. Semua seperti mimpi yang tiba-tiba saja jadi kenyataan. Pintu kamar terbuka pelan. Dirga menoleh dan tersenyum melihat gadis kecil kesayangannya itu keluar dengan wajah merona malu. Kaos miliknya yang tadi dia siapkan di atas meja, sudah melekat longgar di tubuh rampingnya. “Pagi …,” sapa Dirga. “Om, bajuku mana?” “Masih aku sandera, biar kamu tidak kabur," jawab Dirga tertawa pelan melihat Key merengut. Tadi dia memang hanya menaruh pakaian dalamnya, karena tahu setelah bangun pasti Key akan langsung pergi. “Sini, makan pagi dulu!” panggilnya mengulurkan tangan meminta Key mendekat. “Nggak lapar. Ambilkan bajuku dulu, Om! Jeje sudah ngomel-ngomel karena aku menghilang dari semalam. Pagi ini kan harusnya aku ada jadwal pemotretan. Kasihan dia yang kena damprat,” ucap Key tetap berdiri di tempatnya tanpa mau mendekat ke Dirga. Dirga beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Key yang terlihat gugup. Matanya melebar, entah apa yang dia takutkan hingga tiba-tiba berbalik hendak kabur. Sayang, kalah cepat dengan Dirga yang sudah lebih dulu menyambar pinggangnya dari belakang. “Om!” teriak Key meronta di pelukan Dirga. “Takut apa? Semalam kita tidur seranjang nyatanya aku tidak menerkammu, kan?” tanya Dirga gemas bukan main. “Bukan begitu, aku beneran sibuk jadi harus pergi sekarang.” “Atau kamu malu semalam sudah ciuman dan tidur denganku?” cecarnya karena belum mendapat jawaban yang dia ingin dengar. “Nggak!” sanggah Key seketika kaku saat hidung Dirga mengendus lehernya. Brewok tipisnya menggelitik membuat Key tersengat rasa geli yang membuat perutnya mulas. “Merah di lehermu terlihat indah, harusnya aku bikin tidak hanya satu,” bisik Dirga di telinga Key yang masih bengong. Wajah Keyra seperti terbakar begitu adegan panas di atas ranjang semalam terlintas lagi di benaknya. Dia baru sadar, pria ini terlalu berbahaya. Hanya dengan tatapan matanya saja sudah membuat dirinya menyerah kalah. “Aku tidak mau dicap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab. Hanya karena ketidakhadiranku, waktu dan tenaga mereka terbuang sia-sia,” ucap Key tersengal oleh wangi parfum dan hembusan hangat nafas Dirga. “Kita makan dulu, setelahnya aku antar ke sana. Biar aku juga yang nanti jelaskan ke fotografer dan penanggung jawabnya!” Key mendengus ketika ciuman pria itu menyapa manis pipinya, lalu menggandeng tangannya ke meja makan. Sepotong sandwich isi salmon dan segelas jus jeruk diletakkan di depannya. Melihat itu justru membuat dadanya luar biasa sesak. Dirga bahkan masih mengingat semua apa yang disukainya. Hubungan keluarga mereka memang sudah terjalin erat sejak orang tua Key masih bujang, jadi Key juga sudah terbiasa berada di sekitar Om Dirganya itu sejak kecil. “Makan yang kenyang, lalu minum lagi obatmu,” ucap Dirga mengusap kepala Key. “Om tidak ke kantor?” “Nggak, kamu lebih penting dari urusan kantor. Lagipula siapa yang berani memarahiku?” jawabnya mulai memakan sandwichnya. “Om Ibra sama Oma Dewi,” sahut Key menyebut nama kakak dan mama Dirga yang galaknya minta ampun. “Mereka tidak akan marah kalau tahu demi kamu. Justru aku yang akan kena amuk kalau pergi ke kantor, dan membiarkan kamu yang sedang tidak enak badan sendirian di sini.” “Aku sudah sembuh,” sanggah Keyra menggigit kecil sandwichnya. Dirga menyeruput kopinya yang mulai dingin. Pahit menyapa lidahnya, tapi itu tidak seberapa jika dibanding dengan pahit hidup Key. “Sembuh? Lalu bagaimana dengan luka hatimu? Tanganmu tidak akan tremor kalau mentalmu tidak tertekan. Mau sampai kapan kamu menyembunyikan semua dari mereka?” ucap Dirga menatap Keyra yang mulai gusar mendengar tremornya mulai disinggung. Dia meletakkan sandwichnya, lalu menyembunyikan tangan di bawah meja. Gestur tubuhnya mulai terlihat tidak nyaman, dan itu membuat Dirga merasa iba. Seberapa sakit hidup yang Key lalui selama ini, karena selalu tertekan oleh ambisi papanya. “Key, dengar aku!” Dirga meraih tangan Key dan menggenggamnya erat. “Kalau bagimu sulit untuk bercerita dan berbagi beban dengan kami, aku akan cari psikolog. Kamu mau kan mencobanya?” Key langsung mendongak dengan mata melebar berkaca-kaca. Tangannya berusaha meronta, tapi Dirga masih menggenggamnya hangat. “Lepas!” “Key ….” “Aku tidak sakit! Mentalku baik-baik saja! Aku tidak butuh psikolog!” serunya marah dengan air mata mengalir. “Bukan begitu, tapi tremor yang kamu derita itu bisa jadi akibat depresi karena selama ini kamu selalu menyimpan sendiri perasaan tertekanmu. Aku tahu kamu tidak sakit. Anggap saja psikolog adalah orang yang bisa kamu percaya, untuk mendengar semua keluh kesahmu,” jelas Dirga berusaha menenangkan Key yang semakin marah. “Nggak mau! Aku tidak apa-apa dan tidak butuh siapa-siapa! Lepas!” teriak Key mendorong Dirga yang berusaha memeluknya. “Ok! Maaf, aku tidak akan menyinggung soal ini lagi. Jangan marah, aku akan pura-pura tidak tahu tentang tremormu! Sudah, ya?” bujuk Dirga dengan rasa bersalahnya melihat tangan Key yang mulai tremor lagi. Keyra berhenti meronta, terisak dengan d**a turun naik menahan marahnya. Dia menepis genggaman Dirga, dan menyembunyikan tangannya yang gemetar. “Maaf, kalau aku sudah lancang. Jangan marah, lain kali aku akan lebih tahu diri untuk tidak ikut campur urusan pribadimu.” “Bajuku mana? Aku mau pulang,” ucapnya menunduk menyembunyikan tangisnya. “Maaf, Key.” “Tidak perlu minta maaf. Cuma tolong jangan katakan soal ini ke siapapun, terutama mama.” Mata Dirga memburam panas. Rasa bersalah melemparnya dalam penyesalan. Bukan cuma papa Key, dia pun juga menjadi orang yang telah membuat gadis malang ini terpenjara dalam kesakitan selama ini. Tiba-tiba Keyra berdiri dari duduknya. Dirga menatap kaget dan segera menangkap tangannya, namun lagi-lagi mendapat penolakan. “Mau kemana?” tanyanya. “Telepon Jeje, minta dia menjemputku,” jawab Key melangkah hendak ke kamar mengambil ponselnya. Kalau Dirga tidak mau memberikan baju yang dia kenakan kemarin, terpaksa Key minta asistennya itu datang menjemput. “Nggak, kamu tidak boleh pergi dengan keadaan marah dan salah paham begini. Semalam kita baru saja berbaikan, mana mungkin aku membiarkanmu menjauh dariku lagi!” tegas Dirga dengan tangan merangkul pinggang Key. “Aku salah, kita memang tidak seharusnya sedekat ini. Sekarang aku baru paham, ternyata aku lebih menyukai kesendirianku. Aku tidak butuh perhatian dari siapa pun, dan tidak suka menjadi beban orang lain. Hanya itu!” lontar Key tajam menusuk di telinga Dirga. “Aku sudah bilang minta maaf, dan tidak akan lancang lagi menyenggol privasimu. Jangan marah, ya?” bujuk Dirga panik melihat Key yang sepertinya benar-benar tersinggung. Tidak mempan, Key tetap berontak berusaha lepas dari rengkuhan Dirga. Merasa tidak ada jalan lain, Dirga menarik tengkuk Key mendekat dan mencium bibirnya. Air mata gadis itu jatuh bercucuran, rontaannya tidak berarti ketika Dirga mendekapnya erat. Bukan, Key bukan menyalahkan Dirga. Dia hanya merasa seperti ditelanjangi saat sisi rapuhnya terang-terangan diungkit. Selama ini Key yang tidak suka terlihat lemah di depan orang lain, benar-benar tidak nyaman saat Dirga berusaha masuk dan menjamah sisi paling rapuh hidupnya. “Jangan pergi, Key! Kamu tidak akan tahu sesakit apa aku melalui waktu menunggumu selama ini. Maaf, ya?” Dirga memeluk Keyra yang masih terisak lirih. Mungkin semua masih akan baik-baik saja, andai tidak ada orang lain yang tiba-tiba datang ke sana. Dirga dan Key menoleh begitu mendengar suara pintu dibuka dari luar. Seorang wanita yang baru saja masuk itu tampak kaget dan terpaku menatap keduanya yang masih dalam posisi berpelukan. Key mendengus keras, tidak menyangka akan bertemu dengan wanita itu disini. Apalagi ternyata dia punya akses hingga bisa keluar masuk apartemen Dirga. Tanpa sungkan dan seperti sudah biasa berada di sana, wanita itu pun melangkah mendekat. Namun, Dirga tetap tidak melepaskan pelukannya meski Key berusaha mendorongnya. “Kenapa dia bisa ada disini? Bikin masalah apalagi kali ini? Kalau sampai papanya yang arogan itu tahu kamu dekat dengan anaknya lagi, pasti akan kumat kelakuan gilanya yang menyalahkan dan menyuruhmu minggat jauh dari sini. Kak Dirga belum lupa kan, setoxic apa mulut papa bocah ini!” “Lisa! Tutup mulutmu!” seru Dirga marah bukan main dengan mulut lancang sepupu dari mendiang istrinya itu. “Aku bicara kenyataan. Kalau bukan karena bocah ini dan papa bangsatnya itu, Kak Dirga tidak akan terpaksa pindah dan terasing di Lombok,” ucap wanita bernama Lisa itu sinis. Key benar-benar dibuat sakit hati mendengar ucapan pedas wanita itu. Apalagi tatapan remeh dan seringai jijik saat menatapnya dari ujung rambut hingga kaki. Mungkin karena melihat dia yang memakai baju Dirga dan sedang dipeluk pria ini. “b******k!” umpat Key mendorong Dirga kuat, lalu berbalik dan melangkah lebar ke kamar. “Key ….” Dirga berusaha mengejar dan menghentikan Keyra, namun tertahan di depan pintu yang sudah dikunci dari dalam. “Buka, Key! Aku bisa jelaskan. Keyra!” teriak Dirga menggedor-gedor pintu. Beberapa menit kemudian pintu dibuka, dan Key dengan membawa tas tangannya melangkah keluar. Wajah dinginnya tampak kaku, apalagi melihat wanita itu duduk dengan manis menikmati kopinya. “Mau kemana? Jangan pergi dengan keadaan marah begini, aku akan jelaskan semuanya!” ucap Dirga panik mengikuti langkah Key yang menuju pintu. “Key!” seru Dirga menarik tangan Key yang hendak meraih gagang pintu, tapi tanpa disangka Key menamparnya keras. “b******k, kamu!” umpatnya menatap Dirga dengan sorot mata menyala marah. Dirga berdiri terpaku, tidak bisa berbuat banyak selain membiarkan Key pergi dengan membawa kemarahan dan sakit hatinya. Begitu pintu dibanting keras, Dirga berbalik dan melangkah lebar menghampiri Liza. Dia menyambar gelas minuman yang belum sempat Key minum, lalu mengguyurkan ke muka sepupu mendiang istrinya itu. “Wanita sialan! Kamu pikir siapa kamu berani ikut campur urusanku! Keluar! Mulai sekarang jangan harap bisa menginjakkan kaki di tempatku lagi,” teriaknya sengit, sedang Liza justru tertawa terkekeh mengusap wajahnya yang basah kuyup. “Dia juga harus merasakan sesakit apa perasaan kakakku, yang tidak pernah kamu anggap selama menjadi istrimu!” ucapnya, lalu pergi dari sana. Dirga menggeram keras, menendang kursi disana melampiaskan kekesalannya. Baru saja dia merasakan bahagia bisa meraih Keyra, sekarang gadis kecilnya itu menjauh lagi gara-gara si Lisa yang sialan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD