6. Untung ada Bagas.

1609 Words
Aku tidak suka, Sama sekali tidak, Menjadi Barbie atau mannequien seperti di toko-toko pakaian. ______________ Menghela napas berkali-kali, mengumpat dalam hati dan mengutuki nasibnya adalah hal yang bisa Elsa lakukan untuk saat ini, dia tak mungkin kabur sekarang apalagi Marko dan Jojo berjaga di depan pintu utama restoran tempat di mana ia, Mentari bersama beberapa pemilik brand dan masing-masing anak mereka melangsungkan dinner mewah malam ini. Padahal penampilan Elsa begitu mempesona dengan dress abu-abu tanpa lengan dengan model rambut yang diurai dihiasi kepangan kecil menyebrang dari sisi kiri ke kanan, polesan wajah gadis itu juga sangat natural, terutama karena memang ia yang berdandan sendiri. Sedari tadi gadis itu hanya bertopang dagu di atas meja sambil menusuk berulang-ulang steak yang sama sekali tak ingin dikunyahnya, menjilatnya saja Elsa tak bernapsu. Dia merasa sangat bosan berada di antara mereka-mereka yang sama sekali tak sejalan dengannya, apalagi para putri pemilik brand itu juga sama seperti ibunya yang asyik ngerumpi soal fashion dan tas branded keluaran terbaru yang harganya mencapai ratusan juta. Elsa lebih suka menonton film horor dan menjerit berjamaah bersama teman-teman sekolahnya daripada berada di dalam lingkaran orang-orang yang begitu berambisi akan ketenaran, dia tak tertarik dengan topik pembahasan mereka. Elsa juga tak ingin akrab dengan putri pemilik brand yang seumuran dengannya. "El, kok nggak di makan? Nggak suka? Atau mau pakai spagheti aja?" tanya Mentari yang baru sadar jika makanan di piring putrinya masih utuh, hanya saja bentuknya sudah tak seindah saat pertama kali di letakkan, begitu banyak tusukan pada steak itu. Elsa membenarkan posisi duduknya dan menatap mereka semua satu per satu, ada sekitar enam orang dengan dirinya. Elsa memutar bola mata malas, kapan semua ini segera berakhir? "Elsa lagi belum laper aja kok," jawab gadis itu tak semangat. Padahal dua gadis sebayanya tengah asyik berselfie ria sambil memfoto makanan mewah yang ada di depan mereka. Kening Elsa mengernyit, kok gini banget yah hidup gue, apes terus. Batin gadis itu, dia meraih sling bag di atas meja dan mengambil ponselnya, nihil alias tak ada pesan chat dari siapa pun, ia benar-benar merasa kosong. "Ah iya, lupa ngajak Elsa ngomong. Elsa besok mau kuliah di mana setelah lulus SMA?" tanya Fani, anak pemilik brand yang duduk di sebrang gadis itu, dia tampak begitu ramah. Elsa menatapnya seraya tersenyum tipis, "Nggak—" "Elsa akan Tante kuliahin di Amerika," sergah Mentari seperti petir yang menyambar, tanpa permisi. Elsa menatap aneh sang ibu, padahal ia akan menjawab sendiri pertanyaan itu. Dia kesal setengah mati sekarang. "Wow, keren juga yah kamu, El. Kapan-kapan kita hangout bareng yuk?" ajak Fani penuh semangat. Gadis itu melirik Mentari dan mendapat angggukan persetujuan, kini Elsa menatap Fani dan Keira di sebelahnya. "Ng ... boleh kok kapan-kapan, kalau nggak sibuk." "Bisa diatur lah," timpal Keira yang duduk di sebelah Fani. Elsa hanya bisa membalasnya dengan anggukan kaku, sesungguhnya dia bukan gadis yang mudah masuk ke dalam ruang pertemanan yang tak ia inginkan. Elsa tak yakin dirinya bisa seperti mereka-mereka yang suka shoping, pergi ke salon untuk mempercantik diri meski dia mampu. "Kayaknya Elsa nggak pernah deh pasang foto sama cowok di i********:, soalnya aku suka stalk kamu, maaf ya, El." Fani mengangkat ponselnya dan menunjukkan akun i********: milik Elsa yang memiliki jumlah followers sekitar dua juta lebih itu, memang tak ada yang menonjol sama sekali pada akun pribadinya, hanya foto bersama teman sekelas saat hangout bersama. "Pacar? Harus yah?" tanya Elsa kikuk, dia melirik Mentari lewat ekor matanya tapi wanita itu sedang asyik bergosip. "Elsa nggak punya pacar?" terka Keira, dia dan Fani saling tatap lalu tertawa kecil, terdengar seperti sebuah penghinaan bagi Elsa. Kali ini Rosalie menoleh dan bertatapan dengan sang putri, Elsa berusaha membuang muka. Dia sangat ingin menghilang dari tempat itu, lebih baik berdiri sendirian di atas jembatan penyebrangan daripada berkumpul seperti sekarang dengan mereka. "Elsa?" Terdengar suara seseorang seperti terkejut melihat gadis itu ada di sana. Orang-orang yang duduk berkeliling di meja itu menoleh bersamaan ke arah pintu, terlihat Bagas beserta Monica—ibunya yang datang ke dinner malam ini, senyum Elsa seketika terbit. "Jadi itu pacar Elsa? Ganteng juga," celetuk Keira seraya melirik Elsa. Elsa memutar bola mata, "Bukan, dia teman gue," sahutnya menekan setiap ucapannya. Keira dan Fani saling tatap, sama-sama mencebik bibir. Elsa begitu merasa disepelekan oleh keduanya saat ini, memangnya apa yang salah jika dia tak punya pacar? Apa akan terlihat kuper? Atau cupu? Bagas dan Monica menghampiri mereka, Monica b*********a dengan Mentari dan klien yang lain, sedangkan Bagas langsung menghampiri Elsa. Gadis itu beranjak lalu mengulum senyum, ia merasa lega karena akhirnya seseorang datang sekadar membuatnya tak lagi kaku berada di sekitar orang-orang yang baginya asing. Fani dan Keira juga ikut beranjak, mereka mengulurkan tangan kanan secara bersamaan. Elsa dan Bagas hanya saling tatap. "Aku Keira," ucap Keira lebih dulu, keduanya bersalaman. "Aku Fani." Lalu berlanjut pada tangan Fani, kini Bagas menoleh pada Elsa, dia meneliti penampilan gadis itu dari ujung kaki sampai kepala, memang begitu menawan, siapa yang tak ingin melirik seorang Elsa Naomi meski ia memang selalu cantik setiap hari, meski tanpa polesan juga gadis itu sudah memiliki inner beauty yang mencolok. "Cantik," puji Bagas. Elsa tersenyum tipis, "Makasih, lo diundang ke sini juga ternyata?" "Mama, gue sih nganter aja tapi tadi lihat lo ada terus mampir deh sebentar." Mata Bagas melirik steak milik Elsa, lalu dia tertawa kecil. "Kenapa?" tanya Elsa bingung. "Masih aja kayak gitu, ngomong berdua aja yuk, gue tahu lo pasti bosan banget kan di sini?" Bagas benar-benar tahu apa yang Elsa inginkan. Dia melihat kedua ibu jari Elsa terangkat dari balik dressnya. "Ma," panggil Elsa pada wanita di sebelahnya. Mentari menoleh, "Kenapa, El?" "Elsa mau ngomong bentar ya sama Bagas, nggak apa-apa, kan?" Mentari menatap Bagas sekilas lalu mengangguk, Elsa tersenyum puas. Kini dia berganti menatap Fani dan Keira. "Gue pindah tempat," ucapnya lalu melangkah pergi meninggalkan meja bersama Bagas. "Katanya teman kok kayak pacaran," cibir Keira lirih. Elsa benar-benar senang, kedatangan Bagas membuat rasa bosannya berkurang, paling tidak kini ia punya teman bicara yang pas, Bagas cukup tahu banyak hal tentang Elsa. Malam ini Bagas juga begitu tampan, dia mengenakan kemeja polos warna abu-abu yang dipadukan dengan jaket jeans. Mereka duduk di dekat jendela, merasakan udara alami masuk lewat celah yang sengaja dibiarkan terbuka. Seorang waitres menghampiri meja mereka. "Mau pesan apa?" tanya pelayan wanita itu dengan ramah setelah meletakan buku menu di atas meja. Bagas meraih buku itu dan membukanya, dia menatap Elsa. "Lo mau makan apa, El?" "Enggak, gue nggak laper. Minum aja deh kopi." Bagas menutup buku menu dan meletakannya kembali ke atas meja, dia menatap waitres itu. "Kopi aja dua, cappucino." "Sudah? Silakan tunggu sebentar, saya permisi dulu." Segera pelayan itu pergi meninggalkan keduanya. "Gue yakin lo nggak betah tadi," ucap Bagas mengawali pembicaraan, dia mengetukkan salah satu telunjuknya di atas meja dengan punggung bersandar dan salah satu tangannya memegang ponsel di bawah meja. "Ya ampun, lo kayak nggak paham gue aja." Tiba-tiba Elsa teringat beberapa kejadian yang menyangkut Bagas akhir-akhir ini, Elsa ingin berkata tapi ragu. "Lo masih ikut bimbel, El?" Elsa terdiam, dia sama sekali tak mendengarkan ucapan Bagas dan terus menimbang di kepalanya antara harus berkata atau tidak. Kening Bagas berkerut, "El? Elsa?" Gadis itu masih belum bergeming, seolah tak ada Bagas di depannya. "Elsa!" seru Bagas dan cukup membuat beberapa orang di dalam resto itu memerhatikan keduanya karena ucapan Bagas cukup keras, termasuk anggota klien Mentari itu. Kini Elsa menatap Bagas dengan nanar, cukup kesal karena laki-laki itu menyerukan namanya begitu keras. "Lo ngapain tadi, hm? Bikin gue kaget aja," gerutu Elsa. "Lo di rumah ada cotton buds nggak?" "Ya ada pastinya, lo apaan sih sampai tanya hal nggak penting kayak gitu." Masih saja Elsa tidak peka akan kesalahannya. "Mending mulai hari ini lo bawa deh itu benda ke mana-mana, biar kalau ada orang tanya itu dengar. Bukan diem aja kayak patung," cibir Bagas seperti perempuan. "Tanya? Lo tadi tanya gue?" "Aduh!" Bagas menyentuh dadanya, "Kok nyesek gini ya nggak dianggap ada sama Elsa." Bagas sengaja mendramatisir keadaan. "Lebay banget sih lo, Gas. Gue lagi mikirin sesuatu, eh minta pendapat dong." Kopi pesanan mereka datang dan pelayan meletakannya di depan masing-masing. "Makasih, Mbak," ucap Bagas segera sebelum pelayan itu pergi. Kini dia kembali pada Elsa. "Gue boleh minta pendapat, kan?" Gadis itu mengulang pertanyaannya. "Boleh kok, soal apa?" "Jadi gini, temen deket gue tuh punya pacar terus gue pernah lihat pacarnya itu boncengan ama cowok, menurut lo gue harus bilang ke teman gue nggak yah kalau mungkin pacarnya dia itu selingkuh?" Elsa begitu berhati-hati mengatakannya karena orang yang ia maksud adalah Bagas dan Widia. "Kalau lo sayang sama teman lo mending bilang aja deh, daripada keburu ntar dia tahu belakangan dan sakit hati karena temannya nggak pernah jujur, pasti lebih nyesek, El." Elsa terdiam, dia menarik napasnya dan sudah yakin soal keputusan untuk bicara atau tidak. "Jadi temen deket yang gue maksud itu ... lo." Bagas menatap lekat Elsa setelah mendengar pengakuannya, dia menunjuk dadanya sendiri. "Gue? Maksud lo cewek gue siapa yang selingkuh?" "Wi-di-a." Bibir Elsa terasa begitu kelu untuk bicara sekarang, dia merasakan cemas setelah mengakui segalanya karena sudah berjanji pada Widia, tapi ucapan Bagas benar adanya jika peduli maka harus katakan. "Widia? Bonceng siapa maksud lo? Kenapa gue nggak tahu, hm?" Elsa merasa seperti pelaku kejahatan yang sedang diintrogasi, pertanyaan bertubi-tubi yang dilontarkan Bagas membuatnya gugup, dia menelan saliva. "Gue, saksinya bukan cuma gue kok, Gas. Ada Lova juga, tapi emang kemarin Widia bilang kalau dia sama itu anak Tamtama nggak ada apa-apa." "Anak Tamtama? Siapa?" "Satria." Sorot mata Bagas menunjukan amarah, kedua tangannya yang berada di bawah meja kini mengepal. Dia sama sekali tak tahu semua itu, kini Elsa bingung harus bagaimana, salah atau tidak? Entah dia harus senang atau merasa bersalah. ______________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD