Bab.2 Ciuman Pertama

1447 Words
Tremor psikogenik, Dirga sampai diam tercengang. Apa yang baru disampaikan dokter tentang keadaan Key membuat perasaannya campur aduk tidak karuan. Dia mulai menebak pasti Key sengaja menyembunyikan mengenai tremor di tangannya itu dari semua orang, termasuk orang tuanya. Tidak mungkin mereka masih bisa setenang itu kalau tahu tentang penyakit anaknya. Dirga sekarang paham kenapa setelah hengkang dari rumah Key justru lebih memilih menjajaki dunia model, bukan meneruskan bakatnya membuat design gaun seperti mamanya. Lovia Wijaya adalah mama Key yang merupakan seorang designer kondang. “Ini baru dugaan saya, Pak Dirga. Karena kalau mendengar yang Anda bilang biasanya dia tidak seperti itu, berarti tremornya ada hubungannya dengan kondisi mental dan stress pasca trauma. Tremor akan muncul tiba-tiba ketika pasien dalam keadaan sedang tertekan, dan membaik ketika stresnya mereda,” jelas dokter. “Iya, saya paham. Terima kasih, Dok.” Setelah mengantar dokter pergi, Dirga bergegas masuk ke kamarnya. Pandangannya jatuh ke gadis kecil kesayangannya yang terbaring lemah dan tertidur pulas di atas tempat tidur. Selang infus terpasang di tangan ringkihnya. Key bukan cuma pingsan, tapi juga meriang. “Jangan sakit, Key! Jangan membuatku semakin khawatir!” gumamnya mengusap lembut kening Keyra yang masih terasa panas. Sudah dua tahun sejak dia kembali dari Lombok. Namun, meski sudah tidak terpisah jarak nyatanya tetap saja begitu sulit untuk dekat dengan Keyra. Padahal Dirga sudah hampir gila ingin memeluknya setiap kali mereka bertemu. Sikap Key yang dingin dan selalu menghindar darinya, membuat Dirga hanya bisa menatapnya dari kejauhan. “Key, bangun! Minum obat dulu!” panggilnya lirih berusaha membangunkan gadis itu. “Keyra ….” Sepasang matanya yang terpejam perlahan mulai membuka, namun kembali menutup dan mengernyit seperti sedang menahan sakit. “Pusing? Kamu masih demam, Key.” Mendengar suara Dirga seketika mata Keyra langsung membuka lebar. Wajahnya yang pucat tampak kaget bukan main mendapati pria itu duduk di tepi tempat tidurnya. “Om kenapa disini?” tanya Key masih belum sadar kalau dia sedang di kamar Dirga. “Ini kamarku. Tadi kamu pingsan, jadi aku membawamu ke sini.” Mata Keyra menjelajah setiap sudut kamar. Meringis sungkan saat menyadari sudah berada di ruang paling pribadi pria yang selalu dia hindari itu. Jantungnya berdegup semakin kencang begitu menyadari ada yang salah. Kenapa bajunya tidak basah? Sedang mereka bertemu di bawah guyuran hujan di atas jembatan. Dirga tertawa pelan melihat gadis itu tiba-tiba mengintip di balik selimut yang menutupi tubuhnya. Matanya melotot mendapati kalau sudah berganti pakaian, dan tentu saja tanpa mengenakan dalaman. “Terus … Om juga yang sudah mengganti bajuku?” tanya Key gugup dengan wajah merona. “Memangnya disini ada orang lain?” Dirga balik lempar pertanyaan, sengaja menggodanya. “Aishhh, sial!” umpatnya berbalik membelakangi Dirga menahan malu, tapi Dirga justru terkekeh geli. “Bukan, tadi aku minta tolong pegawai resepsionis apartemen untuk membantu mengganti bajumu. Pakaianmu yang basah juga sudah aku cuci,” jelas Ibra. Biarpun merasa lega, tetap saja Key malu pakaian dalamnya dicuci pria itu. Tapi, apa boleh buat karena pingsan juga bukan maunya. Dia bangun, duduk meringis menahan sakit di kepalanya. Helaan nafasnya terdengar keras begitu mendapati tangannya terpasang infus. “Om tadi panggil dokter?” “Iya,” angguk Dirga meraih gelas berisi air putih dan obat di samping lampu tidur, lalu mengulurkan ke Key. “Minum dulu obatnya!” Ragu, Key melirik tangan kanannya yang masih sedikit tremor. Kalau dia mengambil obat dan gelas minuman itu pasti nanti Dirga akan menyadari keadaannya. "Om taruh saja situ, nanti aku minum sendiri!" tolaknya. “Aaaa ….” Tanpa diduga Dirga justru menyodorkan obat itu ke mulut Key. Mata mereka beradu, Dirga mengedikkan dagu meminta gadis itu buka mulut. “Minum obatnya, lalu tidur! Jangan khawatir nanti aku akan tidur di kamar sebelah!” Mau tidak mau Key membuka mulutnya dan meminum semua obat dari Dirga. Jantungnya seperti mau copot saat jari besar Dirga mengusap lembut dagunya yang basah. “Aku tidak akan bertanya apa pun, kenapa kamu bisa menangis dan hujan-hujanan di atas jembatan. Juga tidak akan mengatakan ke siapa pun tentang kejadian tadi. Jadi tenang saja, tidur dan istirahat supaya besok keadaanmu bisa membaik!” ucap Dirga menatap lekat Key yang mengangguk pelan. Tadinya Key ingin langsung pergi, tidak ingin berlama-lama bersama Dirga. Apalagi hanya berduaan di kamar pria itu. Namun, bagaimana dia mau pergi sedang sekarang dalam keadaan diinfus, hanya mengenakan kaos oblong kedodoran tanpa pakaian dalam. “Terima kasih, Om,” ucapnya setelah berbaring dan menarik naik selimutnya hingga ke leher. “Om? Padahal aku lebih suka kamu memanggilku Gaga, seperti saat kamu masih kecil dulu.” Nafas Key tercekat, dadanya sesak bukan main saat disinggung soal itu lagi. Gaga, panggilan sayang untuk Om Dirganya dulu. Namun, sekarang untuk sekedar mengingat saja dia sudah sakit. Terlalu banyak kenangan yang tidak ingin dia ingat lagi. Dirga menghela nafas panjang. Tersenyum untuk mengakhiri obrolan yang tampaknya membuat Key merasa tidak nyaman. Sepertinya dia butuh waktu lebih lama dan kesabaran ekstra untuk bisa mendapatkan kepercayaan Key lagi. “Kamu istirahat dulu. Pintunya tidak dikunci, tidak apa-apa kan? Karena aku harus menunggu infus itu habis untuk melepasnya, dan memastikan demammu turun,” tanya Dirga beranjak dari tepi tempat tidur. “Tidak apa-apa,” gumam Key mulai memejamkan matanya. Mungkin karena pengaruh obat yang diminumnya, hingga kantuknya berat bukan main. Dirga melangkah keluar setelah melihat gadis itu mulai terlelap. Sebelum menutup pintu dia kembali menatap lekat gadis kecil kesayangannya yang tergolek lemah diatas tempat tidurnya itu. Dia sedang menimbang, haruskah memberitahu mama Key tentang tremor yang diderita anaknya. Setelah mematikan lampu kamar dan menutup pintu, Dirga beranjak ke ruang kerjanya. Masih ada beberapa berkas penting yang harus dia selesaikan, meski sekarang rasanya ingin terus berada di dekat Keyra. *** Key terjaga dengan perasaan yang luar biasa nyaman. Dia bahkan lupa sudah berapa lama tidak tidur sepulas ini, tanpa resah dan mimpi buruk. Infus di tangannya sudah dilepas. Demamnya juga sudah turun dan tangannya sudah tidak lagi tremor. Namun, suara halus hembusan nafas dari samping telinganya itu sontak membuat Key menoleh dan melongo kaget. Sarafnya menegang, degup jantungnya menggila mendapati pria itu terlelap pulas di sampingnya. Tapi, melihat tangan Dirga yang masih memegang handuk kecil membuat Key membuang jauh pikiran anehnya. Dia memiringkan tubuhnya, menghadap tepat di depan wajah tampan pria yang selama ini selalu membuatnya menangis dalam diam karena terlalu merindukannya. Tanpa sadar air mata Key meleleh keluar. Dia tidak boleh dekat dengan pria ini, karena kehadirannya hanya akan membuat Dirga dalam masalah. Tiba-tiba mata itu terbuka, dan Key tidak punya kesempatan menghindar lagi. “Kenapa menangis, hm?” tanya Dirga dengan tangan terulur mengusap wajah basah Keyra. Key hanya menggeleng. Ingin berbalik menjauh, tapi tatapan hangat pria itu seperti memakunya. Belaian lembut tangannya seperti membuat Key kehilangan rasa takutnya. “Jangan selalu menyimpan masalah dan rasa sakitmu sendirian, Key! Kamu punya banyak om dan tante yang bisa dijadikan tempat mengadu. Jangan pernah seperti tadi, menangis dan kesakitan seorang diri. Jangan!” Hening, hanya suara isak Key yang terdengar lirih. Dirga meraih tangan kanan gadis itu lalu menggenggamnya erat. Key tahu, tremor yang ditutupi selama ini sudah Dirga lihat. “Aku sudah kembali, dan tidak akan pergi lagi. Jangan takut apapun, karena mulai sekarang aku akan selalu ada untukmu!” “Tapi, aku adalah pembawa bencana di hidup Om Dirga,” gumamnya. “Salah, kamu adalah bahagiaku, hidupku. Kalau tidak mana mungkin aku rela menunggu selama ini hanya untuk bisa meraihmu,” sahut Dirga mencium tangan Key yang di genggamannya. “Gadis kecil kesayanganku sudah dewasa dan semakin cantik sekarang. Aku datang, Key. Gagamu.” “Om Dirga,” gumam Key, lalu tangisnya pun pecah. Dirga merengkuhnya mendekat, lalu memeluknya erat. Membiarkan Key meluapkan rasa sakitnya dengan tangisan. Dia tahu, gangguan mental yang diderita Key hingga membuat tangannya tremor adalah akibat depresi karena tekanan dari papanya selama ini. Untuk membuatnya sembuh mungkin juga butuh psikolog dan waktu yang tidak sebentar. Tidak apa, karena dia akan menemani Key melalui semua. “Key …” Keyra mendongak dari pelukan pria itu. Hanya beberapa detik setelah mata mereka bertemu, Dirga mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Keyra. Hanya kecupan, tapi sanggup menjungkirbalikkan dunia Key. “Boleh aku menciummu?” tanya Dirga melihat Key yang diam melongo dengan muka tegang. “Itu tadi ciuman pertamaku.” Bukannya menjawab, tapi justru ucapan itu yang keluar dari mulut Key. Dirga mengulum senyum, lalu kembali mencium bibir merah menggoda yang sedari tadi begitu ingin dia cicipi. Direngkuhnya pinggang Key semakin merapat hingga tak menyisakan jarak, dan melumat rasa manis di bibir gadis kesayangannya itu. Akhirnya Key menyerah kalah, ketika batas warasnya runtuh oleh rasa nyaman dari adik sahabat papanya ini. Untuk sekali ini saja, dia ingin bersama Om Dirganya lagi. Ciuman pertamanya sudah dia berikan pada pemilik hatinya, dan dia tidak akan pernah menyesali itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD